Bab [2] Membawa Tiga Anak Kembali ke Tanah Air
Empat tahun kemudian.
Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Jakarta.
Suasana bandara di akhir pekan tampak lebih ramai dari biasanya.
Citra Johari menggendong satu anak di pelukannya dan menuntun satu lagi dengan tangannya. "Kakak," pesannya, "pegang tangan adikmu erat-erat, ya. Ramai sekali, jangan sampai terpisah."
"Tenang saja, Bu!" Si Sulung menggenggam erat tangan Si Tengah, berjalan di samping ibunya.
Mata Si Tengah yang bulat berbinar-binar menatap kerumunan orang yang lalu-lalang. "Ibu, banyak sekali orang yang mirip kita!"
Selama ini mereka tinggal di luar negeri dan jarang sekali melihat wajah-wajah yang familier. Hal ini membuat Si Tengah yang dasarnya sudah periang menjadi semakin gembira.
Citra menemukan stroller bayi dan meletakkan ketiga buah hatinya di sana. Wajah mereka yang tampan dan imut, ditambah lagi mereka kembar tiga, sontak menarik perhatian orang-orang yang lewat.
Empat tahun lalu, ia memang memutuskan untuk mempertahankan kandungannya. Siapa sangka, ternyata ia mengandung anak kembar tiga.
Tentu saja banyak suka duka yang ia lalui. Namun, ia sangat bersyukur ditemani oleh ketiga malaikat kecilnya ini. Mereka membuatnya merasa sangat bahagia dan lengkap.
Awalnya ia berencana untuk tinggal di luar negeri selamanya. Akan tetapi, ketiga anaknya sudah memasuki usia sekolah. Itulah alasannya pulang ke Indonesia. Selain itu, ada satu hal yang ingin ia selidiki.
"Ibu, kita mau ke mana?"
Si Bungsu, satu-satunya anak perempuan, Fara Johari, memiringkan kepalanya. Matanya yang bulat dan polos menatap Citra dengan penuh rasa ingin tahu.
"Fara sayang, kita mau ke rumah Neneknya Ibu."
Citra menyetop sebuah taksi. Ia memangku Fara, sementara dua putranya duduk di sampingnya. Mereka berempat duduk bersama di kursi belakang.
Sopir taksi melihat Citra, seorang wanita muda yang bepergian sendirian dengan tiga anak kecil, dan berkomentar, "Mbak kelihatannya masih muda, tapi anaknya sudah tiga. Kok sendirian saja, Mbak? Ayah anak-anak ke mana? Kasihan Mbak repot sendirian."
Topik tentang ayah mereka selalu menjadi hal yang sensitif bagi si kembar tiga. Selama ini, Citra selalu berusaha mengalihkan pembicaraan.
Namun, entah meniru siapa, Si Sulung dan Si Tengah tumbuh lebih dewasa dari anak-anak seusianya. Perlahan, Citra tidak bisa lagi membohongi mereka.
Saat Citra bingung harus menjawab apa, Si Tengah terkikik dan berkata, "Ayah lagi sibuk kerja, Pak Sopir. Oh ya, yang di foto itu anak Bapak, ya?"
Si Tengah menunjuk gantungan hiasan foto yang tergantung di kaca spion depan.
"Iya, betul. Anak Bapak mungkin lebih tua dua atau tiga tahun dari kalian."
Mendengar putrinya disebut, perhatian sang sopir pun langsung teralihkan.
Citra menatap anak-anaknya yang asyik mengobrol dengan sopir, hatinya terasa sedikit pedih.
Saat itu, suara penyiar radio terdengar, "Berikutnya kami sampaikan laporan lalu lintas terkini. Telah terjadi kecelakaan yang menimpa CEO baru Grup Santoso, Bapak Arya Santoso. Kondisinya belum diketahui. Bagi saksi mata yang melihat kejadian, harap menghubungi nomor telepon berikut..."
Fara nyeletuk seperti orang dewasa, "Zaman sekarang kecelakaan banyak sekali, ya. Bapak Sopir harus hati-hati menyetirnya!"
Sopir itu tertawa geli. "Tenang saja, Dek. Bapak ini jago nyetir, kok. Dulu mantan pembalap, lho!"
Citra mendengarkan berita di radio dalam diam.
Grup Santoso.
Itu adalah keluarga Santoso yang sangat terpandang di Jakarta. Surya Santoso hanyalah salah satu cabang dari keluarga besar itu.
Arya Santoso?
Nama itu terasa tidak asing di telinga Citra, membuatnya kembali tenggelam dalam kenangan.
"Ibu! Airnya sudah mau penuh!"
Suara Fara menyadarkan Citra dari lamunannya. Ia baru sadar dirinya terlalu melamun, semua yang dilakukannya terasa seperti gerakan mekanis.
Citra bergegas mematikan keran air.
Setelah Neneknya meninggal, beliau mewariskan sebuah rumah di pinggiran Jakarta untuknya. Dulu, ia rutin datang untuk membersihkannya. Selama empat tahun ini, perabotannya tidak berubah, hanya debunya yang semakin tebal. Namun, ia melihat ada beberapa jejak kaki di lantai.
Pasti Surya Santoso pernah datang untuk memeriksa apakah ia ada di sini.
Begitu tiba, Citra langsung mengajak anak-anaknya bersih-bersih. Tapi karena terlalu asyik melamun, ember yang ia isi air hampir meluap.
"Fara, kamu istirahat saja, biar Ibu yang mengepel."
Citra mengambil kain pel, lalu bertanya, "Kakak-kakakmu di mana?"
"Semangat, Ibu!" Fara menyemangati ibunya sambil menjawab, "Kakak Sulung di halaman belakang. Tadi Kakak Tengah ke sini ambil tisu, terus lari keluar lagi."
Halaman belakang sudah lama tidak terurus, kini ditumbuhi ilalang liar. Posisinya yang membelakangi tebing membuatnya tampak semakin terpencil dan menyeramkan.
Khawatir terjadi sesuatu pada anak-anaknya, Citra meletakkan kain pel dan mengajak Fara ke halaman belakang.
"Kakak Sulung!"
"Kakak Tengah!"
Sambil menggendong Fara, Citra menyusuri jalan setapak berlumpur yang dipenuhi semak belukar sambil memanggil anak-anaknya.
"Ibu! Kami di sini!"
Dari dalam semak-semak di depan, terdengar suara Si Sulung.
Citra bergegas menghampiri mereka. "Kalian sedang apa di sini?"
Si Sulung mendongakkan wajah mungilnya yang rupawan. "Ibu, kami menemukan seseorang."
Si Tengah bangkit dan menyodorkan tisu di tangannya. "Ibu, dia berdarah, tapi masih bernapas. Ayo kita tolong dia! Nanti kita bisa dapat uang untuk biaya pengobatannya!"
Barulah Citra melihat seorang pria terbaring di tanah dengan tubuh penuh luka. Pakaiannya robek dan compang-camping, kulitnya yang terekspos penuh dengan goresan dan memar.
Meskipun masih bernapas, kondisinya kritis.
Jika tidak segera ditolong, pria ini bisa mati.
Citra menengadah ke puncak tebing, tetapi ujungnya tak terlihat. Pria ini benar-benar beruntung masih hidup setelah jatuh dari atas sana.
Setelah menurunkan Fara, Citra berjongkok dan mengangkat kelopak mata pria itu, lalu memeriksa denyut nadinya di rahang selama beberapa detik. Setelah itu, ia berdiri.
Dengan jiwa penolong seorang dokter, Citra memutuskan untuk menyelamatkannya.
Dengan susah payah, ia berhasil membawa pria itu masuk ke dalam rumah dan membaringkannya di tempat tidur, tanpa memedulikan noda darah di pakaiannya.
"Ibu, aku ambil kotak P3K!"
"Ibu! Aku ambil air!"
"Ibu, aku temani Ibu di sini, temani Om ganteng!"
Citra hanya bisa terdiam.
Melihat putrinya menatap pria di tempat tidur dengan mata berbinar-binar, Citra tidak bisa menahan senyumnya.
Meskipun wajah pria itu penuh lebam, dari fitur wajahnya yang tegas dan rahangnya yang kokoh, tidak sulit untuk melihat bahwa ia adalah pria yang sangat tampan.
Ia tidak menyangka, Fara yang masih sekecil ini sudah bisa terpikat pada ketampanan seseorang.
Tak lama kemudian, Si Sulung datang membawa kotak P3K. Ia menarik tangan adiknya dan berkata, "Fara, jangan sembarangan bilang semua orang ganteng. Nanti kalau sudah besar, kamu gampang ditipu."
Fara mengerucutkan bibirnya. "Tapi Om ini memang ganteng sekali, kok. Mirip sama Kakak Sulung."
Tangan Citra yang sedang memegang jarum akupunktur terhenti sejenak. Ia menatap lekat-lekat pria yang tak sadarkan diri itu. Dari sorot mata dan alisnya, memang ada sedikit kemiripan dengan Si Sulung.
"Ibu, mau mulai tusuk jarum, ya?!" Mata bulat Si Tengah tampak sangat antusias.
Mendengar itu, Fara langsung menciutkan lehernya. "Jangan tusuk Fara, jangan tusuk Fara."
Citra tersenyum. "Iya, Ibu mau menolong orang. Anak-anak pintar, Kakak Sulung, ajak adik-adikmu keluar dulu, ya."
"Baik, Bu!"
Si Sulung dengan patuh membawa Si Tengah dan Fara keluar dari kamar.
Citra menarik napas dalam-dalam, lalu membuka pakaian pria itu hingga hanya tersisa celana dalamnya. Kemudian, ia mulai menusukkan jarum satu per satu ke titik-titik akupunktur vital di tubuhnya.
Pria itu memiliki tubuh yang tegap dan kekar, otot perutnya yang six-pack naik turun seiring napasnya. Pandangan Citra kemudian jatuh pada bahu kanannya.
Tangan Citra yang hendak menusukkan jarum berikutnya membeku di udara, matanya terbelalak kaget.
Di sana, ada bekas gigitan berwarna merah samar!
Malam itu, empat tahun yang lalu, karena rasa sakit yang tak tertahankan, Citra menggigit bahu pria di atasnya dengan sangat keras, hingga ia bisa merasakan anyir darah di mulutnya.
Pria ini tidak hanya memiliki bekas gigitan di bahu, wajahnya pun sangat mirip dengan anak-anaknya.
Mungkinkah ada kebetulan seperti ini di dunia?
Citra menatap pria yang terbaring tak sadarkan diri itu dengan perasaan syok yang luar biasa.
