Bab [5] Datang untuk Membuat Masalah
Maya Wijaya tertawa sinis, senyumnya menyiratkan ketajaman. "Oh ya? Jangan lupa, kalau bukan karena bantuan Kakek dan Nenek, apa perusahaan Ayahmu bisa sesukses sekarang? Mungkin sudah bangkrut dari dulu." Ucapnya dengan tatapan yang menajam.
"Kalau bukan karena itu, memangnya keluarga Wibowo mau repot-repot mendekati kami?"
Mendengar itu, Yoan Wibowo berteriak histeris, "Maya Wijaya, jangan kurang ajar kamu! Lima tahun lalu aku bisa membuatmu angkat kaki dari sini, sekarang pun aku masih bisa!"
Maya Wijaya tersenyum dingin. "Di rumah ini, aku hanya mengakui Ibuku. Kalian? Hah, cuma orang asing yang tidak penting."
Zainal Wibowo, yang dari tadi diam dengan wajah pias, ikut menimpali dengan kejam, "Pulang-pulang bawa anak haram yang tidak jelas asal-usulnya, masih berharap dapat untung dari keluarga Wibowo? Mimpi di siang bolong!"
Maya Wijaya membalas dengan senyum remeh, serangannya setajam pisau. "Memang ada saja orang yang wawasannya sempit seperti katak dalam tempurung, tapi lagaknya selangit, padahal kerjanya hanya ongkang-ongkang kaki." Kata-katanya sukses memadamkan kesombongan Zainal dan Yoan Wibowo seketika.
Yoan yang pertama kali sadar dari keterkejutannya. Ia tertawa sinis, menatap Maya dengan tatapan menantang, "Jangan-jangan, kamu pulang untuk merebut kembali harta warisan mereka?"
Maya tidak menjawab, hanya menatap Yoan dengan mata sedingin es, seolah sedang menonton pertunjukan badut.
Tatapan matanya begitu tajam, seolah memperingatkan, "Benar, aku akan merebut kembali semua yang menjadi hakku."
Lina Halim, yang mendengar keributan itu, bergegas masuk dan menarik Maya ke sisinya, mencoba melerai pertengkaran itu.
Maya tidak ingin hubungan dengan ibunya yang baru saja membaik kembali merenggang. Ia pun membalikkan badan, mengeluarkan ponselnya, dan mengabaikan ayah dan anak tiri itu.
Wajah Zainal Wibowo memerah karena marah. Saat ia hendak meluapkan amarahnya, tatapan memohon dari Lina Halim menghentikannya. Ia terpaksa menahan emosinya dalam-dalam.
Di meja makan, Lina Halim secara khusus meminta asisten rumah tangga menyiapkan dua masakan yang tidak pedas untuk cucu kesayangannya. Perhatiannya pada Nathan Wijaya jelas-jelas membuat hati Zainal dan Yoan semakin panas.
Lina Halim bertanya dengan antusias tentang pekerjaan Maya. Sambil tersenyum, Maya menjawab, "Aku ambil studi biomedis di luar negeri, Bu. Sekarang baru pulang untuk ikut sebuah acara di Rumah Sakit Internasional Jakarta, seminar penelitian virus biologi."
Lina Halim memujinya tanpa henti, "Wah, kedengarannya hebat sekali. Kamu benar-benar sudah sukses ya, Maya."
Melihat itu, Yoan tidak mau kalah dan menyela, "Aku juga baru dapat pekerjaan bagus, lho." Namun, Lina Halim hanya mengerutkan kening tanpa menanggapinya, membuat Yoan merasa sangat canggung.
Ia menyikut Zainal Wibowo di sebelahnya, memberinya isyarat untuk membantunya.
Zainal pun segera angkat bicara, "Yoan kan nanti akan mengambil alih perusahaan, buat apa capek-capek kerja kantoran?" Ucapannya jelas dimaksudkan untuk merendahkan Maya dan meninggikan putrinya sendiri. Tapi Lina Halim hanya tersenyum tipis tanpa berkomentar apa-apa.
"Nenek, Ibuku hebat sekali, lho!" Nathan Wijaya menggoyang-goyangkan lengan Lina Halim dengan gembira, wajahnya penuh kebanggaan. Mendengarnya, wajah Lina Halim langsung berseri-seri. Ia mengelus kepala si kecil dengan penuh kasih. "Iya, iya, Ibumu memang yang paling hebat."
Melihat ibunya begitu menyayangi putranya, hati Maya terasa sangat hangat. Sebaliknya, Zainal dan Yoan semakin jengkel melihat bocah kecil itu.
Selesai makan, Maya pergi ke mal besar terdekat dengan mobil ibunya. Lina Halim dengan royal membelikan berbagai macam hadiah untuk cucunya. Robot dan mainan Lego seharga jutaan rupiah ia bayar tanpa berkedip sedikit pun. Maya buru-buru mencoba menghentikannya, tetapi Lina Halim merasa semua itu masih belum cukup untuk menebus rasa bersalahnya selama bertahun-tahun.
Lina Halim bersikeras mengantar Maya pulang sampai ke kompleks apartemennya. Melihat tempat tinggal putrinya yang tidak seberapa besar, hatinya terasa pilu. Selama ini, Zainal Wibowo sudah mengembangkan perusahaan hingga bernilai ratusan miliar rupiah berkat uang dan koneksi dari orang tuanya, sementara putrinya sendiri masih menyewa tempat tinggal. Ia bertekad untuk memberikan kompensasi pada putrinya.
Setelah mengantar ibunya pulang, Maya duduk di sofa sambil memeluk putranya. Si kecil tiba-tiba memiringkan kepalanya dan bertanya, "Ibu, Ayah sebenarnya di mana?"
Maya tertegun. Ia tahu, cepat atau lambat putranya pasti akan menanyakan hal ini.
Ia mengelus lembut kepala putranya, perasaannya campur aduk, tidak tahu harus menjawab apa.
Seakan merasakan kegundahan ibunya, si kecil dengan pengertian mengulurkan tangannya dan mengelus pipi Maya. Suaranya terdengar polos namun tegas, "Ibu, ada Ibu saja sudah cukup!"
Setelah itu, ia berbalik, duduk di atas karpet, dan mulai asyik menyusun mainan Legonya, seolah tenggelam dalam dunianya sendiri.
Melihat sosok mungil putranya yang begitu pengertian, hati Maya dipenuhi perasaan yang rumit.
Ia tahu betul, nyawa kecil ini adalah segalanya baginya.
Ia menghela napas pelan, memendam dalam-dalam semua gejolak di hatinya.
Ia tahu, ia harus kuat. Hati ibu dan anak itu kini saling bertaut erat.
Sementara itu di kediaman keluarga Wibowo, Yoan terbangun dari mimpi buruknya pada dini hari. Ia bermimpi Arya Hakim mengetahui kebenarannya dan mengusirnya tanpa ampun dari vila mereka. Dan orang yang menggantikan posisinya adalah Maya Wijaya.
Ia terduduk dengan panik, keringat membasahi piyamanya. Ia melihat sekeliling, memastikan dirinya masih berada di kamarnya dan semua itu hanyalah mimpi. Tapi mimpi itu terasa begitu nyata dan membuatnya ketakutan.
Ia teringat semua yang dimilikinya saat ini—uang, status, dan juga cinta dari Arya Hakim. Semua itu tidak boleh hilang!
"Maya Wijaya, kenapa kamu tidak mati saja di luar negeri sana..." Yoan berteriak marah sambil melempar bantalnya ke lantai. Baginya, keberadaan Maya adalah ancaman terbesar!
Yoan memutuskan untuk menemui Maya. Ia harus mencari tahu apa yang Maya ketahui tentang kejadian malam itu. Jika Maya tahu kebenarannya... maka ia harus segera bertindak!
Keesokan paginya, setelah mengantar putranya ke sekolah, Maya bergegas menuju kantor. Ada rapat pagi. Suasana di ruang rapat terasa tegang dan serius. Saat semua mata tertuju pada Maya, ia sedikit terkejut.
"Dengar-dengar, kalau vaksin antivirus kali ini berhasil, Pak Hakim bakal dapat bonus seratus juta, lho," bisik seseorang.
Hati Maya mulai menebak-nebak, meski rasanya tidak mungkin. Apa yang sebenarnya direncanakan Arya Hakim? Kenapa menaikkan bonus sampai setinggi itu?
Setelah kembali ke ruangannya, Sari Wijaya datang membawakan secangkir kopi. "Kak Maya, ada yang mencari."
Maya mengangkat kepalanya dengan bingung. "Siapa?"
Pintu ruangannya diketuk, lalu sesosok wanita masuk.
Saat melihat wajah itu, kebencian langsung meluap di mata Maya!
"Yoan Wibowo, kamu masih punya muka untuk menemuiku?" ucapnya dingin, menatap tajam wanita di hadapannya kata demi kata.
Yoan justru tersenyum miring, berpura-pura akrab. "Lho, Maya, kok kamu ngomongnya gitu? Aku kan ke sini mau menengokmu."
"Menengokku? Memangnya kamu sebaik itu?" Maya menahan keinginan untuk menampar wajahnya.
"Aduh, Maya, kok kamu bisa bilang begitu? Aku tulus, lho, datang ke sini untuk melihat keadaanmu." Ucap Yoan, namun matanya berkilat licik. "Tapi... apa kamu tidak merasa jijik, ya? Mengingat malam itu kamu tidur dengan pria lain?"
