Bab [2] Menemukanmu

Tiga tahun kemudian, Grup Sukses Makmur telah menjadi penguasa tunggal di Bandung.

Para raksasa bisnis yang sebelumnya menguasai Bandung merasa sangat tertekan. Mereka tidak habis pikir mengapa Grup Sukses Makmur, yang seharusnya berpusat di Jakarta di bawah naungan keluarga Ananda, malah datang mengacau di kota kecil seperti Bandung dan membuat mereka semua tak berkutik.

Di dalam ruang direktur utama, Ahmad Kusuma mengakhiri rapat panjang hari itu. Ia memijat pelipisnya, wajahnya menunjukkan kelelahan.

Seperti biasa, ia membuka laci paling bawah dan mengeluarkan setumpuk dokumen tebal.

Tanpa disadari, riwayat hidup Anisa Ananda telah terkumpul di sana, detail demi detail, hingga menyerupai sebuah buku.

Anisa Ananda, putri sulung keluarga Ananda. Ada pepatah yang mengatakan, “punya ibu tiri berarti punya ayah tiri.” Setelah ayahnya menikahi selingkuhannya, Anisa yang merupakan putri sulung hanya dijadikan alat. Meskipun di usia muda ia berhasil meraih gelar doktor ganda, di mata ayahnya, semua itu tidak ada artinya dibandingkan seujung kuku putri bungsunya.

Selama tiga tahun ini, Ahmad Kusuma telah mengerahkan semua sumber daya yang ia miliki, bahkan sampai menyewa tentara bayaran, tetapi hasilnya nihil.

Sosok Anisa Ananda seolah lenyap ditelan bumi.

Bahkan setelah memata-matai keluarga Ananda, tidak ada satu pun petunjuk yang ditemukan.

“Pak Kusuma.”

Maulana Liem mengetuk pintu dengan hati-hati.

Ahmad Kusuma menghentikan lamunannya, meletakkan kembali dokumen itu ke tempatnya, lalu mempersilakan Maulana Liem masuk.

Maulana Liem memegang ponselnya dengan raut wajah serba salah.

Sebelum ia sempat bicara, suara bentakan terdengar dari seberang telepon, “Kasih teleponnya ke dia!”

“Baik, Tuan.”

Maulana Liem dengan hormat meletakkan ponsel yang sudah dalam mode speaker di atas meja.

Kakek Kusuma langsung menyembur, “Sekarang kamu bahkan tidak mau mengangkat telepon dariku lagi?!”

Ahmad Kusuma menghela napas, lalu memberi isyarat agar Maulana Liem keluar sebelum menjawab, “Saya sibuk di kantor, Ayah.”

Ucapannya itu justru menyulut amarah yang lebih besar. “Sibuk? Sibuk apa! Memangnya beberapa perusahaan kecil di Bandung itu bisa membuatmu sesibuk itu?”

“Sudah tiga tahun kamu tidak pulang untuk menengokku. Apa kamu mau membuatku mati karena marah?!”

“Kamu bersikeras membangun perusahaan di Bandung, baiklah, itu grup milikmu, aku tidak bisa ikut campur. Tapi kamu tidak pulang selama tiga tahun, apa kamu masih menganggapku sebagai ayahmu?!”

“Serangan jantungku jadi lebih sering kambuh karenamu!”

Ahmad Kusuma menopang dahinya, mengembuskan napas panjang. “Ayah, aku kenal seorang dokter spesialis jantung yang bagus. Mau aku rekomendasikan?”

Hening sejenak di seberang sana, lalu terdengar tarikan napas dalam, bersiap untuk memarahi lagi.

Tiba-tiba, terdengar suara berisik sesaat, lalu suara di telepon berganti menjadi lebih lembut. “Ahmad, Ayahmu hanya mengkhawatirkanmu. Lihatlah keluarga kita, anak-anak dari keponakanmu saja sudah besar-besar. Sudah saatnya kamu memikirkan masa depanmu juga.”

Ahmad Kusuma adalah anak yang didapat Kakek Kusuma di usia senja, jadi ia sangat dimanja. Posisinya di keluarga juga senior, sehingga bisa dibilang tidak ada seorang pun di keluarga besar Kusuma yang bisa mengaturnya.

“Beberapa hari lagi, anak keponakanmu ulang tahunnya yang ke-10. Pulanglah untuk merayakannya, sekalian menengok kami.”

Telepon itu bahkan sampai ditujukan ke Maulana Liem. Sepertinya, kali ini ia benar-benar tidak bisa menolak untuk pulang.

Ahmad Kusuma pun menyetujuinya. “Baik.”

Nyonya tua di seberang sana terdengar sangat gembira. “Kalau begitu, cepatlah pulang, ya.”

Setelah berpesan beberapa hal lagi, telepon pun ditutup.

Ahmad Kusuma menopang dahinya dan memberi perintah pada Maulana Liem, “Pesan tiket pesawat. Kita kembali ke Jakarta.”

Maulana Liem menunjukkan ekspresi tenang, tetapi dalam hati ia bersorak gembira. Akhirnya bisa pulang! Ia sudah sangat merindukan bekerja di kantor pusat, setidaknya ia tidak perlu lagi mencari orang yang seperti hantu di sini!


Dua hari kemudian, di bandara.

Ahmad Kusuma sedang menunggu di ruang tunggu VIP. Ia mengenakan kacamata hitam, mencoba beristirahat. Sementara itu, Maulana Liem sedang mengatur tugas-tugas selanjutnya di luar.

Di sebelahnya, seorang pria botak berperut buncit sedang berbicara dengan suara keras sambil menggerak-gerakkan tangannya. Tiba-tiba, “PLAK!” secangkir kopi terlempar dan tumpah ke pakaian Ahmad Kusuma.

Noda hitam yang jelek langsung menodai jas mahalnya.

Pria botak itu sepertinya tidak menyadarinya dan terus saja berbicara.

Ahmad Kusuma sedikit mengernyit. Ia malas berurusan dengan orang semacam ini dan berniat memanggil Maulana Liem untuk menanganinya.

Namun, sedetik sebelum ia mengeluarkan ponselnya, sebuah suara yang jernih terdengar, “Bapak botak yang terhormat, Anda menumpahkan kopi ke orang lain, tidak seharusnya Anda minta maaf? Apa Anda sedang menindas Bapak tunanetra ini karena beliau tidak bisa melihat?”

Ahmad Kusuma tertegun. Bapak tunanetra? Apa dia sedang membicarakanku?

Ia mengintip dari balik kacamata hitamnya ke arah sumber suara. Seorang wanita mengenakan gaun pendek berwarna krem yang membuatnya terlihat manis dan menggemaskan. Rambutnya diikat kuncir kuda tinggi, sekilas tampak seperti seorang mahasiswi.

Saat Ahmad Kusuma melihat wajah wanita itu dengan jelas, seluruh tubuhnya menegang. Ia perlahan duduk tegak.

Orang yang telah ia cari selama tiga tahun, setiap lekuk wajahnya telah terukir dalam benaknya, akhirnya muncul di hadapannya.

Anisa Ananda tidak menyadari gejolak batin pria itu. Melihatnya duduk tegak, ia mengira pria itu baru sadar kopinya tumpah. Rasa kesalnya pada si pria botak pun semakin menjadi. “Sebaiknya Anda segera minta maaf pada Bapak tunanetra ini. Kalau tidak, saya akan panggil polisi.”

Pria botak itu melihat Anisa hanyalah seorang gadis muda, sama sekali tidak menganggapnya serius. Ia mendengus dingin, “Kenapa harus aku? Mana buktinya kalau aku yang menumpahkannya? Kamu pikir polisi akan mengurusi masalah sepele seperti ini?”

Anisa belum pernah bertemu orang sekeras kepala ini. Ia tersenyum sinis, “Sudah lama saya menjadi pengacara, orang sesulit apa pun pernah saya hadapi. Anda pikir saya tidak bisa berbuat apa-apa terhadap Anda?”

Aura mengintimidasinya seketika membuat pria botak itu gentar.

Namun, pria itu cepat merasa kesal karena diancam oleh seorang gadis muda. Ia berteriak marah, “Bukan urusanmu! Dasar perempuan sok ikut campur!”

Sambil berkata begitu, ia melangkah maju, seolah hendak menyerang.

Anisa refleks mundur selangkah dan memasang kuda-kuda.

Tiba-tiba, Ahmad Kusuma yang sedari tadi duduk, bangkit berdiri. Ia melindungi Anisa di belakangnya, melepaskan kacamata hitamnya, dan menatap tajam pria botak itu. Dengan bibir tipisnya, ia berucap dingin, “Pergi.”

Sorot mata Ahmad Kusuma begitu menusuk dan mengintimidasi. Nyali pria botak itu langsung ciut, ia menelan ludah dengan gugup.

“Baju ini, bahkan jika kamu menjual dirimu sendiri, kamu tidak akan sanggup membayarnya. Kalau kamu masih sayang nyawa, aku sarankan kamu pergi sekarang.”

Mendengar itu, pria botak tersebut langsung menyerah dan pergi dengan tergesa-gesa.

Ahmad Kusuma menarik napas dalam-dalam, lalu berbalik menatap Anisa Ananda. Matanya menelusuri setiap inci wajah wanita itu, seolah ingin mengulitinya hingga tak bersisa.

Jantung Anisa berdebar kencang melihat tatapan itu. Tatapan setajam ini, mana mungkin dia tunanetra!

Namun, mengingat ia tadi ikut campur tanpa izin, ia merasa tidak enak untuk menyalahkannya. Ia pun membuang muka dengan canggung. “Sepertinya saya sudah ikut campur urusan orang.”

Baru saja Ahmad Kusuma membuka mulut untuk bicara, suara Maulana Liem terdengar, “Pak Kusuma, sudah waktunya naik pesawat…”

Saat melihat Anisa Ananda, pupil matanya membesar, dan akhir kalimatnya berubah menjadi, “…kah?”

Gawat, sepertinya rencana pulang batal.

Anisa memanfaatkan kesempatan itu untuk berpamitan. “Sepertinya kalian ada urusan penting. Kami permisi dulu.”

Setelah berkata begitu, ia menarik seorang gadis di sebelahnya dan berbalik pergi.

Maulana Liem menatap Ahmad Kusuma dengan cemas, dalam hati ia berdoa tanpa henti, jangan katakan kalimat itu, jangan katakan kalimat itu…

“Maulana Liem, batalkan perjalanannya.”

Satu kalimat singkat itu sudah cukup untuk menjadi vonis bagi Maulana Liem.


Di sisi lain, setelah Anisa Ananda dan Mulia Setiawan keluar dari bandara, Mulia tidak bisa menahan diri untuk berkomentar, “Orang tadi aneh banget, ya. Jelas-jelas bukan tunanetra, tapi kenapa dia diam saja? Jadi bikin kita canggung.”

Anisa juga merasa pria itu aneh, namun entah kenapa terasa familier. Ia menggelengkan kepala, berusaha tidak terlalu memikirkannya.

Ia menatap papan besar bertuliskan “Stasiun Bandung”, dan sorot matanya berubah dingin.

Tiga tahun. Akhirnya ia kembali menginjakkan kaki di tanah ini.

Tiga tahun yang lalu, ‘ayahnya yang baik’ telah menyerahkannya sebagai hadiah. Pengkhianatan itu terukir begitu dalam di hatinya!

Kali ini, ia akan menagih semua utang di masa lalu

Bab Sebelumnya
Bab Selanjutnya