Bab [1] Akan Mati

Tentu, sebagai ahli terjemahan sastra Tiongkok-Indonesia, saya akan mengubah teks ini menjadi sebuah karya yang terasa otentik dan ditulis langsung untuk pembaca Indonesia.


[TEKS TERJEMAHAN]

Pukul satu dini hari, di Presidential Suite Hotel Mahkota.

Pakaian berserakan tak beraturan di seluruh penjuru suite. Gaun sang wanita robek di sana-sini, teronggok tak berdaya seperti kain perca.

Anisa Ananda tersadar karena guncangan.

Tubuhnya terasa seperti perahu kecil tanpa sauh di tengah lautan bergelora, terombang-ambing di atas tubuh seorang pria.

Apa yang terjadi?

Bukankah aku sudah berhasil kabur?

Saat menyadari dirinya telah dibius, dengan sisa-sisa kesadaran terakhirnya, ia menabrak pria hidung belang itu dan lari keluar dari ruangan.

Jangan-jangan ia tertangkap lagi?!

“Masih sempat melamun?”

Suara berat dan serak seorang pria berbisik di telinganya.

Bersamaan dengan itu, kedua tangan pria itu mencengkeram pinggang rampingnya, lalu dengan kekuatan otot pahanya, ia menghantam ke atas dengan keras.

“Nghh….”

Anisa Ananda menggigit bibirnya, menahan desahan yang nyaris lolos. Namun, seluruh tubuhnya bergetar hebat. Secara refleks, kedua kakinya merapat, dan tangannya melingkar erat di leher pria itu, bersandar tanpa daya.

Cengkeraman Anisa membuat Ahmad Kusuma mengerang tertahan. Dengan satu gerakan cepat, tangan kanannya mendarat di bokong sintal Anisa. “Plak!” Ia meremasnya sejenak, lalu berbisik dengan suara parau, “Desahkan namaku.”

Anisa hanya menggeleng, air mata mulai menggenang di pelupuknya karena kenikmatan yang meluap-luap, membuat sudut matanya memerah.

Pemandangan itu justru semakin memancing gairah Ahmad Kusuma.

Ia mengubah posisi, menindih Anisa di bawahnya. Satu tangannya terulur untuk mengangkat dagu Anisa, matanya seolah menyala-nyala. “Berani-beraninya kamu membiusku. Kamu harus siap menanggung akibatnya.”

Pikiran Anisa masih berkabut. Ia hanya bisa samar-samar mengenali bahwa pria di hadapannya bukanlah bos hidung belang tadi.

Pria ini memiliki tatapan mata yang dalam, rahang yang tegas, dan bahu lebar yang menutupi seluruh pandangannya. Tepat di bawah tulang selangkanya, sebuah tahi lalat hitam terlihat begitu seksi. Dada dan perutnya yang bidang basah oleh campuran cairan yang tak ia kenali.

Yang paling menakutkan adalah sorot matanya, seolah ingin memerasnya hingga tetes terakhir.

Perlahan, Anisa mencoba mundur.

Detik berikutnya, Ahmad Kusuma menarik pergelangan kakinya, menyeretnya kembali ke posisi semula. Dengan sekali hentak, kejantanannya yang besar dan berurat menghunjam masuk hingga ke pangkal.

Seketika tubuh Anisa melengkung ke belakang, jari-jari kakinya menegang, dan tangannya mencengkeram erat sprei yang sudah basah kuyup. Ia terengah-engah, memohon dengan suara serak bercampur isak tangis, “Kumohon… lepaskan aku….”

Semakin ia menangis, semakin bersemangat pula Ahmad Kusuma. Tanpa belas kasihan sedikit pun, pria itu membuka kedua pahanya lebar-lebar, memaksanya untuk menampung seluruh miliknya.

Lubang kenikmatannya bergetar hebat seiring dengan gerakan pria itu yang liar. Setiap kali kejantanannya ditarik keluar, dinding kewanitaannya akan menjepit erat seolah tak rela melepaskan.

“Bibirmu bilang tidak, tapi bagian bawahmu tidak mau melepaskanku. Lihat, nikmat sekali, kan?”

Cengkeraman itu membuat mata Ahmad memerah karena nafsu. Ia menghentakkan pinggulnya dengan kasar, menghantam hingga ke titik terdalam.

Anisa tak lagi bisa menahan diri. “Pelan-pelan… sakit…,” desahnya.

Meski berkata begitu, bagian bawahnya justru menjepit kejantanan Ahmad semakin erat.

Ahmad tertawa serak. “Sakit? Yakin bukan nikmat?”

Ia menunduk, memeluk Anisa erat-erat. Pinggulnya bergerak dengan kecepatan kilat, menciptakan suara “plok, plok, plok” dari pertemuan kulit mereka yang terdengar begitu sensual dan memabukkan.

“Tunggu—terlalu dalam—”

Tiba-tiba Anisa meronta. Sensasi aneh yang belum pernah ia rasakan menjalari seluruh tubuhnya, membuatnya nyaris gila.

Jepitan Anisa membuat kening Ahmad berkeringat. Ia justru semakin mempercepat gerakannya, terus menghunjam ke dalam tubuh Anisa seolah ingin memasukkan seluruh dirinya.

“Tunggu—sungguh, tunggu sebentar, rasanya aneh sekali—”

“Tidak ada kata tunggu.”

Ahmad menolak permohonannya tanpa ampun, pinggulnya bergerak begitu cepat hingga menciptakan bayangan.

Puncak kenikmatan yang dahsyat menghantam otaknya. Anisa menjerit panjang, kedua kakinya melingkar erat di pinggang kokoh Ahmad. Tubuhnya gemetar hebat selama beberapa saat.

Ahmad mengerang dalam, menekan miliknya dalam-dalam di liang Anisa saat ia melepaskan pelepasannya.

Setelah mencapai puncak, Anisa terkulai lemas, matanya kehilangan fokus.

Ahmad melepaskan kondom yang ia pakai. Kejantanannya masih berdiri tegak, tapi kotak kondom di nakas sudah kosong.

Sejenak ia ragu.

Wanita di bawahnya terengah-engah, kedua kakinya masih terbuka lebar. Lubang kenikmatannya membuka dan menutup seiring napasnya, mengeluarkan cairan putih.

Meskipun tahu itu hanya pelumas, kejantanan Ahmad berdenyut nyeri.

Anisa tidak menyadari apa-apa. Sisa-sisa kenikmatan masih berkejaran di dalam tubuhnya, membuatnya merasa sedikit enggan jika semua ini berakhir.

Detik berikutnya, sebuah tekanan terasa di lubang kewanitaannya. Kepala kejantanan pria itu yang membengkak memaksa masuk dengan arogan.

Ia menatap ngeri, meronta dengan sekuat tenaga. “Jangan lagi, aku bisa mati….”

Tangan kiri Ahmad meraih kedua tangan Anisa, menggenggamnya erat di atas kepala wanita itu. Tangan kanannya membelai bibir Anisa, mengecupnya lembut. “Tidak akan,” bisiknya dengan nada yang tumben sekali terdengar lembut. “Lihat, bukankah ini pas sekali?”

Ia mendorong masuk dengan paksa, gerakannya sama sekali tidak selembut suaranya.

Rasa sakit itu perlahan berubah menjadi kenikmatan yang aneh. Secara psikologis Anisa menolak, tetapi tubuhnya secara naluriah mulai menggoyangkan pinggul, mengikuti ritme gerakan Ahmad.

Malam yang panjang baru saja dimulai.


Keesokan harinya, saat fajar baru menyingsing, Anisa terbangun karena haus.

Ia bangkit untuk minum air. Begitu kakinya menapak di lantai, ia nyaris langsung tersungkur.

Seluruh tubuhnya terasa seperti baru saja dilindas truk berkali-kali.

Ia memungut salah satu pakaiannya yang tergeletak di lantai, robek.

Ia memungut yang lain, robek juga.

Anisa marah bukan main. Ia kembali ke tempat tidur dan “plak!” tangannya mendarat di tubuh Ahmad.

Namun, karena tenaganya belum pulih, pukulan itu lebih terasa seperti sebuah usapan.

Ia melirik jam. Waktu yang ia punya hanya tersisa satu jam dari jadwalnya.

Tanpa pikir panjang, ia membersihkan diri seadanya, lalu mengenakan jas milik Ahmad yang kebesaran. Ia melepas ikat pinggang pria itu dan menggunakannya untuk mengencangkan jas di pinggangnya. Untungnya, pakaian dalamnya masih bisa dipakai, jadi ia tidak perlu benar-benar telanjang di balik jas itu.

Saat sudah di dalam taksi, tangannya meraba saku jas dan menemukan sebuah kartu nama. Di bawah temaram lampu jalan, ia membacanya: Direktur Utama Grup Sukses Makmur, Ahmad Kusuma.

Benda ini hanya akan membawa bencana jika ia simpan. Tanpa ragu, ia melemparkannya ke luar jendela, membiarkannya lenyap ditelan sisa kegelapan fajar.


Pagi harinya, matahari sudah bersinar terang.

Ahmad menatap ruangan yang kosong dan berantakan dengan wajah muram.

Setelah membiusku, dia kabur begitu saja?

Ia memeriksa sekeliling dan menyadari hanya jasnya yang berisi kartu nama yang hilang.

Apa dia mencuri kartu nama itu untuk mengancamku?

Ia meraih ponselnya dan menelepon seseorang. “Bawakan satu setel pakaian kemari,” perintahnya dengan nada dingin.

Sepuluh menit kemudian, asistennya, Maulana Liem, tiba sambil menenteng sebuah tas belanja dari butik mewah. Wajahnya tampak cemas. “Maaf, Pak. Saya khawatir Bapak menunggu terlalu lama, jadi saya hanya sempat memesan dari butik Armani terdekat. Mohon dimaklumi untuk sementara.”

Pakaian Ahmad biasanya dibuat khusus oleh penjahit keluarga dengan bahan terbaik. Ia belum tentu nyaman memakai pakaian dari luar.

Maulana pernah punya pengalaman buruk. Gara-gara membawakan setelan darurat dari butik mewah untuk rapat penting, Ahmad memasang wajah masam seharian.

Namun, kali ini Ahmad sama sekali tidak peduli. Masih mengenakan jubah mandi yang terbuka, jari telunjuknya mengetuk-ngetuk sandaran sofa. “Cari seseorang.”

Maulana melirik sekilas kekacauan di lantai dan langsung paham apa yang terjadi. “Baik, Pak,” jawabnya.

Saat Ahmad selesai berganti pakaian, Maulana kembali dengan sebuah map berisi data. Ruangan suite itu pun sudah kembali rapi seperti semula.

Ahmad menatap foto KTP di dalam map itu. Wajah dingin di foto itu tiba-tiba membawanya kembali pada gambaran wanita itu saat mencapai puncak kenikmatan dengan mata yang kehilangan fokus. Jakunnya naik-turun, dan tanpa sadar ia menyilangkan kakinya.

Setelah selesai membaca seluruh data, ia mengetuk-ngetuk sampul map itu dengan jarinya, menatap Maulana tajam. “Jadi maksudmu, dia lenyap begitu saja?”

Punggung Maulana basah oleh keringat dingin. “Saya akan kerahkan orang untuk mencarinya lagi, Pak,” jawabnya terbata-bata.

Ahmad mengibaskan tangannya. “Tidak perlu,” perintahnya dengan tenang. “Kantor pusat Grup Sukses Makmur tidak perlu pindah lokasi. Kita akan menetap di sini.”

Maulana terkejut. “Tapi, Pak, jaringan bisnis dan ekonomi di Bandung tidak sekuat di Jakarta. Tuan Besar juga berharap Bapak tetap berada di dekat beliau….”

Ahmad mengangkat kelopak matanya, tatapannya dingin menusuk. “Kamu bekerja untuk siapa?”

Bab Selanjutnya