Bab [8] Dia Punya Bayi

Saat pertengkaran mereka hampir meledak lagi, mata Sinta Wijaya menyiratkan kilatan dingin penuh amarah, seolah siap melancarkan serangan pada Sari Wijaya.

“Kamu selalu merasa paling benar. Aku akan tunjukkan siapa aku sebenarnya!” Senyum tipis nan dingin terukir di bibir Sinta Wijaya saat dia melangkah mendekat.

“Mau apa kamu?” Sari Wijaya membara dengan kemarahan, namun takut dan putus asa mengaduk dalam hatinya.

Tiba-tiba ketegangan itu memuncak dengan cepat. Tangan Sinta Wijaya terangkat tinggi, menghantam ke arah wajah Sari Wijaya dengan keras.

Tanpa pikir panjang, Sari Wijaya bereaksi refleks menghindar, lalu menepuk balik pipi Sinta Wijaya dengan tamparan yang tajam! Suara tamparan menggema jelas, membuat Sinta Wijaya terhuyung mundur dan akhirnya terjatuh ke lantai dengan pipi bengkak merah.

“Kamu...” Sinta Wijaya terpaku, tak menyangka Sari berani melawan. Marah dan rasa tidak terima berkecamuk dalam dadanya.

Namun saat tergeletak di depan pintu ruang inap, ekspresi Sinta berubah drastis. Matanya tampak lemah dan polos, segera berubah menjadi sosok wanita rapuh tak bersalah. Dia berbaring sambil meneteskan air mata, suaranya gemetar menangis, “Kenapa kamu pukul aku?”

Pada saat itu, pintu kamar terbuka dan Arya Pradana masuk. Ia berniat menjenguk Sari Wijaya, tetapi melihat Sinta terjatuh langsung hatinya mencelos dan buru-buru maju.

“Sinta! Kamu kenapa?” Tatapan Arya penuh perhatian dan cemas, ia membopong Sinta dengan hati-hati, sadar betapa seriusnya situasi ini.

“Arya, jangan marah. Adik ini nggak sengaja pukul aku, dia cuma terlalu emosi.” Sinta menunjuk ke arah Sari dengan mata sembab, mencoba menyembunyikan niat liciknya.

Kata-kata tuduhan itu menusuk telinga Arya Pradana. Amarahnya langsung membara, perasaannya terhadap Sari bergolak hebat.

“Berani-beraninya kamu mukul Sinta?” tanyanya tegas, lalu menampar pipi Sari Wijaya dengan suara penuh kemarahan, “Kamu bagaimana bisa melakukan hal seperti itu? Dia kan kakakmu!”

Pipi Sari terasa panas terbakar oleh tamparan itu. Mata penuh ketidakpercayaan dan putus asa, dia tak paham mengapa pengorbanannya demi cinta malah dibalas dengan kesalahpahaman dan luka.

“Kamu... bagaimana bisa percaya padanya!” Air matanya tumpah deras, penuh kebingungan, “Dia yang sengaja provokasi aku, makanya aku balas!”

“Aku nggak mau dengar penjelasanmu!” Tegas Arya dengan nada penuh kekecewaan dan murka.

Hati Sari bergemuruh, dipenuhi rasa sedih dan kecewa luar biasa. Pandangannya mulai kabur, air mata terus mengalir. Dia berusaha menahan kesedihan, tapi retaknya kepercayaan itu bagai pisau tajam yang mengiris jiwa.

Suasana ruang inap makin mencekam karena salah paham tiba-tiba ini. Di sisi lain, Sinta Wijaya diam-diam tersenyum puas, hatinya girang sekali. Dia tahu berhasil merobek kepercayaan antara dua orang itu sampai hancur berkeping-keping.

“Sari Wijaya!” Suara Arya semakin dingin, tatapannya campuran antara kontrol dan kecewa, seakan sudah kehilangan kesabaran.

Hati Sari sesak seperti tertimpa batu besar, napasnya tersendat, air mata tak berhenti jatuh. Dia tak mampu membela diri. Dalam hati dia terus berteriak, tapi semuanya seolah sia-sia.

“Aku... aku cuma ingin melindungi diri sendiri...” jawabnya lemah, tanpa daya, jawaban itu sama sekali tak meyakinkan, malah membuatnya semakin terasing, “Dengar aku ya, dia bohong padamu…”

“Sari, jangan begitu. Kakakmu memang salah. Jangan marah. Kalau mau marah, marahlah padaku saja. Tapi jangan sampai luapkan amarahmu pada anak dalam kandunganku. Ini anak Arya.”

Sinta Wijaya menutupi wajahnya, air matanya berlinang bak mutiara yang terlepas dari rantainya.

“Arya, tolong jangan marahi Sari. Semua ini salahku. Aku nggak seharusnya jatuh cinta padamu. Tapi aku harap kamu bisa bujuk Sari supaya nggak sakiti bayi kita…”

Bayi?

Sinta juga punya bayi dari Arya Pradana?

Tidak mungkin! Sari ingat tiga bulan lalu Sinta pernah menjebak seseorang, tapi malah salah kamar dan tidur dengan preman kampungan. Jadi kalau dia hamil, ayah bayinya masih jadi tanda tanya besar.

Bab Sebelumnya
Bab Selanjutnya