Bab [6] Dia Ingin Semuanya
Ketika melihat siapa yang datang, Bambang Ananda tertegun sejenak, lalu mundur beberapa langkah. Sifat arogannya yang tadi langsung lenyap, digantikan oleh sikap menjilat yang berlebihan. "Pak Ahmad, angin apa yang membawa Bapak kemari?"
Sambil berbicara, ia mati-matian memberi isyarat dengan matanya agar Yanti Gunawan dan Anya Ananda memberi salam.
Dengan terbata-bata, keduanya menyapa, "Pak Ahmad."
Reza Zeno juga menahan sikap angkuhnya dan menyapa dengan hormat, "Kakek Ahmad."
Setelah itu, ia menegakkan punggungnya, terlihat jauh lebih percaya diri dari sebelumnya. Dengan wajah penuh kebanggaan, ia memperkenalkan pria itu kepada Anisa Ananda, "Ini Kakek Ahmad-ku. Ayahku tidak bisa datang, jadi beliau meminta Kakek Ahmad untuk membelaku!"
Selesai berbicara, ia melirik ekspresi Ahmad Kusuma dengan hati-hati. Melihat wajah pria itu tidak berubah, Reza diam-diam merasa senang karena tebakannya benar.
Bukan Pak Ahmad, tapi Kakek Ahmad.
Itu berarti benar-benar setingkat kakek!
Anisa Ananda menatap pria yang baru datang itu dengan heran. Ia hanya bisa melihat separuh wajahnya dari samping. Hidungnya yang mancung menutupi bulu mata di sisi lainnya, rongga matanya dalam, dengan bulu mata yang lebat dan tebal. Garis rahangnya bahkan lebih tegas daripada rencana hidup Anisa sendiri.
Pria itu mengenakan setelan abu-abu tua yang pas di badan, memancarkan aroma kayu cedar yang samar, dalam, dan segar.
Bagaimanapun dilihat, penampilannya sama sekali tidak cocok dengan sebutan "kakek".
Tapi karena mereka satu kubu, berarti semuanya sama saja, sama-sama berhati serigala!
Jangankan datang satu kakek, datang sepuluh pun, Anisa Ananda hari ini akan tetap mengobrak-abrik tempat ini!
Tanpa suara, Anisa Ananda menjaga jarak dari Ahmad Kusuma.
Gerakan kecil itu tertangkap oleh sudut mata Ahmad Kusuma, dan ia sedikit menyipitkan matanya.
Tadi dia baru saja menolong gadis itu dari tamparan, sekarang dalam sekejap gadis itu sudah memasang duri di sekujur tubuhnya untuk waspada padanya?
Reza Zeno tidak berani lamban sedikit pun. Ia segera menyambut Ahmad Kusuma untuk duduk di sofa, lalu mengangguk memberi isyarat pada Anya Ananda untuk menuangkan teh.
Namun, Anya Ananda tidak mengerti isyarat itu. Seperti biasa, ia hanya membelalakkan matanya, berpura-pura polos dan menyedihkan, membuat Reza Zeno hampir memakinya.
Untungnya, Bambang Ananda lebih cekatan. Ia menuangkan teh, menyaringnya, lalu meletakkannya di depan Ahmad Kusuma dengan senyum menjilat.
Anisa Ananda melihat keluarga Ananda melayani seorang pria yang usianya mungkin setengah dari mereka seperti pelayan. Ia hanya merasa pemandangan itu sangat ironis dan menggelikan.
Pantas saja Yanti Gunawan begitu ngotot agar Anya Ananda menggantikannya menikah dengan Reza Zeno. Ternyata mereka mengincar dukungan kuat di belakang Reza Zeno.
"Reza Zeno, perhitungan kita belum selesai," Anisa Ananda mengingatkan dengan suara dingin.
Ahmad Kusuma mengangguk, lalu mengangkat matanya menatap Anisa Ananda, memberi isyarat, "Lanjutkan."
Ia sebenarnya hanya ingin mendengar versi cerita dari Anisa, tetapi dua kata ringan itu terdengar seperti ancaman telanjang di telinga Anisa.
Anisa sekarang seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja, menyerang tanpa pandang bulu. Tatapannya dengan cepat beralih ke Ahmad Kusuma, siap melepaskan tembakan.
Namun, tatapan itu membuatnya terpaku di tempat.
Tadi ia terlalu sibuk marah pada Reza Zeno, baru sekarang ia benar-benar bertatapan dengan Ahmad Kusuma.
Mendengar suaranya, Anisa hanya merasa ada keakraban yang samar.
Tetapi begitu melihat sepasang mata setajam elang itu, ia langsung teringat siapa pria ini.
Tatapan yang begitu memikat, hanya pernah ia lihat pada pria di bandara waktu itu.
Teringat pertemuan pertama mereka saat pria itu berpura-pura tuli dan bisu hanya untuk menertawakannya, Anisa merasakan ketidaksenangan yang muncul tanpa alasan. Ia pun menatap pria itu dengan tajam.
Di sampingnya, Bambang Ananda melihat Anisa tidak hanya menatap lurus ke arah Ahmad Kusuma, tetapi juga menunjukkan ekspresi tidak puas. Ia begitu ketakutan hingga segera menegur, "Anisa Ananda, siapa yang menyuruhmu menatap Pak Ahmad seperti itu!"
Anisa tidak mendengar satu kata pun. Dengan lancar ia membalas, "Memangnya dia Medusa? Nggak boleh dilihat?"
"Kamu!"
Wajah Bambang Ananda membiru karena marah, takut anak yang tidak tahu sopan santun ini akan menyeret mereka semua ke dalam masalah.
Ahmad Kusuma berkata dengan nada datar, "Lanjutkan saja yang tadi."
Niatnya adalah untuk meredakan situasi.
Namun, Anisa sekali lagi mengartikannya sebagai provokasi.
Sorot matanya menjadi gelap. Setelah menatap Ahmad Kusuma dengan tajam, ia kembali menatap Reza Zeno. "Biarpun kamu panggil sepuluh kakek ke sini, itu tidak akan mengubah fakta bahwa kamu telah berkhianat dan melanggar janji pernikahan!"
Reza Zeno, yang merasa punya dukungan, bicaranya menjadi lebih keras. "Perjodohan masa kecil itu dulu cuma omongan sambil lalu. Cuma kamu yang menganggapnya serius. Sekarang kamu masih punya muka datang menuntut ganti rugi, dasar mata duitan!"
Anisa tertawa karena sangat marah. Ia melangkah mendekati Reza Zeno, setiap katanya tegas dan menusuk. "Perjodohan masa kecil itu diajukan keluargamu sebagai balas budi. Itu saja sudah menguntungkanmu, dari mana kamu dapat muka untuk berteriak padaku?"
"Kalau bukan karena perjodohan itu digunakan untuk melunasi budi, menurutmu berapa banyak yang harus keluargamu bayarkan pada Ayahku sebagai tanda terima kasih? Aku bilang empat miliar, itu pun sudah aku beri diskon besar-besaran karena melihat hubungan kita di masa lalu. Kamu masih tidak tahu berterima kasih?"
Setiap kalimatnya menusuk tepat di titik lemah Reza Zeno, membuatnya tidak bisa berkata apa-apa.
Setelah terdiam cukup lama, Reza Zeno akhirnya membalas, "Anisa Ananda, kenapa kamu jadi sangat materialistis sekarang? Dulu kamu tidak seperti ini. Kalau Ibumu masih ada, dia juga tidak akan membiarkanmu bertindak seperti ini!"
Tidak bisa berdebat, ia mulai membawa-bawa perasaan, bahkan membawa-bawa nama Ibunya yang sudah tidak bisa bicara lagi.
Mata Anisa berkaca-kaca, tetapi ia menahan diri dan terus bertanya, "Lalu bagaimana dengan kamu yang menipuku ke hotel? Kalau bukan karena kamu mengirim pesan padaku saat itu, bilang kalau kamu merayakan ulang tahun lebih awal di hotel, aku tidak akan pergi ke kamar itu, dan semua yang terjadi setelahnya tidak akan pernah terjadi!"
Aula itu seketika hening.
Semua orang tahu seberapa besar skandal yang terjadi saat itu.
Meskipun keluarga Ananda dipermalukan dan sempat tidak bisa mengangkat kepala, mereka sebenarnya lebih bersyukur karena akhirnya bisa menyingkirkan Anisa Ananda.
Setiap orang di ruangan ini adalah dalang di balik layar.
Yanti Gunawan diam-diam melirik Bambang Ananda, merasa sangat bersalah.
Meskipun Ahmad Kusuma ini kelihatannya ada di pihak mereka, ia tidak bicara sepatah kata pun sepanjang waktu. Mereka tidak bisa menebak pikiran Ahmad Kusuma yang sebenarnya. Bagaimanapun, masalah ini tidak enak didengar, bagaimana jika pria itu mempermasalahkannya...
Setelah berbicara dengan suara lantang, Anisa Ananda mengamati ekspresi setiap orang dan menyeringai dingin, "Sekarang baru tahu takut?"
Yanti Gunawan, seolah mengaku tanpa ditanya, langsung membantah, "Siapa yang takut?"
Bambang Ananda memelototinya dengan tajam.
Dahi Ahmad Kusuma yang mulus sedikit berkerut. Sorot matanya berkedip, samar-samar tertuju pada Anisa Ananda, tetapi suaranya sangat dingin saat ia meminta konfirmasi dari Reza Zeno, "Apa yang dia katakan itu benar?"
Setelah malam itu, Ahmad Kusuma telah menggunakan banyak cara untuk menyelidiki seluk-beluknya, tetapi semua petunjuk sangat kabur. Ia tidak menyangka kebenarannya seperti ini.
Nada suaranya tidak berat, tetapi terasa menekan hingga Reza Zeno tidak bisa mengangkat kepalanya. Tenggorokannya seakan tersumbat, tidak mampu mengucapkan satu kata pun sanggahan.
Sampai di sini, Ahmad Kusuma sudah tahu faktanya.
Nada suaranya masih datar, tetapi isi perkataannya membuat orang merinding. "Kompensasi, atau hukuman keluarga. Pilih sendiri."
"Meskipun Ibumu punya hubungan yang cukup jauh dengan keluarga utama, setidaknya kamu masih memiliki sedikit darah keluarga Kusuma. Aku yang mendisiplinkanmu, Ibumu pasti tidak akan keberatan."
Jangankan tidak keberatan, ibunya bahkan tidak akan berani membantah sepatah kata pun!
Keringat dingin membasahi dahi Reza Zeno. Ia segera mengambil perjanjian itu dan hendak menandatanganinya.
Tepat saat pena akan menyentuh kertas, Anisa Ananda dengan cepat menarik perjanjian itu.
Menghadapi tatapan bingung Reza Zeno, ia menjawab dengan santai, "Aku berubah pikiran."
Reza Zeno mengira Anisa menyerah untuk menuntut ganti rugi. Baru saja ia hendak merasa senang, ia mendengar Anisa melanjutkan:
"Setelah kupikir-pikir, memang terlalu murah untukmu. Aku mau koleksi pribadi keluarga Zeno dan lima persen saham perusahaan."
