Bab [1] Pengkhianatan
Sebuah kafe di pinggir kota.
Sari Lestari duduk di sebuah bilik, menatap gelisah ke arah Fajar Santoso, kekasihnya.
"Fajar," Sari Lestari meraih lengan kemeja Fajar dengan tangan kanannya, bertanya dengan cemas, "Kita harus bagaimana? Cepat pikirkan sesuatu."
Fajar Santoso duduk di hadapannya, bibirnya terkatup rapat. Jari-jarinya mengetuk-ngetuk cangkir kopi dengan gugup.
"Sari, tenang dulu. Biarkan aku berpikir."
"Bagaimana aku bisa tenang? Besok aku akan menikah dengan pamanmu. Padahal, kamu kekasihku."
Sari Lestari seolah sudah membulatkan tekad. Keningnya berkerut, ia menggigit bibirnya dengan ekspresi tegas. "Fajar, aku sudah memutuskan. Aku tidak mau diatur oleh ibu tiriku dan adik tiriku. Aku tidak mau menikah dengan Ardianto Santoso. Fajar," ia beralih meraih tangan kekasihnya, dengan nada nekat, "kita kawin lari saja!"
Fajar Santoso menarik tangannya seolah tersengat, lalu berkata dengan terbata-bata, "Sari, masalah ini perlu kita pikirkan matang-matang. Lagipula, tidak ada yang tahu kalau kamu itu pacarku. Kalau sampai keluarga Santoso tahu aku yang membawamu kabur, bagaimana nasibku di keluarga Santoso nanti?"
Melihat wajah Sari Lestari yang langsung muram, Fajar buru-buru menenangkannya, "Begini saja, besok kamu pura-pura tidak tahu apa-apa, tetap ikuti upacara pernikahan seperti biasa. Lalu, tunggu telepon dariku. Oke? Tenang, Sari, aku pasti akan membawamu pergi. Kalaupun rencana kita gagal, toh Ardianto Santoso itu umurnya tidak akan lama lagi, dan dia juga dalam kondisi vegetatif. Begitu dia meninggal, aku akan langsung membawamu pergi! Tenang saja! Aku tidak akan meninggalkanmu!"
Mendengar perkataan Fajar, hati Sari Lestari langsung lega. Seulas senyum merekah di wajahnya.
Fajar Santoso tertegun sejenak melihat senyum itu.
Senyuman yang begitu memesona, nyaris membutakan matanya.
Hampir saja membuatnya goyah dan membatalkan seluruh rencananya.
Keesokan harinya, di lokasi pernikahan keluarga Santoso.
Di depan cermin rias, Sari Lestari telah selesai bersolek.
Bentuk tubuhnya begitu indah, posturnya tinggi semampai.
Gaun pengantinnya adalah rancangan khusus yang pas di badan. Gaun putih itu membungkus lekuk tubuhnya yang menawan, dengan rok yang menjuntai hingga ke mata kaki.
Pinggangnya sangat ramping, seolah bisa patah dalam satu genggaman, namun tubuhnya tidak sekadar kurus, bagian-bagian yang seharusnya berisi tetap terlihat padat.
Kulitnya putih bersih laksana salju. Riasan wajah yang indah membuatnya tampak begitu memukau, seperti mawar merah yang siap mekar.
Cermin memantulkan wajah yang luar biasa cantik.
Hanya saja, sepasang mata almondnya yang menawan itu memancarkan kegelisahan yang mendalam.
Dua puluh menit sebelum upacara dimulai, ia terus menggulir layar ponselnya, menunggu balasan dengan hati yang membara.
Ia dan Fajar Santoso sudah sepakat, Fajar akan membawanya kawin lari, kabur dari Jakarta. Tapi sampai sekarang, telepon yang ditunggu-tunggu tak kunjung datang.
Ia tidak bisa menunggu lebih lama lagi.
Pernikahan ini hanya dihadiri oleh pengantin wanita.
Pengantin prianya absen.
Setengah tahun yang lalu, sebuah kecelakaan mobil membuat Ardianto Santoso terbaring tak sadarkan diri hingga kini, menjadi pasien vegetatif.
Dokter bahkan memvonis usianya tidak akan lebih dari satu tahun lagi.
Mendengar kabar itu, ibunya, Nyonya Santoso, merasa hatinya hancur berkeping-keping.
Melihat nasib malang yang menimpa putranya di usia muda, ia memutuskan untuk mengatur sebuah pernikahan untuknya selagi masih hidup.
Meskipun keluarga Santoso adalah salah satu keluarga konglomerat papan atas di Jakarta, tidak ada keluarga yang rela menikahkan putri mereka dengan pria yang sekarat.
Terlebih lagi, Sari Lestari sudah punya kekasih. Ia sama sekali tidak ingin terjun ke dalam neraka ini.
Ia bangkit dari kursi, menggenggam ponselnya, lalu mencari alasan untuk keluar dari kamar.
Ada orang di ruang ganti, ia tidak bisa menelepon di sana.
Tapi ia harus segera menghubungi Fajar Santoso sekarang juga.
Ia ingin tahu, bagaimana sebenarnya rencana Fajar untuk membantunya kabur dari pernikahan ini.
Kalau bukan karena siasat ibu tiri dan adik tirinya, seharusnya ia tidak berada di sini.
Dengan kedua tangannya, ia mengangkat rok gaunnya yang berat, lalu berjalan dengan sepatu hak tingginya menyusuri koridor, berniat mencari tempat sepi untuk menelepon.
Saat melewati sebuah ruang istirahat di ujung koridor, langkahnya terhenti.
Ia mendengar tawa manja adiknya, Kirana Lestari.
Pintu ruang istirahat itu sedikit terbuka, dan dari celah pintu ia mengintip ke dalam.
"Fajar, kakakku yang bodoh itu pasti sekarang masih menunggumu datang menyelamatkannya! Bagaimana kalau nanti kamu bujuk dia lagi? Siapa tahu dia berubah pikiran dan tidak mau menikah?"
Kirana Lestari sedang bersama seorang pria berjas di dalam ruangan. Seluruh tubuh Kirana bergelayut manja pada pria itu.
Pria itu memeluk Kirana, tangannya yang besar mengelus-elus paha Kirana.
Tubuh mereka menempel begitu erat.
Bibir pria itu tengah sibuk menciumi leher Kirana dengan liar. "Sari Lestari si otak udang itu, di acara sepenting ini, memangnya dia bisa seenaknya sendiri? Bilang tidak mau menikah, lalu batal begitu saja? Apa dia punya kuasa? Sekali masuk perangkap, susah untuk keluar. Kalau dia berani kabur, pengawal keluarga Santoso akan menyeretnya paksa untuk menyelesaikan pernikahan ini!"
Sari Lestari berdiri di luar pintu, mendengar suara yang begitu familier, menatap sosok yang tak asing lagi. Seluruh darah di tubuhnya seolah membeku.
Suara itu, dulu sering berbisik di telinganya, mengucapkan kata-kata cinta yang begitu manis!
Fajar Santoso!
Di saat dirinya tak berdaya, Fajar justru berselingkuh dengan adiknya sendiri di sini!
Bahkan, ia sudah dikhianati tanpa sadar, dan masih dengan bodohnya menunggu Fajar datang menyelamatkannya!
Pandangan Sari Lestari berkunang-kunang. Tubuhnya terhuyung, ia berpegangan pada dinding agar tetap tegak.
Suara cempreng Kirana menusuk telinganya, "Fajar, kalau Sari Lestari tahu setiap malam kamu sebenarnya bersamaku, kira-kira dia bakal marah besar tidak ya? Hahahaha!"
Kepala Sari Lestari seolah meledak! Pandangannya menggelap. Untung saja ia masih berpegangan pada dinding, kalau tidak ia pasti sudah jatuh.
Tangannya mencengkeram erat rok gaunnya, seluruh tubuhnya gemetar. Ia memejamkan mata, menahan air mata yang sudah menggenang di pelupuknya.
Arus kas perusahaan Ayah macet, di ambang kebangkrutan.
Karena syok dan tekanan batin, Ayah jatuh sakit dan tak bisa bangkit lagi.
