Bab [3] Merindukan Ibu

Tentu, sebagai pakar terjemahan sastra Tiongkok-Indonesia dengan pengalaman 15 tahun, saya akan mengubah naskah ini menjadi sebuah karya yang terasa otentik dan memikat bagi pembaca Indonesia. Saya akan menerapkan semua prinsip yang telah ditetapkan, mulai dari penciptaan nama, lokalisasi budaya, hingga penyesuaian gaya bahasa untuk menciptakan pengalaman membaca yang mendalam.

Berikut adalah hasil terjemahannya:


Saat itu, Direktur Rahman Lianto berdeham pelan, berusaha menenangkan suasana ruang rapat. "Rekan-rekan sekalian, izinkan saya memperkenalkan dengan hormat, Mas Hakim, investor kita, Bapak Arya Hakim!"

Begitu nama itu disebut.

Arya Hakim?

Sontak seisi ruangan menjadi riuh. Mereka akhirnya sadar, laboratorium tempat mereka bekerja ternyata berada di bawah naungan Grup Hakim.

Suara pembawa acara terdengar bergetar karena antusias dan rasa hormat. "Mulai hari ini, Mas Hakim akan memimpin rumah sakit internasional kita menuju pencapaian yang lebih gemilang. Mari kita sambut dengan tepuk tangan yang paling meriah!"

Di tengah suasana yang bergemuruh itu, Maya Wijaya tiba-tiba mengangkat kepala. Pandangannya tak sengaja bertemu dengan Arya Hakim. Sepasang mata itu, dalam laksana langit malam, setajam elang, seolah mampu menembus rahasia terdalam di sanubari manusia.

Orang biasa pasti akan menghindar, tapi Maya Wijaya justru menatapnya balik, sembari membatin, “Jangan-jangan ini keluarga Hakim yang waktu itu mencariku?”

Arya Hakim hanya mengangguk tipis, lalu dengan tenang memberi perintah pada Rahman Lianto, "Mulai saja." Tapi, siapa yang masih peduli dengan isi rapat? Arya Hakim, pria dengan pesona yang meluap-luap itu, telah menjadi pusat perhatian, pria idaman setiap wanita di kota ini. Pesonanya tak terbantahkan.

Di dalam ruang rapat, selain suara Arya Hakim yang berat dan berwibawa, yang terdengar hanyalah desahan tertahan dan lirikan malu-malu dari para karyawati yang tak bisa menahan diri untuk tidak memandanginya.

Suasana di ruang rapat terasa begitu subtil sekaligus menegangkan.

Suara Rahman Lianto kembali terdengar, menggelegar seperti petir di siang bolong, "Untuk tim peneliti kali ini, akan dipimpin oleh Maya Wijaya yang bertanggung jawab atas penelitian inhibitor virus." Nama yang disebut mendadak itu membuat tubuh Maya Wijaya tersentak. Ia ragu sejenak, lalu menarik napas dalam-dalam, dan dengan mantap berdiri sambil mengangguk singkat.

Dalam hatinya, Maya Wijaya kembali berpikir, “Keluarga Hakim? Apa ini keluarga Hakim yang selama ini mencariku?”

Pikirannya jadi tidak fokus, pandangannya berkelana ke segala arah, tapi ia selalu merasa ada tatapan tajam yang seolah terus mengikutinya. Ketika ia mencuri pandang, lagi-lagi sosok yang membuat jantungnya berdebar itu yang ia lihat. Aura dominan yang tak bisa dijelaskan itu membuatnya merasa tertekan.

Begitu rapat selesai, Maya Wijaya langsung melesat pergi seperti kelinci yang terkejut. Punggungnya yang bergegas menjauh itu, di mata Arya Hakim, justru menjadi pemandangan yang menarik. Sudut bibirnya terangkat membentuk senyum tipis yang nyaris tak terlihat, seolah menikmati permainan kejar-kejaran yang tak terduga ini.


Malam harinya, di lereng bukit, sebuah vila mewah berdiri dengan anggun. Cahaya lampu yang hangat menerangi seorang pria di dalamnya. Setiap lekuk tubuhnya memancarkan aura yang luar biasa. Ia mengenakan kemeja custom-made yang kainnya melekat pas di tubuhnya yang kekar. Sosoknya terpahat sempurna oleh cahaya, bagaikan karakter yang melangkah keluar dari komik.

Saat itu, sekretarisnya bergegas menyerahkan sebuah map. "Pak, data mengenai Ibu Maya Wijaya sudah saya dapatkan."

Arya Hakim membuka map itu. Gadis di dalam foto itu adalah orang yang sama dengan yang ia temui di laboratorium hari ini, Maya Wijaya, wanita yang tanpa sengaja telah menyentuh hatinya.

Namun, yang lebih menarik perhatian Arya Hakim adalah sosok kecil di dalam foto itu. Seorang anak laki-laki berusia sekitar empat atau lima tahun, mengenakan hoodie dan celana jins. Maya Wijaya tampak sedang merapikan pakaian anak itu dengan lembut, matanya penuh dengan kasih sayang.

Pemandangan itu seketika membuat sorot mata Arya Hakim menjadi rumit.

Anak ini? Apa jangan-jangan... dia sudah menikah? Pikiran itu bagai batu besar yang dilempar ke dalam danau hatinya, menimbulkan riak yang tak henti-henti.

Alis Arya Hakim sedikit berkerut. Jika memang benar begitu, mungkin ia tidak perlu lagi mengikuti wasiat kakeknya untuk menikahinya.

Tepat saat ia tenggelam dalam pikirannya, dering ponsel tiba-tiba memecah keheningan. Nama "Yoan" berkedip di layar. Ia mengangkat telepon, dan suara manja Yoan Wibowo langsung terdengar, "Arya, aku kangen banget sama kamu. Kamu udah lama banget nggak nemuin aku."

"Aku lagi sibuk akhir-akhir ini. Nanti kalau sudah senggang, aku temui kamu," jawab Arya Hakim dengan suara tenang.

"Aku tunggu, ya!" rengek Yoan Wibowo tak mau kalah. Arya Hakim hanya bisa menanggapinya dengan sabar, meski hatinya sudah bergejolak.

Setelah menutup telepon, ia berkata dengan suara berat kepada sopirnya, "Kembali ke rumah leluhur." Perintah singkat itu menyiratkan sebuah keputusan yang tak bisa diganggu gugat.


"Tina, kamu ingat nggak? Data penelitian yang waktu itu kita bicarakan..." Kalimat Maya Wijaya baru saja dimulai ketika suara sambungan terputus tiba-tiba terdengar dari seberang.

"Halo? Halo!" Maya Wijaya tertegun. Notifikasi 'Panggilan Berakhir' di layar ponselnya terasa begitu menyebalkan. Ia menghela napas pelan, meletakkan ponselnya, hatinya campur aduk.

"Ibu, lagi mikirin apa? Kok melamun lihatin HP?" Suara mungil yang menggemaskan memecah lamunannya. Putranya, Nathan Wijaya, melompat-lompat menghampirinya, matanya yang berbinar seolah bisa menerangi hati siapa saja.

Maya Wijaya berjongkok, mengusap lembut kepala putranya. "Sayang, Ibu lagi mikirin kejutan buat kamu besok."

"Wah! Beneran, Bu? Kalau gitu, aku boleh minum boba milk tea kesukaanku, nggak?" Mata si kecil melengkung seperti bulan sabit, saking senangnya ia hampir melompat.

"Tentu saja boleh, pangeran kecilku."

"Kalau gitu, aku cuci muka sama sikat gigi sekarang, biar jadi anak Ibu yang paling baik!" ujar si kecil, lalu melesat masuk ke kamar mandi, meninggalkan tawa renyahnya yang merdu.

Maya Wijaya menatap punggung putranya, sudut bibirnya terangkat tanpa sadar, namun sesaat kemudian gurat kesedihan kembali menyelimutinya. Lima tahun sudah, sejak ia "diusir" oleh ibunya, ia berjuang sendirian di luar negeri. Bahkan, ia tak berani memberitahu keluarganya bahwa ia diam-diam telah melahirkan anak ini. Ia membatin, “Yang harus datang, pada akhirnya akan datang. Aku bukan lagi Maya Wijaya yang hanya bisa lari dari masalah.”

Akhirnya, ia melangkah ke jendela besar, menatap ke luar dengan ujung jari yang sedikit gemetar, lalu menekan nomor yang sudah sangat ia kenal.

"Halo? Siapa, ya?" Suara ibunya di seberang telepon terdengar sedikit serak karena usia.

"Bu, ini aku, Maya." Suara Maya Wijaya bergetar, matanya mulai memerah.

"Maya! Kamu ini, ya, Nak! Lima tahun nggak ada kabar sama sekali. Kamu tahu nggak Ibu khawatir sekali!" Suara Lina Halim seketika menjadi histeris.

Maya Wijaya menarik napas dalam-dalam, berusaha membuat suaranya terdengar tenang. "Bu, maaf. Selama ini aku kerja di luar negeri, sekarang akhirnya aku dipindahtugaskan kembali ke sini."

Hening sejenak di seberang telepon, lalu terdengar suara Lina Halim yang sedikit tercekat. "Baguslah, bagus. Asal kamu mau pulang, Ibu sudah senang. Kata-kata Ibu waktu itu cuma karena emosi, Ibu nggak pernah berniat mengusirmu. Pulanglah, Nak, kamarmu selalu Ibu siapkan!"

Hati Maya Wijaya terasa sesak. Setelah ragu sejenak, ia akhirnya berkata, "Aku... aku akan pulang minggu ini."

Mendengar ucapan ibunya, beban di hati Maya Wijaya seolah perlahan terangkat, kehangatan menjalari seluruh tubuhnya.

"Bu, aku juga kangen sama Ibu. Nanti kalau aku pulang, masakin makanan kesukaanku, ya."

"Iya, iya, nanti Ibu masakin sampai kamu puas," balas Lina Halim dengan nada penuh harap.

Begitu telepon ditutup, ia menarik napas dalam-dalam dan kembali ke kamar. Dilihatnya si kecil sudah mengenakan piyama, menunggunya. Maya Wijaya berjalan pelan ke sisi ranjang, memeluk putranya, dan berbisik lembut di telinganya, "Nanti akhir pekan, Ibu ajak ke rumah Nenek, mau?"

"Beneran, Bu?" Mata si kecil berbinar penuh kejutan.

Yang terpenting, Yoan Wibowo tidak boleh tahu bahwa putranya, Nathan Wijaya, adalah buah hati berharga dari sebuah "kecelakaan" dalam hidupnya.


Sementara itu, di tempat lain, hati Tina Permata terasa gelisah seperti cacing kepanasan. Ia tahu betul, kembalinya Maya Wijaya adalah pedang yang menggantung di atas kepalanya, yang bisa kapan saja membongkar kedoknya. Ia harus segera bertindak agar rahasia lima tahun lalu tidak terungkap. Tanpa ragu, ia menelepon Yoan Wibowo.

"Halo, Yoan, ada kabar buruk. Maya Wijaya sudah kembali..." Suara Tina Permata terdengar sangat pelan, menyiratkan ketegangan.

"Maya Wijaya? Aku kira dia sudah mati di luar sana!" Yoan Wibowo begitu terkejut hingga ponselnya nyaris terlepas dari genggaman. Ia tak pernah menyangka, orang yang seharusnya sudah lenyap selamanya, kini muncul kembali.

"Siapa tahu, kan? Mungkin dia kembali untuk menyelidiki kejadian lima tahun lalu. Kalau sampai dia tahu yang sebenarnya..." Tina sengaja menggantung kalimatnya, penuh dengan nada provokasi.

Hati Yoan Wibowo mencelos. Giginya bergemeletuk menahan geram. Kenapa Maya Wijaya tidak bisa menghilang selamanya saja? Kebahagiaan yang ia miliki sekarang dibangun di atas penderitaan Maya Wijaya.

"Tenang saja, kita ini ada di perahu yang sama. Aku akan cari cara."

Merasa tujuannya tercapai, Tina tidak berkata apa-apa lagi dan langsung menutup telepon.

Yoan Wibowo menggenggam ponselnya dengan wajah pucat pasi. Rencana licik mulai tersusun di benaknya. Ia tidak akan membiarkan Maya Wijaya menghancurkan semua yang ia miliki sekarang, terutama posisi sebagai istri Arya Hakim. Posisi itu harus menjadi miliknya!


Tak terasa, akhir pekan pun tiba. Maya Wijaya menepati janjinya pada sang ibu untuk makan malam di kediaman keluarga Wibowo.

Lina Halim sudah sibuk di dapur sejak pagi, namun ia benar-benar lupa apa saja makanan kesukaan dan pantangan Maya Wijaya.

"Ibu beli seafood sebanyak ini buat apa? Boros sekali, cuma bisa buang-buang uang..." bisik seorang asisten rumah tangga, takut menyinggung sang nyonya rumah. Barulah Lina Halim tersadar. Rasa bersalah dan penyesalan seketika menyelimuti hatinya.

Makan malam kali ini, sudah bisa dipastikan tidak akan berjalan dengan tenang...

Bab Sebelumnya
Bab Selanjutnya