Bab [1] Pengkhianatan Ganda
Di dalam kamar yang remang-remang, desahan-desahan mesra terdengar saling bersahutan. Dua sosok di atas ranjang saling membelit satu sama lain.
Seorang pria berjas hitam yang dijahit pas di badan memeluk erat wanita di dekapannya. Wanita itu tampak setengah sadar dengan wajah memerah padam.
"Hah..."
Citra Johari merasa seluruh tubuhnya begitu panas. Napasnya yang membara beradu dengan aroma dingin sang pria. Ia ingin melawan, tetapi semua usahanya sia-sia.
Kedua tangannya ditahan tinggi di atas kepala. Citra Johari berusaha keras membuka matanya, tetapi yang terlihat hanyalah rambut hitam pria itu. Meskipun kesadarannya kabur, ada satu hal yang ia rasakan begitu menusuk hingga ke tulang.
Sakit!
Apakah ini mimpi?
Tapi rasanya begitu nyata.
Citra Johari ingin mendorong pria itu, tetapi tangannya dicengkeram erat oleh sebuah tangan yang kokoh. Saat bibir pria yang dingin dan basah itu menyentuh dadanya, ia tak bisa menahan diri untuk tidak gemetar.
Benar juga, ini adalah malam pernikahannya dengan Surya Santoso. Mereka sudah saling mencintai selama bertahun-tahun, tetapi selalu menahan diri untuk tidak melakukan langkah terakhir. Citra selalu berkata ingin menyimpannya untuk malam pengantin mereka.
Tak disangka, Surya Santoso yang biasanya terlihat lemah ternyata punya stamina sekuat ini.
Merasakan bagian bawah tubuh mereka yang saling bertaut kini basah, wajah Citra Johari memerah sempurna.
Suara yang keluar dari bibirnya seakan hancur berkeping-keping. Citra Johari tak tahan lagi. Ia mencoba melarikan diri, tetapi lagi-lagi ditarik kembali oleh tangan kekar pria itu.
"Jangan... Mmmph!"
Teriakan Citra Johari yang tak sempat keluar teredam di antara bantal. Punggungnya menempel erat pada dada bidang pria itu. Sesuatu yang keras dan kokoh menekan bagian belakangnya, dan tepat saat benda itu hendak masuk, kepalanya tiba-tiba dipukul dengan keras.
"Dasar tidak tahu malu!"
"Citra Johari! Kamu punya rasa malu nggak, sih?!"
Cacian yang bertubi-tubi menarik Citra Johari dari mimpi basahnya. Ia mengucek matanya kuat-kuat, barulah ia bisa melihat dengan jelas sosok Surya Santoso yang berdiri di hadapannya dengan wajah murka.
Saat ini, selimut sutra hanya menutupi perut Citra Johari. Kedua kakinya yang jenjang dan putih terlihat sangat seksi, sementara gaun tidur hitamnya nyaris tersingkap hingga ke dada.
Citra Johari bisa merasakan bagian bawahnya yang lengket, dan ia sadar baru saja mengalami mimpi basah lagi.
Aneh memang, akhir-akhir ini ia selalu memimpikan malam pengantin itu. Sensasi dan jejak yang ditinggalkan malam itu begitu membekas dalam ingatannya.
Namun, wajah pria dalam mimpinya selalu tidak pernah terlihat jelas.
Citra Johari tetap merasa kecewa. Bagaimanapun, itu seharusnya menjadi malam yang indah antara dirinya dan Surya Santoso.
Setelah malam itu, Surya Santoso seolah berubah menjadi orang lain. Ia selalu pulang larut malam dan tidak pernah menyentuhnya lagi.
Surya Santoso melemparkan laporan di tangannya tepat ke wajah Citra Johari.
"Siang bolong begini kamu sudah sange! Perempuan murahan, jelaskan padaku apa-apaan ini?!"
Sinar matahari menembus jendela kaca besar, jatuh di wajah Citra Johari yang perlahan memerah.
Akhir-akhir ini ia jadi mudah mengantuk. Niatnya hanya ingin beristirahat sejenak, tapi malah ketiduran.
Citra Johari tersenyum pahit. Mungkin pengalaman malam itu terlalu intens, sampai-sampai membuatnya bermimpi basah.
Melihat lembaran-lembaran laporan yang berserakan di atas ranjang, mata Citra Johari berbinar. Ia mengambil salah satu lembar dan menyodorkannya. "Surya, aku hamil. Lihat, di laporan ini..."
"Pergi!"
Surya Santoso menepis tangannya. "Citra Johari! Aku tidak pernah menyentuhmu! Anak haram di perutmu itu bukan anakku! Lihat saja betapa kamu menjaga keperawananmu itu, katanya untukku. Siapa tahu di belakangku sudah berapa banyak pria liar yang kamu tiduri!"
Citra Johari tertegun. Menatap wajah Surya Santoso yang penuh amarah, wajahnya berubah pucat pasi. "Bagaimana mungkin? Surya, di malam pengantin kita, kita kan sudah melakukannya."
"Surya, jangan bercanda seperti ini denganku. Ini sama sekali tidak lucu."
Citra Johari mencoba meraih lengan Surya Santoso, tetapi ditepisnya.
Gaun tidur hitam bertali tipis itu membuat kulit Citra Johari tampak semakin putih. Salah satu talinya melorot ke lengannya, dan seketika Surya Santoso bisa melihat dadanya yang montok dan indah.
Terlepas dari penampilan Citra Johari, harus diakui, tubuhnya memang luar biasa.
Tenggorokan Surya Santoso terasa sedikit panas, tetapi suaranya tetap sedingin es. "Citra Johari, malam itu aku bersama Sari."
Citra Johari seolah disambar petir. "Apa katamu?! Adikku, Sari? Maksudmu, di malam pengantin kita, kamu bersama adikku?!"
Surya Santoso tega meninggalkannya di malam pengantin mereka demi bersama adik tirinya, Sari Johari!
Kalau begitu, siapa pria yang tidur dengannya malam itu?!
Surya Santoso kembali melemparkan sebuah map ke atas meja. "Kamu hamil anak pria liar entah siapa, dan mau aku yang menanggungnya? Tidak mungkin! Citra Johari, kita cerai! Surat-suratnya sudah siap, dan kamu tidak akan bisa membawa sepeser pun barang dari sini!"
"Surya Santoso, kamu yang selingkuh dengan Sari Johari, tapi malah menuduhku yang bukan-bukan! Minta aku cerai supaya kamu bisa bersama dia? Mimpi!" Citra Johari murka. Ia melompat dan mencoba menarik Surya Santoso, tetapi didorongnya dengan kasar.
Baru saja Citra Johari akan memaki lagi, pintu kamar tidur didobrak terbuka dengan suara "BRAK!". Sari Johari berteriak, "Citra Johari, sadar dirilah! Cepat ceraikan Kak Surya! Dia tidak mencintaimu, percuma kamu terus menempel padanya!"
Rupanya Sari Johari yang sejak tadi menguping di luar pintu sudah tidak sabar lagi begitu mendengar Citra Johari menolak bercerai. Ia langsung mendobrak pintu dan memaki kakaknya.
"Kamu tidak lihat cermin? Dengan tampang jelekmu itu, apa kamu pantas untuk Kak Surya?!"
Surya Santoso merangkul pinggang Sari Johari dan berkata dengan angkuh, "Citra Johari, kamu lihat sendiri kan? Hanya wanita seperti Sari yang pantas untukku."
Sari Johari bersandar manja di dada Surya Santoso. "Kak Surya..."
Surya Santoso menarik Sari Johari sambil berjalan keluar kamar. "Citra Johari, aku beri kamu waktu setengah jam untuk berpikir. Kalau tidak, jangan salahkan aku kalau aku mengusirmu dari sini!"
Bahkan setelah suara mereka berdua menjauh, Citra Johari masih merasa seperti berada di dalam mimpi.
Perubahan ini terjadi begitu cepat, membuatnya tidak bisa berpikir jernih.
Citra Johari dan Surya Santoso sudah saling mencintai sejak kuliah hingga akhirnya menikah. Tiga bulan yang lalu, Surya Santoso diakui oleh sebuah keluarga kaya raya ternama di Jakarta. Meskipun orang tua Surya Santoso hanyalah cabang sampingan dari keluarga Santoso, hal itu tidak menghalangi Surya Santoso untuk berubah dari seorang rakyat jelata miskin menjadi seorang tuan muda dari keluarga papan atas.
Kenapa dulu saat mengejarnya, Surya Santoso tidak pernah bilang kalau ia tidak pantas untuknya?
Kalau bicara soal status sekarang, ia memang tidak sepandai adik tirinya dalam berdandan dan berbicara manis. Ibunya juga seorang narapidana, dan ia tidak disukai di rumah.
Tapi, meskipun ia dianggap tidak pantas lagi, bukan berarti Surya bisa menghinanya dengan berselingkuh dengan adik tirinya sendiri!
"Bajingan! Surya Santoso! Mau aku cerai demi merestui kalian, pasangan selingkuh? Mimpi!" Setelah berpikir beberapa detik, Citra Johari segera berganti pakaian, mengumpulkan semua uang dan kartu miliknya, lalu keluar dari kamar.
Dari kamar sebelah, terdengar desahan liar Sari Johari.
Citra Johari merasa mual hingga ingin muntah darah. Ia membuka pintu kamar itu sedikit, mengambil ponselnya dan memotret mereka berkali-kali, lalu dengan cepat menyelinap keluar melalui pintu belakang.
Setelah Surya Santoso dan Sari Johari selesai, barulah mereka sadar bahwa di vila yang besar itu, bayangan Citra Johari sudah tidak ada lagi.
Australia, di sebuah rumah sakit.
Berkat program pertukaran pelajar yang diajukan melalui dosen pembimbingnya, Citra Johari memutuskan untuk melanjutkan studi ke Australia demi menghindari Surya Santoso.
Awalnya, jadwal kuliah sangat padat. Baru sekarang ia punya waktu luang untuk datang ke rumah sakit. Citra Johari berencana untuk melakukan aborsi.
Dokter melihat hasil laporannya dan berkata dengan nada serius, "Ibu Johari, dinding rahim Anda terlalu tipis dan ada kemungkinan kelainan. Jika janin ini diaborsi, ada kemungkinan Anda tidak akan bisa hamil lagi di masa depan. Tentu saja, ini hanya sebuah kemungkinan."
Sebagai seorang mahasiswi kedokteran, Citra Johari tentu mengerti. Sambil mengelus perutnya yang sudah mulai membuncit, ia merasa bimbang.
Haruskah ia mempertahankan anak ini, anak yang bahkan ia tidak tahu siapa Ayah-nya?
