Bab [7] Sebenarnya Mendukung Siapa

"Kamu sudah gila?"

Raut wajah Reza Zeno seketika berubah. Ia berteriak kaget, sama sekali tidak peduli kalau Ahmad Kusuma masih ada di sana.

Koleksi pribadi keluarga Zeno adalah mahakarya kebanggaan Ayahnya. Di dalamnya, banyak sekali barang berharga yang bahkan tidak ternilai dengan uang.

Memberikan itu pada Anisa sama saja dengan mengosongkan separuh kekayaan keluarga Zeno!

Belum lagi saham lima persen. Bahkan dia sebagai anak kandung saja hanya punya delapan persen, dan perempuan ini seenaknya meminta hampir setengahnya?

Benar-benar menuntut harga yang tidak masuk akal!

Anisa Ananda tersenyum manis, dengan raut wajah polos tanpa dosa. "Apa kamu tidak mau menikah dengan cinta sejatimu?"

"Demi cinta sejatimu, kamu bahkan tidak rela berkorban sekecil ini?"

Mata Reza Zeno memerah karena marah. Kalau dia benar-benar menyetujuinya, Ayahnya pasti akan mengulitinya hidup-hidup!

Dengan berat hati, ia mengambil keputusan. "Kalau begitu, aku akan menikah denganmu."

Seketika, mata Anya Ananda memerah dan berkaca-kaca. Dengan nada sedih dan terluka, ia berseru, "Kak Reza ... Bukankah kamu bilang pasti akan menikahiku?"

Sekarang, hanya demi saham yang tidak seberapa, dia tega meninggalkannya?

Lagi pula, koleksi barang antik itu, kan, bisa dicari lagi penggantinya. Kenapa Reza Zeno bahkan tidak bisa melakukan hal sekecil ini untuknya?

Mendengar ucapan Anya, Reza Zeno menjadi serba salah. Di satu sisi, ada ancaman nyawa dari Ayahnya dan risiko dicabut hak warisnya. Di sisi lain, ada cinta sejatinya yang tidak bisa ia lepaskan.

Setelah menimbang-nimbang, ia sudah tahu mana yang lebih penting.

"Aku akan menikah denganmu."

Kali ini, suaranya terdengar lebih mantap.

Anya Ananda melotot, tidak percaya dengan apa yang didengarnya.

Seringai sinis di wajah Anisa Ananda semakin lebar. "Sayangnya, aku tidak sudi menerima laki-laki kotor. Kalian berdua, yang satu kotor dan yang satu bodoh, pasangan licik dari lahir. Kalianlah pasangan yang serasi. Aku tidak akan merusak hubungan kalian."

Ejekan tanpa ampun itu mengusik saraf Reza Zeno.

Tubuh Reza Zeno sedikit terhuyung, ia nyaris saja melayangkan tangannya.

Namun, Ahmad Kusuma hanya mengangkat tangannya sedikit—bahkan bisa dibilang hanya sebuah sentilan kecil—dan Reza Zeno langsung berhenti di tempatnya.

"Nona Ananda, soal koleksi itu memang agak keterlaluan."

Dia bukannya membela Reza Zeno, hanya saja koleksi pribadi itu memang hal yang rumit.

Kalaupun benar-benar diberikan pada Anisa Ananda, itu hanya akan mendatangkan lebih banyak masalah baginya.

Anisa Ananda paham maksudnya dan langsung mengubah permintaannya. "Kalau begitu, bagaimana kalau diganti dengan lima belas persen saham?"

"Baik."

Hanya dalam satu tanya dan satu jawab, kesepakatan itu langsung tercapai.

Lima belas persen saham keluarga Zeno, diberikan begitu saja dengan mudahnya.

Reza Zeno sampai tercengang. Setelah sadar, ia menatap Ahmad Kusuma dengan panik. "Kakek Ahmad, kalau Ayah tahu, dia bisa membunuhku! Lima belas persen saham!"

"Lagi pula, jelas-jelas dia yang mengada-ada dan meminta harga gila-gilaan—!"

Ahmad Kusuma menatapnya dengan dingin, memotong ucapannya. Dengan suara pelan, ia berkata, "Sepertinya, aku perlu bicara dengan Ibumu."

Pupil mata Reza Zeno menyusut, bibirnya gemetar hebat.

Ahmad Kusuma, seolah tidak terjadi apa-apa, menoleh ke arah Anisa Ananda. "Sudah puas?"

Nadanya seperti sedang membujuk anak kecil.

Anisa Ananda sangat, sangat puas. Ia mengangguk.

Namun, setelah mengangguk, ia baru sadar ada yang aneh. Ahmad Kusuma ini, bukankah dia datang untuk membela Reza Zeno?

Kenapa rasanya dia malah membantunya bernegosiasi?

Dalam skenarionya, mendapatkan lima persen saham saja sudah merupakan sebuah keajaiban. Ia tidak menyangka Ahmad Kusuma langsung menaikkannya menjadi lima belas persen.

Anisa Ananda malas memikirkannya lebih jauh. Pandangannya beralih ke Bambang Ananda, lalu berkata dengan santai, "Sekarang ... giliran kalian."

Surat wasiat itu tidak akan langsung berlaku efektif, dan ia juga tidak berharap itu bisa mengikat Bambang Ananda, karena bisa diubah kapan saja.

Yang ia inginkan sekarang adalah mengambil kembali haknya secara langsung.

Fokus tiba-tiba beralih padanya. Wajah Bambang Ananda seketika panik, dan tanpa sadar ia melirik ke arah Ahmad Kusuma.

Dari tadi mengamati, ia sudah paham. Pak Ahmad ini sepertinya tidak terlalu menyukai Reza Zeno. Apakah itu berarti dia juga akan membenci mereka?

Kalau begitu, bukankah apa pun yang dikatakan Anisa Ananda bisa jadi akan didukung?

Bambang Ananda berpikir sejenak, lalu berkata lebih dulu pada Ahmad Kusuma, "Terima kasih banyak Pak Ahmad sudah meluangkan waktu untuk mengurus masalah keluarga kami. Reza masih muda, terima kasih atas bimbingan Bapak. Hanya saja, selanjutnya ini adalah urusan pribadi keluarga Ananda ...."

Maksud tersiratnya adalah meminta Ahmad Kusuma untuk tidak ikut campur.

Tanpa disadari, Anisa Ananda menyela, "Tadi bukannya bilang Reza Zeno itu keluarga kalian dan aku ini orang luar? Kenapa sekarang jadi urusan pribadi keluarga?"

Ia tahu, dengan adanya Ahmad Kusuma sebagai penopang yang dapat diandalkan di sini, Bambang Ananda tidak akan berani berbuat macam-macam.

Maka, ia memanfaatkan kesempatan itu. "Dulu, Ibu saya meninggalkan lima puluh persen saham perusahaan untuk saya, yang selama ini Anda kelola. Sekarang, saya mau mengambilnya kembali."

Bambang Ananda menggunakan alasan usianya yang masih muda untuk mengelola saham itu. Untungnya, saham itu tidak bisa dijual tanpa persetujuannya, kalau tidak, pasti sudah lama terdilusi.

"Itu milik keluarga Ananda, apa hakmu memintanya?"

Yanti Gunawan langsung panik begitu mendengar Anisa Ananda mau mulai membagi harta warisan.

Tapi setelah panik, ia teringat ada Ahmad Kusuma di sampingnya, dan nyalinya langsung ciut.

Hanya berdebat di sini tidak ada gunanya. Anisa Ananda mendengus dingin. "Aku hanya memberitahumu untuk bersiap-siap, karena aku akan mengambilnya kembali melalui jalur hukum."

Ia bersusah payah belajar hukum demi bisa menjebloskan satu per satu orang-orang yang telah menindasnya ke dalam penjara!

Apa yang tidak mau diberikan Bambang Ananda, akan ia biarkan hukum yang merebutnya kembali untuknya!

Ia membungkuk dan mendorong draf surat wasiat itu ke depan. "Ini adalah jalan keluar terakhir yang kuberikan pada kalian atas nama hubungan masa lalu kita. Kalau kalian mau menuliskannya dan membawanya ke notaris, aku hanya akan mengambil kembali dua puluh lima persen. Sisanya, aku bisa sabar menunggu sampai kamu mati."

Kata-katanya tajam dan menyakitkan, penuh dengan serangan.

Bambang Ananda sampai tergagap menyebut kata "kamu" berkali-kali, begitu marah sambil menyesal berat.

Ahmad Kusuma menatap ekspresi kemenangan Anisa Ananda, dan entah bagaimana, ada perasaan bangga yang hangat muncul di hatinya.

Setelah mengatakan semua yang perlu dikatakan, Anisa Ananda melemparkan senyum percaya diri yang dingin. "Sampai jumpa di pengadilan."

Saat berhadapan dengan Ahmad Kusuma, sikapnya sedikit lebih sopan. Ia berterima kasih dengan santun, "Terima kasih, Pak."

Lalu, ia berbalik dan pergi.

Karena masih ada Ahmad Kusuma, Bambang Ananda tidak berani mengejar. Ia hanya bisa menatap Anisa pergi, dan amarahnya semakin menjadi-jadi.

Kalau Anisa berhasil pergi hari ini, entah kapan lagi ada kesempatan untuk membawanya sendirian ke sini.

Setelah memastikan Anisa sudah keluar dari gerbang utama kediaman Zeno, barulah Ahmad Kusuma bangkit dengan perlahan. Ia merapikan setelan jasnya dengan tenang, lalu mengangguk sedikit.

Keluarga Bambang Ananda harus memasang senyum palsu untuk mengantarnya keluar.

Saat sampai di pintu depan, Anisa Ananda sedang duduk di dalam mobil, berbicara di telepon dengan ekspresi serius.

Semangat Bambang Ananda langsung bangkit lagi. Ia buru-buru mengantar Ahmad Kusuma pergi, berharap bisa mencegat Anisa setelah pria itu pergi.

Namun, siapa sangka, Ahmad Kusuma justru menghindari mobilnya sendiri. Mengabaikan Maulana Liem yang sudah membukakan pintu mobil untuknya, ia berjalan lurus ke arah mobil Anisa Ananda.

Sepertinya mereka masih akan bicara sebentar.

Harapan Bambang Ananda pupus. Ia berbalik dan bertanya pada Reza Zeno dengan bingung, "Bukankah dia kakekmu? Kenapa dia sama sekali tidak membelamu?"

Reza Zeno tidak bisa menjawabnya.

Di sisi lain, Anisa Ananda baru saja selesai membahas detail dengan teman pengacaranya. Begitu menutup telepon, ia melihat sesosok tubuh tegap berdiri di samping jendela mobilnya.

Ahmad Kusuma hanya menatapnya dalam diam, tidak mengatakan apa-apa.

Anisa Ananda merasa tidak enak membiarkannya berdiri di luar. Tanpa pikir panjang, ia berkata, "Mau masuk dulu?"

Pria itu tertawa kecil mendengarnya.

Wajah Anisa sedikit memerah. Ia baru saja akan membuka pintu untuk turun, tapi pria itu sudah lebih dulu membuka pintu dan duduk di sampingnya.

Postur tubuhnya yang tinggi membuat ruang sempit di dalam mobil terasa sesak.

Anisa Ananda menahan keinginan untuk mengatur posisi kursinya, lalu bertanya dengan sopan, "Apakah ada hal lain yang ingin Pak Ahmad sampaikan?"

Ahmad Kusuma mengangkat alisnya. "Sudah tidak memanggil Bapak buta lagi?"

Bab Sebelumnya
Bab Selanjutnya