Bab [4] Diejek oleh Ayah dan Anak dari Keluarga Wibowo
"Ayah, apa benar Maya Wijaya pulang malam ini?" Yoan Wibowo menyerbu masuk ke ruang keluarga, wajahnya penuh kebingungan.
"Iya, bagusnya sih dia mati saja di luar sana!" geram Zainal Wibowo, rahangnya mengeras menahan amarah.
"Ayah, si Maya itu sudah lima tahun tidak pulang. Jangan-jangan ijazah kuliahnya saja tidak dapat, makanya sekarang tidak bisa hidup di luar dan pulang untuk jadi benalu di rumah!" Yoan Wibowo menyunggingkan senyum sinis, matanya berkilat penuh provokasi.
"Berani-beraninya dia. Rumah ini Ayah yang berkuasa, dan ibunya itu masih dalam genggaman Ayah," lanjut Zainal Wibowo dengan angkuh.
Yoan Wibowo berbalik, langkahnya ringan menaiki tangga, ujung gaunnya melambai di udara, meninggalkan seruan penuh percaya diri, "Hmph, aku mau lihat muka apa yang dia pakai untuk kembali. Kasus yang dulu itu sudah membuat keluarga ini sangat malu."
Di dalam taksi, Maya Wijaya dengan suara lembut menjelaskan "misi rahasia" malam ini kepada putranya. Mata si kecil langsung berbinar dan ia mengangguk-angguk penuh semangat.
Rumah keluarga Wibowo. Di bawah selubung malam, jamuan makan keluarga dipenuhi ketegangan. Setiap orang menyembunyikan perhitungan licik di dalam hati.
Saat itu, Lina Halim sudah berdiri di depan pintu, tatapannya sarat akan kerinduan sekaligus kegelisahan menanti kepulangan putrinya. Sebuah taksi berhenti perlahan. Ia nyaris berlari menghampiri. Begitu pintu mobil terbuka, sosok Maya Wijaya yang menggandeng seorang anak laki-laki kecil langsung menyita perhatiannya. Lina Halim terpaku, mulutnya ternganga.
"Ini... ada apa ini?" Hati Lina Halim terperanjat. Kenapa ada anak laki-laki di samping putrinya?
Maya Wijaya menatap ibunya. Lima tahun telah mengukir jejak waktu di wajah sang ibu, dan itu sedikit memudarkan kebencian di hatinya.
"Bu, aku pulang," sapanya lembut, lalu menarik si kecil ke hadapan ibunya. "Nathan, ayo, panggil Nenek."
"Nenek!" Suara Nathan Wijaya yang imut dan menggemaskan seketika meluluhkan hati Lina Halim.
Lina Halim tertegun sejenak, lalu matanya membelalak saat sadar. "Ini... ini cucuku? Kamu... kapan kamu menikah?"
"Iya, Bu. Namanya Nathan Wijaya, putraku, usianya sudah tiga tahun," jawab Maya Wijaya, sengaja mengurangi umur Nathan untuk mencegah perhitungan licik Yoan Wibowo.
Di tengah keterkejutannya, Lina Halim tidak bisa menyembunyikan rasa sayangnya. Anak ini... sungguh menggemaskan!
"Lalu, ayah anak ini di mana?" tanya Lina Halim tak sabar.
"Dia kerja di luar negeri. Kebetulan aku pulang untuk ikut sebuah acara, jadi sekalian aku ajak dia menemui Ibu," jelas Maya Wijaya sekenanya.
Mata Lina Halim memerah, rasa bersalah dan kasih sayang bercampur aduk. "Maya, Ibu yang salah padamu. Mulai sekarang, Ibu akan menebus semuanya untukmu dan Nathan."
Ia memeluk cucunya erat-erat. Tubuh mungil yang padat dan wajahnya yang rupawan membuatnya tak henti-hentinya memuji dalam hati. Ini anak paling tampan yang pernah ia lihat.
"Bu, kita ini keluarga, tidak usah bicara seperti itu," kata Maya Wijaya sambil tersenyum, menenangkan emosi ibunya.
"Anak ini... anak siapa?" Suara Zainal Wibowo terdengar penuh ketidakpercayaan. Tatapannya menyapu tajam ke arah Maya Wijaya.
Maya Wijaya tersenyum tipis. Senyum yang tenang namun memancarkan kekuatan yang tak bisa diabaikan. "Pak Wibowo, lama tidak bertemu." Suaranya datar tanpa riak, namun menyembunyikan tekad sekeras batu karang.
"Maya, lima tahun berlalu, dan sekali pulang kamu langsung memberiku 'kejutan' sebesar ini?" Zainal Wibowo cepat-cepat mengendalikan emosinya dan memasang senyum palsu.
Dalam hati ia berpikir, bagaimana cara memberi pelajaran pada tamu tak diundang ini.
Melihat situasi itu, Lina Halim segera menyahut, matanya memancarkan kewaspadaan. "Ayah anak ini sedang sibuk di luar negeri, jadi tidak bisa ikut pulang." Ia berusaha mengalihkan pembicaraan untuk menghindari suasana canggung.
Zainal Wibowo seolah mengerti segalanya. Sudut bibirnya menyunggingkan senyum mengejek. "Menjadi seorang ibu itu tidak mudah, ya, Maya. Sekarang kamu akhirnya bisa merasakan betapa susahnya kami dulu, kan?" Ucapannya diiringi senyum munafik yang menjijikkan.
Saat itu, Nathan Wijaya mengerjapkan matanya yang besar dan bertanya dengan suara imutnya, "Ibu, Nenek, kakek tua ini siapa, ya?" Ia sengaja menekan kata "kakek tua" dengan sangat jelas, menunjukkan bahwa ia tidak menyukai "kakek" yang baru pertama kali ditemuinya ini.
"Apa maksudmu kakek tua? Aku ini kakekmu!" Meskipun kesal, Zainal Wibowo berusaha tetap tenang di permukaan.
"Kakek? Kata Ibu, Kakek sudah pergi ke surga," ucapan polos si kecil itu langsung menusuk ke jantung percakapan, membuat suasana membeku seketika.
"Lihat itu, Maya! Begini caramu mendidik anak? Sama sekali tidak punya sopan santun," seru Zainal Wibowo dengan nada pura-pura kaget, matanya penuh cemoohan.
Suara Maya Wijaya sedingin es, nadanya tegas tak terbantahkan. "Soal sopan santun, biar saya yang mengajarinya. Tidak perlu merepotkan Pak Wibowo." Auranya yang kuat seketika menekan balik gertakan Zainal Wibowo.
Lina Halim menghela napas pelan. Ia melirik Zainal Wibowo tanpa kentara dan berkata lirih, "Sudah lima tahun, Maya dan anaknya susah payah pulang. Sudahlah, jangan bicara seperti itu lagi."
Tepat pada saat itu, terdengar langkah kaki ringan dari arah tangga. Yoan Wibowo menjulurkan kepalanya. Melihat si kecil dalam pelukan Lina Halim, matanya berkilat penasaran. "Wah, anak kecil ini dari mana? Lucu juga." Ucapannya bernada main-main.
Zainal Wibowo menjawab ketus, "Adikmu diam-diam melahirkan di luar negeri. Puas kamu sekarang?"
Mendengar itu, raut wajah Yoan Wibowo langsung berubah. Ia bergegas menuruni tangga dan menunjuk lurus ke arah Maya Wijaya. "Maya Wijaya, jangan-jangan kamu ditipu laki-laki hidung belang, ya? Anak ini, jangan-jangan kamu bawa pulang untuk kita yang membiayai?"
Wajah Lina Halim menegang. Ia menatap Zainal Wibowo, lalu menjelaskan dengan pasrah, "Yoan, bagaimana kamu bisa bicara seperti itu? Anak ini punya ayah, hanya saja ayahnya sibuk kerja di luar negeri, jadi tidak bisa ikut pulang."
Yoan Wibowo mendengus, melanjutkan provokasinya, "Bu Lina, Ibu percaya saja omong kosongnya? Mana foto ayahnya? Coba tunjukkan pada kami!"
"Betul, mana fotonya? Keluarkan sebagai bukti," Zainal Wibowo ikut menimpali. Ayah dan anak itu bersahutan, berusaha mempermalukan Maya Wijaya.
Yoan Wibowo mengambil kesempatan untuk mendekati Maya Wijaya, merendahkan suaranya dengan nada penuh hinaan, "Perempuan sepertimu, mungkin melahirkan anak dari hasil jadi simpanan orang, ya..." Kalimatnya belum selesai, tatapan tajam Maya Wijaya membuatnya menelan kembali sisa kata-katanya.
Lina Halim menghela napas dalam-dalam. Ia tidak pernah punya banyak suara di rumah ini. Saat ini, ia hanya bisa menggandeng tangan cucunya dan perlahan berjalan keluar, meninggalkan keheningan dan kecanggungan di dalam ruangan.
Tatapan Maya Wijaya dingin menusuk. Sudut bibirnya menyunggingkan senyum mengejek saat ia melontarkan empat kata, "Bukan urusanmu."
Lima tahun berlalu tidak hanya gagal meninggalkan jejak penuaan pada Maya Wijaya, tetapi justru memberinya pesona yang lebih matang.
Api cemburu nyaris membakar kewarasan Yoan Wibowo. Sejak kecil ia selalu hidup di bawah bayang-bayang adiknya, dan sekarang ia merasa kalah telak dalam segala hal. Hatinya dipenuhi rasa tidak terima.
Melihat kesempatan itu, Zainal Wibowo ikut menyerang dengan suara yang tajam dan menusuk, "Maya Wijaya, untuk apa kamu kembali? Di keluarga Wibowo ini, sudah tidak ada lagi tempat untukmu!"
