Bab [3] Investasi Dua Puluh Triliun Rupiah

Anisa tidak menunggu lama, sebuah sedan Mercedes-Benz berhenti perlahan di hadapannya.

Kaca jendela mobil turun. Melihat dua gadis muda yang tampak polos, sang sopir langsung menunjukkan raut tidak sabar. "Produser kalian mana?"

Anisa sedikit mengernyitkan dahi, lalu balik bertanya, "Anda dari kru film?"

Alis pria itu semakin bertaut. "Bukan urusanmu! Kalau kalian tidak kenal Cantika, kenapa kalian yang bawa-bawa kopernya?"

Mulia, yang berdiri di samping Anisa, tidak terima dengan nada bicara pria itu. Matanya membelalak. "Buka mata Anda lebar-lebar! Wanita di depan Anda ini Cantika!"

Sopir itu menatap Anisa dengan curiga, jelas tidak percaya.

Anisa sudah sangat lelah. Dengan malas, ia berkata, "Saya setuju menggarap musik untuk film 'Menuju Ketenangan' dengan bayaran rendah karena naskahnya memang bagus. Kalau Anda ragu, silakan tanya langsung ke sutradara."

Sopir itu tertegun menatapnya. Dalam sedetik, raut wajahnya berubah drastis menjadi senyum menjilat. "Oh, ternyata Bu Cantika! Maaf, saya salah menilai orang. Saya asisten sutradara, panggil saja Mas Lim."

Dengan sigap, ia turun dari mobil, membukakan bagasi, dan memasukkan koper Anisa. Sambil tersenyum lebar, ia berkata, "Seluruh kru sudah menunggu kedatangan Ibu."

"Semua sangat antusias begitu tahu Ibu bersedia membantu proyek kami!"

Siapa yang tidak kenal Cantika? Produser musik legendaris yang bahkan tawaran dari Hollywood pun harus disesuaikan dengan jadwalnya!

Seorang legenda sepertinya bersedia menggarap musik untuk film berbiaya rendah mereka? Ini adalah sebuah anugerah bagi seluruh kru.

Seharusnya, Anisa hanya perlu bertemu dengan sutradara dan tim pascaproduksi. Namun, untuk menunjukkan rasa hormat, seluruh kru film—dari sutradara hingga staf logistik—rela menunggunya dengan sabar.

Sepanjang perjalanan, Mas Lim tidak henti-hentinya melontarkan pujian, sikapnya berbanding terbalik 180 derajat dengan saat ia pertama kali tiba.

Anisa merasa terganggu dengan celotehannya. Ia memejamkan mata sambil berdecak, "Cih."

Mas Lim langsung terdiam seribu bahasa.


Sementara itu, di lantai teratas markas besar Grup Sukses Makmur.

Ahmad Kusuma membolak-balik dokumen yang baru saja diserahkan oleh Maulana Liem.

Pantas saja ia mencari selama tiga tahun tanpa hasil. Ternyata selama ini wanita itu cukup aktif, tapi tidak pernah sekali pun menggunakan nama aslinya.

Saat bertemu di bandara, dari nada bicaranya, Ahmad mengira Anisa kembali untuk urusan hukum. Ternyata, ia kembali untuk menggarap proyek musik.

Jari Ahmad berhenti pada daftar karya musik Anisa beberapa tahun terakhir. Semuanya adalah proyek-proyek besar dan ternama. Beberapa lagu instrumentalnya bahkan sering ia putar sebagai pengantar tidur.

Hebat juga, pikirnya.

Pandangannya kemudian tertuju pada nama "Cantika". Sudut alisnya terangkat. Oh?

Sebuah senyuman tipis yang nyaris tak terlihat terukir di bibirnya.

Maulana Liem yang berdiri di sampingnya sampai merinding. Orang yang dicari Pak Kusuma selama tiga tahun akhirnya ketemu juga... nasibnya pasti akan sangat tragis.

Maulana benar-benar kasihan pada gadis itu. Berbakat, tapi sayang sekali.

Saat sedang melamun, ia mendengar Ahmad bertanya, "Apa latar belakang film 'Menuju Ketenangan'?"

Maulana sedikit terkejut, lalu menjawab, "Tidak ada yang spesial, Pak. Hanya film produksi kecil dengan bujet rendah."

Ahmad mengerucutkan bibirnya. Jari-jarinya mengelus foto Anisa di dokumen itu, suaranya terdengar lebih dingin. "Tidak ada orang yang dia kenal di dalam kru itu, kan?"

"... Tidak ada, Pak."

Pak Kusuma ternyata masih punya hati nurani juga, batin Maulana. Mau memberi pelajaran pada Anisa, tapi masih khawatir akan menyeret orang-orang tak bersalah di kru film.

Raut wajah Ahmad tampak lebih santai. Ia mengangguk puas. "Suntikkan dana dua puluh miliar rupiah ke 'Menuju Ketenangan'. Sediakan juga music compiler paling canggih untuk mereka."

"Baik, Pak. Saya akan segera... Hah?"

Maulana menatap atasannya dengan bingung. Bukankah tujuannya untuk memberi pelajaran pada Anisa? Kenapa malah memberinya fasilitas? Dan kenapa juga harus berinvestasi di film yang biasa-biasa saja?

Meskipun dua puluh miliar rupiah bukan jumlah yang besar bagi Pak Kusuma, tapi rasanya tidak perlu.

Ahmad menatapnya dengan tajam. "Ada masalah?"

Maulana langsung menggelengkan kepala. Mana berani ia membantah? Ia hanya bisa menuruti perintah Ahmad.

"Satu lagi," tambah Ahmad. "Awasi semua interaksi sosialnya, laporkan padaku secara berkala. Terutama jika dia berhubungan dengan pria lain."

"... Baik, Pak."

Maulana sudah terlalu sering terkejut hingga kini merasa mati rasa. Saat berjalan keluar ruangan, ia tiba-tiba sadar. Jangan-jangan... pertanyaan Pak Kusuma tadi tentang apakah ada orang yang dikenal Anisa di kru film itu karena beliau curiga Anisa rela menurunkan standarnya demi seorang kekasih gelap di sana?


Di lokasi syuting, Anisa baru saja selesai berkenalan dengan seluruh kru. Selama satu jam penuh, ia harus mendengarkan berbagai macam pujian, dari para aktor hingga staf logistik.

Baru kali ini ia tahu bahwa kalimat sanjungan di dunia ini ternyata sangat beragam.

Saat aktor utama sedang bersemangat menyatakan kekagumannya, sang produser tiba-tiba berdiri. Matanya terpaku pada layar ponselnya. Dengan langkah lebar, ia berjalan ke tengah ruangan dan mengumumkan dengan suara keras, "Baru saja ada kabar dari Grup Sukses Makmur! Mereka bersedia berinvestasi sebesar dua puluh miliar rupiah!"

Seluruh ruangan hening sesaat, lalu meledak dalam sorak-sorai gembira.

"Ya Tuhan, dua puluh miliar!"

"Berarti kita bisa syuting di lokasi asli, bahkan bisa ke luar negeri?!"

Dua puluh miliar mungkin hanya setetes air di lautan untuk film dengan efek visual canggih. Tapi untuk film naratif biasa, itu adalah durian runtuh yang bisa meningkatkan kualitas produksi di semua lini!

Di tengah riuh kegembiraan, sang produser menghampiri Anisa. Ia menggenggam tangan Anisa dengan mata berkaca-kaca. "Bu Cantika, Anda benar-benar bintang keberuntungan kami!"

Anisa bingung. Sambil menarik tangannya, ia tersenyum canggung. "Apa hubungannya dengan saya?"

"Tentu saja ada hubungannya!" sahut produser dengan cepat. "Satu-satunya syarat investasi dari Grup Sukses Makmur adalah seluruh kru harus mengikuti arahan Ibu. Ini pasti karena mereka mengakui kemampuan Bu Cantika dan tidak ingin Ibu merasa tidak nyaman di proyek ini!"

"Tenang saja, Bu. Apa pun permintaan Ibu, langsung sampaikan saja!"

Anisa semakin tidak mengerti. Ia sama sekali tidak punya hubungan dengan Grup Sukses Makmur. Kenapa mereka tiba-tiba berinvestasi atas namanya?

Tapi, ini juga kabar baik. Jika jadwal kru bisa lebih fleksibel, ia tidak perlu pusing memikirkan izin untuk urusan pribadinya.

Anisa memanfaatkan kesempatan itu. "Kalau begitu, karena sudah ada dana tambahan, sebaiknya kru mencari lokasi syuting yang baru. Kebetulan, saya juga punya beberapa urusan pribadi yang harus diselesaikan."

Produser sama sekali tidak berani menolak. Ia mengangguk setuju berulang kali dan mengantar Anisa sampai ke pintu dengan penuh hormat. "Kabari kami kapan pun Ibu siap."

Begitu masuk ke dalam mobil, Anisa menghela napas panjang.

Mulia melihat kelelahan di wajah sahabatnya dan merasa iba. "Istirahatlah dulu. Kamu belum berhenti sejak turun dari pesawat."

Anisa melirik jam tangannya, tatapannya berubah dingin. "Puncaknya baru akan dimulai. Gaunnya sudah siap?"

Malam ini adalah pesta pertunangan putri bungsu keluarga Ananda dengan putra sulung keluarga Zeno.

Anya Ananda dan Reza Zeno. Yang satu adalah adik tirinya, yang satu lagi adalah teman masa kecilnya.

Seharusnya, wanita yang berdiri di pelaminan malam ini adalah dirinya.

Yang lebih konyol, Reza, yang dulu mati-matian berjanji akan menikahinya, justru berpaling dan tidur dengan Anya. Saat Anisa memergoki mereka, Reza malah menyalahkannya karena tidak pernah mau disentuh.

Mulia melihat luka yang sekilas terpancar di mata sahabatnya. Dengan suara pelan, ia bertanya, "Semua sudah siap. Kamu... kamu masih suka sama Reza?"

Anisa tertawa sinis. "Aku tidak murahan. Badan biasa saja, kelakuan nol besar. Daripada suka sama dia, mending aku cari model pria."

Saat mengatakan itu, benaknya tiba-tiba kembali ke sebuah malam yang samar tiga tahun lalu. Wajah pria itu sudah tidak ia ingat, tapi sensasi kenikmatan yang luar biasa itu seolah terukir abadi di tubuhnya.

Mulia, yang sedikit banyak tahu tentang kejadian itu, menyikut lengan Anisa dengan iseng sambil mengedipkan mata. "Gimana kalau sekalian kita cari pria itu? Maksudku, kalau dia bisa bikin kamu 'kena' dalam sekali coba, kualitasnya pasti lumayan, kan..."

Anisa menepuk pelan lengan sahabatnya, pura-pura kesal. "Kamu tuh, ya."

Namun, lelucon yang pas itu berhasil mengusir sedikit kesedihan yang menyelimutinya.

Ia kembali memasang ekspresi serius. "Ayo jalan. Kita beri kejutan untuk keluargaku tersayang!"

Bab Sebelumnya
Bab Selanjutnya