Bab [6] Yang Tak Terhindarkan
Wajah Maya Wijaya langsung berubah! Tapi dengan cepat, ia berhasil menenangkan diri. "Yoan Wibowo, tutup mulutmu! Kamu masih punya muka untuk mengungkit masalah itu?!"
Tubuh Maya Wijaya bergetar karena amarah, tatapannya sedingin es, menusuk tajam ke arah Yoan Wibowo.
Melihat Maya yang murka, Yoan Wibowo justru merasa puas. Ia seolah telah menemukan titik lemah Maya.
"Kalau kamu bertemu lagi dengan pria itu, apa kamu masih akan mengenalinya?" tanya Yoan Wibowo dengan nada penuh provokasi.
"Pergi!" Suara Maya Wijaya menusuk tulang. Jarinya menunjuk lurus ke arah pintu, matanya menyiratkan kobaran api.
Wajah Yoan Wibowo sedikit memucat, tapi ia segera menguasai diri dan mendengus dingin. "Maya Wijaya, lebih baik kamu bersikap sopan padaku. Kalau tidak, aku akan pastikan kamu tidak bisa bekerja lagi di rumah sakit ini."
Mendengar itu, kilatan tajam terpancar dari mata Maya Wijaya.
Tanpa ragu, ia menyuruh Sari Wijaya untuk mengusir tamunya, suaranya mengandung wibawa yang tak terbantahkan, "Kamu tahu siapa saya?"
Yoan Wibowo langsung berdiri dengan angkuh. Ia sudah mencari tahu sebelumnya, rumah sakit ini adalah milik Grup Hakim. Dan dia, adalah calon istri direktur utama Grup Hakim.
Ia pikir status itu akan membuat Maya gentar, tapi ia tak menyangka Maya hanya meliriknya dengan dingin.
"Selagi aku belum menamparmu, cepat pergi dari sini."
Wajah Yoan Wibowo menjadi gelap. Ia membuka pintu dan melangkah keluar.
Sari Wijaya yang berdiri di dekat pintu terlonjak kaget. Ia sadar telah membuat masalah; wanita tadi jelas datang untuk mencari gara-gara dengan Maya Wijaya.
"Kak Maya, maaf, aku tidak tahu ...." Sari Wijaya menatap punggung Yoan Wibowo yang menjauh, lalu memandang Maya dengan cemas.
Namun, Maya Wijaya hanya menarik napas dalam-dalam. Ia tahu, pertempuran ini baru saja dimulai.
Di luar laboratorium, Yoan Wibowo berteriak-teriak histeris, menuntut agar Maya Wijaya diusir dari rumah sakit. Suaranya yang melengking dan menusuk telinga menarik perhatian semua orang di laboratorium.
Maya Wijaya melangkah keluar menghampiri Yoan Wibowo. Dengan dingin ia berkata, "Bagus! Silakan saja."
Yoan Wibowo terintimidasi oleh aura Maya Wijaya.
Kejadian lima tahun lalu telah membuat Maya membencinya sampai ke tulang. Sekarang Yoan Wibowo malah berani membuat keributan di laboratoriumnya, kesabarannya benar-benar sudah habis.
Maya Wijaya mengangkat tangannya dan sebuah tamparan keras mendarat di pipi Yoan Wibowo.
"Aaaargh!" Yoan Wibowo menjerit kesakitan, tubuhnya kehilangan keseimbangan dan jatuh ke lantai. "Maya Wijaya, kamu berani sekali menamparku!"
Semua orang terperangah. Mereka tidak menyangka Maya Wijaya yang biasanya terlihat ramah dan baik hati berani main tangan. Namun, Maya tidak peduli. Tatapannya terpaku pada kalung di leher Yoan Wibowo. Matanya berkilat marah, seolah melihat kisah di balik kalung itu.
Ia berjongkok dan tangannya langsung meraih kalung Yoan Wibowo.
"Apa yang kamu lakukan?!" pekik Yoan Wibowo. Kalung itu ia beli dengan harga mahal, mana mungkin ia biarkan Maya merampasnya begitu saja? Keduanya pun saling tarik-menarik memperebutkan kalung itu, menciptakan suasana yang sangat kacau.
Tepat pada saat itu, sebuah suara pria yang berat dan dingin terdengar dari arah lift, "Hentikan."
Semua orang serentak menoleh. Terlihat seorang pria berjalan mendekat, tatapannya sedingin es, membuat siapa pun bergidik ngeri.
Maya Wijaya dan Yoan Wibowo pun menghentikan gerakan mereka dan mendongak. Begitu melihat siapa yang datang, keduanya membeku. Arya Hakim? Kenapa dia ada di sini? Bukankah seharusnya dia di luar negeri?
Tatapan Arya Hakim berhenti sejenak pada Maya Wijaya, sebelum beralih ke Yoan Wibowo.
Tangannya yang besar dengan cepat mencengkeram pergelangan tangan Maya, lalu mendorongnya menjauh. Alisnya yang tajam bertaut rapat, suaranya sarat dengan amarah yang tak terbantahkan, "Sudah cukup?"
Kemudian, ia berbalik dan berjalan menuju Yoan Wibowo.
Jantung Yoan Wibowo berdebar kencang. Ia menatap Arya Hakim dengan ngeri. Ia sama sekali tidak menyangka Arya akan muncul saat ini, apalagi sampai mengenal Maya Wijaya.
Tepat saat ia mengira dirinya akan terbongkar, Arya Hakim tiba-tiba membungkuk dan berkata dengan lembut, "Yoan, kamu tidak apa-apa?"
Kelenjar air mata Yoan Wibowo seketika aktif. Hidungnya terasa masam, dan air mata langsung bergulir deras.
Dengan lemah ia bersandar pada Arya Hakim, suaranya bergetar, "Arya, sakit sekali ...." Sambil berkata begitu, ia menutupi wajahnya, memasang ekspresi paling menderita.
Maya Wijaya berdiri di samping, matanya terbelalak karena syok.
Ternyata Yoan Wibowo dan Arya Hakim memiliki hubungan dekat yang tidak ia ketahui.
Atmosfer di seluruh ruangan seolah membeku. Semua mata tertuju pada Maya Wijaya. Dalam benak mereka, terlintas pikiran yang sama: Habislah Maya Wijaya kali ini, berani-beraninya dia memukul wanita Pak Hakim!
Yoan Wibowo tentu tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Sambil terus menangis, ia diam-diam mengamati reaksi Arya Hakim. Ketika melihat Arya menatap Maya dengan ekspresi jijik, hatinya bersorak gembira.
Ia yakin, Maya Wijaya tidak tahu bahwa pria malam itu adalah Arya Hakim.
"Arya, aku benar-benar kesakitan ...."
Yoan Wibowo mencoba merentangkan tangannya untuk memeluk leher Arya Hakim erat-erat, tapi Arya dengan gesit menggeser tubuhnya, menghindar dengan elegan.
Ia menarik Yoan Wibowo berdiri, menggenggam tangannya erat, dan berjalan dengan langkah cepat menuju lift. Pintu lift perlahan tertutup, meninggalkan Maya Wijaya seorang diri, berdiri mematung dengan wajah penuh kebingungan.
Yoan Wibowo adalah wanita Arya Hakim? Bagaimana mungkin! Maya Wijaya menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan gejolak di hatinya. Ia butuh waktu untuk mencerna berita mengejutkan ini.
"Maya Wijaya, nekat sekali kamu, berani cari masalah dengan wanitanya Pak Hakim!" seorang rekan kerja menghampirinya dengan nada sinis.
Maya Wijaya mendengus dingin, menatapnya tajam, lalu berbalik masuk ke ruangannya dan membanting pintu. "BRAK!"
Duduk di meja kerjanya, Maya Wijaya menopang kening dengan kedua tangan, pikirannya kacau balau.
Trik apa yang dipakai Yoan Wibowo? Bagaimana bisa dia memikat pria sekaliber Arya Hakim? Rasanya mustahil, apa pria itu buta?
Sementara itu, di kantor Arya Hakim, Yoan Wibowo duduk di sofa sambil terisak-isak menceritakan kejadian hari ini.
"Arya, kamu harus membelaku!" ia menunjuk pipinya yang memerah, menangis sesenggukan.
Alis Arya Hakim bertaut rapat. Ia pikir Maya Wijaya hanya terlihat dingin dari luar, ia tidak menyangka wanita itu punya sisi sekasar ini. Hal ini justru membuatnya semakin penasaran pada Maya Wijaya.
Ia menatap Yoan Wibowo dengan tajam, lalu berkata datar, "Kamu pulang dan istirahat dulu. Masalah ini akan aku urus."
Ia lalu meminta sekretarisnya untuk mengantar Yoan Wibowo pulang.
Setelah Yoan Wibowo pergi, Arya Hakim berpikir sejenak, lalu langsung menelepon Direktur Laboratorium, Rahman Lianto. "Suruh Maya Wijaya datang ke kantor saya."
Tak lama kemudian, Maya Wijaya menerima panggilan untuk menghadap ke kantor CEO Grup Hakim.
Ia menarik napas dalam-dalam. Apa yang harus terjadi, terjadilah. Paling parah, ia tinggal mengundurkan diri.
