Bab [5] Pembatalan Pertunangan
Seluruh aula perjamuan hening senyap, hanya suara gemerisik kertas dari rekaman video polisi yang sedang membolak-balik catatan yang terdengar.
Reza Zeno dengan sigap melesat ke depan dan mencabut kabel daya proyektor. Seketika, suara gemerisik itu pun lenyap, hanya menyisakan detak jantung yang berdebar kencang.
Para tamu, baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi, menatap keluarga Ananda dengan tatapan penuh rasa jijik dan tidak percaya.
"Menjual putri kandungnya sendiri ...."
"Manusia macam apa yang bisa melakukan hal seperti itu?"
"Adiknya malah merebut tunangan kakaknya di saat seperti ini. Menurutku, tunangannya itu juga bukan orang baik."
"Kalau aku jadi dia, aku juga akan kabur dan tidak akan pernah kembali seumur hidup."
Opini publik sepenuhnya berpihak pada Anisa. Wajah Bambang Ananda dan Yanti Gunawan serasa ditampar, sementara Anya Ananda sudah tidak mampu bereaksi sama sekali.
Hanya Reza Zeno yang kondisinya sedikit lebih baik, meski raut wajahnya juga sangat tidak enak dipandang.
Anisa Ananda diam-diam mengacungkan jempol pada Mulia Setiawan. Mulia membalasnya dengan menaikkan alis, lalu dengan bangga mendorong proyektor keluar dari ruangan.
"Ayah, semua orang masih menunggu penjelasan Ayah, lho. Sudah tidak mau mempertahankan citra Ayah yang baik hati lagi?"
Kesadaran Bambang Ananda kembali. Bibirnya membiru dan jarinya gemetar menunjuk Anisa Ananda, "Kamu ... dasar anak durhaka! Apa kamu baru puas kalau sudah membuat kami mati?"
Anisa Ananda tersenyum tipis, tetapi matanya sama sekali tidak menunjukkan emosi. "Apa maksud Ayah? Bukankah kalian yang justru ingin membuatku mati?"
Dengan keributan yang sudah sejauh ini, acara pertunangan ini jelas tidak bisa dilanjutkan lagi.
Anisa Ananda sudah mengklarifikasi apa yang perlu diklarifikasi. Ia pun tidak ingin berlama-lama di tempat yang kotor dan menyesakkan ini. Foto-foto pertunangan itu terasa begitu ironis dan menyakitkan mata.
Ia melangkah dengan anggun ke hadapan Reza Zeno, menunduk menatap wajah yang familier sekaligus asing itu.
Tiga tahun tidak bertemu, sepertinya Reza sedikit berubah.
Garis wajah yang dulu selalu membuat jantungnya berdebar kencang, kini terlihat biasa saja.
"Reza Zeno, besok sore aku akan datang langsung ke rumahmu membawa surat perjanjian pembatalan pertunangan."
"Kamu juga tidak mau, kan, hidup dengan cap sebagai pria brengsek dan wanita murahan?"
Setelah selesai bicara, Anisa Ananda berbalik. Ekor gaun mermaid-nya berayun menciptakan gelombang indah seiring langkahnya.
Punggungnya terlihat anggun bak dewi, tak tersentuh.
Reza Zeno terpaku menatap punggung Anisa. Sosoknya benar-benar berbeda dari Anisa Ananda yang ia ingat, yang dulu tak ubahnya seperti seorang pembantu.
Perasaan gelisah yang aneh mulai merayap di hatinya.
Anya Ananda yang merasa teraniaya dan ingin mencari penghiburan, mengangkat kepala dan melihat Reza tengah menatap punggung Anisa dengan pandangan terpesona. Api cemburu seketika membakar hatinya. Ia meraih wajah Reza, memaksanya untuk menatap dirinya. "Apa yang kamu lihat!"
Pandangan Reza jatuh ke wajah Anya. Seketika, satu kata muncul di benaknya: norak dan jelek.
Ekspresinya pun ikut memburuk. Ia menepis tangan Anya dan berkata dengan dingin, "Urus dulu para tamu."
Anya menatap tangannya yang kosong dengan tidak percaya. Kebencian meledak dari matanya: Anisa Ananda, aku ingin kamu mati!
Baru saja masuk ke dalam mobil, Anisa Ananda tiba-tiba bersin. Mulia Setiawan buru-buru mengambil syal kasmir dan menyampirkannya ke bahu Anisa. Tangannya tak tahan untuk tidak menyentuh berlian di gaun itu. "Ck ck ck, investor grup produksimu ini baik sekali, ya. Sampai gaunnya pun disiapkan semewah ini."
Sebelum berangkat, saat Anisa hendak berganti gaun, ia baru menyadari ada sobekan di sudut gaun aslinya. Tepat saat ia sedang panik, Mulia menerima telepon dari seseorang yang mengaku dari sekretariat Grup Sukses Makmur, menanyakan apakah tim produksi mereka membutuhkan bantuan.
Mulia hanya sekilas menyinggung soal gaun, dan sedetik kemudian, setelan bernilai ratusan miliar ini sudah diantar ke hadapan mereka.
Anisa menyentuh zamrud di lehernya, ada perasaan aneh yang tidak bisa ia jelaskan.
Di sisi lain, di markas besar Grup Sukses Makmur—
Ahmad Kusuma menatap wanita yang penuh semangat di layar tabletnya. Ujung alisnya terangkat membentuk senyuman tipis yang bahkan tidak ia sadari.
"Pilihan gaunnya bagus. Bonusnya naik dua kali lipat."
Maulana Liem tersenyum sambil mengucapkan terima kasih. Dalam hati ia bergumam: Gaun ini hanya ada satu di seluruh dunia. Kalau ini saja masih tidak cocok, aku terpaksa harus menyeret desainer papan atas untuk membuatkan gaun khusus untuk Bu Anisa saat itu juga.
Ahmad menggeser bar progres video ke awal, saat Anisa pertama kali masuk. Matanya menyapu setiap inci tubuh Anisa, tatapannya yang biasanya dingin kini dipenuhi kelembutan.
Seolah-olah sedang memandangi harta karunnya yang paling sempurna.
Maulana Liem bergidik ngeri dan tanpa sadar keceplosan, "Pak Kusuma, kalau Bapak menyukainya, kenapa tidak langsung dikejar saja? Apa ada wanita di dunia ini yang akan menolak Bapak?"
Klik.
Ahmad Kusuma mengunci tabletnya. Saat mengangkat kepala, tatapannya sudah kembali sedingin es. "Siapa bilang aku menyukainya?"
...
Bukan begitu, Pak Kusuma, Anda ....
Maulana Liem terdiam seribu bahasa.
Kemudian ia mendengar Ahmad Kusuma memberi perintah lagi, "Rapat besok sore ditunda. Aku mau pergi melihat ulah apa lagi yang akan dibuat oleh keponakan jauhku itu."
Masih bilang tidak suka. Bilangnya mau melihat keponakan jauh, padahal jelas-jelas tujuannya untuk menemui Anisa Ananda!
Maulana Liem ingin sekali marah, tapi ia hanya bisa menahannya dan dengan patuh pergi mengatur ulang jadwal.
Keesokan harinya pukul tiga sore, Anisa Ananda tiba tepat waktu di kediaman keluarga Zeno.
Saat masuk ke ruang tamu, ia baru sadar bukan hanya Reza Zeno yang ada di sana.
Anisa tersenyum penuh arti. "Reza Zeno, ini urusan besar soal pembatalan pertunangan. Kenapa kamu tidak memanggil Ayah dan Ibumu, malah membiarkan Ayah dan Ibu tiriku yang duduk di sini?"
Yanti Gunawan menyahut dengan cepat, "Reza adalah menantu yang sudah kuakui, sama seperti anakku sendiri. Kamulah orang luarnya!"
Bahkan sebelum menikah pun mereka sudah berada di pihak yang sama.
Anisa menatap Reza Zeno dengan tatapan mengejek, tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Ditatap seperti itu, Reza merasakan perasaan aneh yang tidak bisa dijelaskan. Ia mengerucutkan bibirnya dan menjawab, "Ayah dan Ibuku sedang ada rapat di luar negeri, tidak bisa pulang."
Secara tidak langsung, ia memberikan penjelasan pada Anisa.
Tapi Anisa tidak peduli.
Ia langsung mengeluarkan surat perjanjian dan mendorongnya ke hadapan Reza. "Kalau tidak ada masalah, tanda tangani."
Yanti Gunawan mendengus dingin. "Kamu pikir kamu siapa berani memerintah di sini? Kalaupun mau membatalkan pertunangan, seharusnya Reza yang berinisiatif. Kamu ini sudah dikasih muka!"
Kemarin ia kalah telak dan tidak punya kesempatan untuk membalas. Sekarang, akhirnya ia punya panggung untuk beraksi.
"Seharusnya kamu memohon pada Reza agar setuju membatalkan pertunangan ini. Kalau aku jadi kamu, setelah merusak acara pertunangannya, aku pasti akan meminta maaf dan membujuknya dengan baik-baik!"
Anisa meliriknya dengan tatapan meremehkan, lalu mengeluarkan satu dokumen lagi dan berkata dengan tenang, "Jangan terburu-buru. Yang ini disiapkan untuk kalian. Kebetulan kalian ada di sini, jadi aku tidak perlu repot-repot datang lagi."
"Aku sama sekali tidak ingin kembali ke rumah kotor itu."
Wajah Yanti Gunawan dan Bambang Ananda menegang karena marah. Saat mereka menunduk, judul yang dicetak tebal "Perjanjian Penyusunan Surat Wasiat" terasa sangat menusuk mata.
Anisa menambahkan dengan santai, "Ibu saya juga meninggalkan cukup banyak harta untuk keluarga Ananda. Karena sekarang kalian tidak mengakuiku lagi, aku juga malas untuk terus berada di keluarga Ananda. Lebih baik kita selesaikan semuanya dengan jelas."
Yanti Gunawan mengumpat, "Mimpi!"
Bambang Ananda membolak-balik perjanjian itu dengan wajah dingin.
Di sisi lain, Reza Zeno sudah selesai membaca bagiannya. Ekspresinya tidak senang, ia mengerutkan kening dan bertanya, "Kenapa aku harus memberimu ganti rugi empat ratus miliar? Pembatalan pertunangan ini kan atas kemauan kita berdua!"
Anisa menjawab dengan enteng, "Kamu berselingkuh dengan adikku selama masa pertunangan kita. Ini adalah ganti rugi moril yang wajar."
PLAK!
Bambang Ananda membanting dokumen itu ke meja dengan keras, membuat jantung Anisa berdebar kaget.
Meskipun sudah menjauh dari keluarga Ananda, ingatan saat ia berulang kali dijadikan samsak tinju masih terpatri di ototnya.
Tangan Bambang Ananda gemetar hebat karena marah. Sejak semalam ia sudah menahan amarah, dan sekarang akhirnya meledak. "Anak durhaka! Apa maksudmu mengembalikan lima puluh persen saham keluarga Ananda? Itu diberikan oleh ibumu secara sukarela!"
Mendengar ibunya disebut, amarah Anisa seketika tersulut. Ia balas menatapnya tajam. "Apa maksudmu sukarela? Bukankah Ayah menipu Ibu saya setelah berselingkuh dengan pelakor ini?!"
"Kamu!" Bambang Ananda mengangkat tangannya hendak menampar.
Tiba-tiba, sebuah lengan yang kokoh dan kuat terulur dari samping telinga Anisa, mencengkeram pergelangan tangan Bambang Ananda dengan kuat.
Disusul oleh suara berat yang bertanya, "Apa yang sedang kau lakukan?"
