Bab [3] Ardianto Santoso Membuka Mata
Fajar Santoso tertegun. Apakah ini Sari Lestari yang selama ini ia kenal?
Sari Lestari yang dulu begitu penurut, lembut, dan selalu patuh padanya. Tidak mungkin ia berani menunjukkan ekspresi seperti ini.
Jangan-jangan, dia sudah tahu sesuatu?
Fajar Santoso merasa sedikit bersalah dan tidak berani menatap mata Sari.
Ia pun mengalihkan pandangannya ke belakang Sari, dan tiba-tiba matanya terbelalak tak percaya. Wajahnya pucat pasi seolah baru saja melihat hantu.
“Paman….”
Sari Lestari menoleh.
Di atas ranjang, Ardianto Santoso, entah sejak kapan, ternyata sudah membuka matanya.
Di bawah cahaya lampu kristal, mata Ardianto tampak kelam seperti batu obsidian—dalam, memesona, sekaligus berbahaya.
Membuat bulu kuduk merinding.
Fajar Santoso begitu ketakutan hingga wajahnya membiru. Ia mundur beberapa langkah dengan panik.
“Tante, sudah malam. Aku tidak akan mengganggu Tante dan Paman lagi!”
Fajar Santoso langsung kabur dari kamar utama, secepat kilat seolah dikejar setan.
Sari Lestari memandangi punggungnya yang lari tunggang langgang, lalu kembali menatap pria yang terbaring tenang di ranjang.
Ardianto Santoso sudah sadar?!
Bukankah katanya ia sekarat!
Sari Lestari segera berteriak ke lantai bawah, “Bu Indira, Pak Ardianto sadar! Matanya terbuka!”
Mendengar itu, Bu Indira bergegas naik ke atas.
Ia memeriksa keadaan Ardianto di ranjang.
Sambil menghela napas, ia menggelengkan kepala dengan pasrah.
“Nyonya, Bapak memang sering membuka mata setiap hari. Tapi ini bukan berarti beliau benar-benar sadar. Lihat saja, kita bicara di sini, tapi beliau sama sekali tidak merespons.” Bu Indira kembali menghela napas. “Dokter bilang, pasien koma vegetatif seperti Bapak sangat kecil kemungkinannya untuk bisa sadar kembali.”
Setelah Bu Indira pergi, Sari Lestari membersihkan diri, berganti piyama, lalu naik ke ranjang.
Sari duduk di sana, memandangi wajah pria di sampingnya yang luar biasa tampan.
Aura dinginnya begitu alami, seolah ia terlahir sebagai seorang raja. Karena posisinya berbaring, kerah bajunya sedikit terbuka. Dari sudut pandang Sari, ia bisa melihat sedikit tulang selangkanya.
Sari menatap wajah tampannya dalam diam. “Ardianto Santoso, apa kamu bisa mendengarku?”
Pria di ranjang itu tetap memejamkan matanya rapat-rapat, tanpa reaksi sedikit pun.
Sari teringat akan nasibnya sendiri, lalu memandang Ardianto yang tak sadarkan diri, dan merenungkan nasib pria itu.
Mengalami kecelakaan tragis, koma, dan jatuh dari puncak kejayaan.
Tiba-tiba Sari merasa nasibnya tidak seburuk itu.
“Ardianto Santoso, cepatlah sadar. Kalau kamu tidak bangun juga, semua uang dan perusahaanmu akan direbut oleh si brengsek Fajar Santoso itu. Kalau sudah begitu, kamu pasti tidak akan bisa mati dengan tenang.”
Sari berbaring di sampingnya. Entah berapa lama kemudian, ia menghela napas pelan.
Saat ini, meskipun Ardianto koma, setidaknya ia masih bernapas.
Dengan statusnya sebagai Nyonya Santoso, untuk sementara waktu tidak akan ada yang berani mengganggunya.
Tapi, bagaimana jika suatu hari nanti Ardianto benar-benar meninggal? Apa yang akan terjadi padanya?
Bagaimana keluarga Santoso dan keluarga Lestari akan memperlakukannya?
Masa depannya terasa begitu suram.
Karena itu, sebelum Ardianto meninggal, ia harus memanfaatkan statusnya sebagai Nyonya Santoso untuk merebut kembali semua yang telah hilang darinya!
Dan membuat semua orang yang telah menyakitinya membayar perbuatan mereka!
...
Keesokan paginya, pukul delapan.
Bu Indira mengantar Sari Lestari ke rumah besar keluarga Santoso untuk menyajikan teh dan memberikan salam hormat kepada Nyonya Besar Santoso.
Nyonya Besar memandangi Sari. Semakin dilihat, semakin ia merasa puas. Sari tampak begitu penurut dan mudah diatur.
Nyonya Besar menyodorkan sebuah kotak berwarna ungu padanya. “Sari, ini sedikit tanda mata dariku. Terimalah.”
Sari tidak berani menolak niat baik Nyonya Besar dan segera menerimanya. “Terima kasih, Nek.”
“Sari, menikah dengan Ardianto, Nenek tahu kamu banyak berkorban. Mengingat kondisi Ardianto sekarang… dia tidak bisa menyayangimu sebagaimana mestinya.” Nyonya Besar berkata sambil melirik Sari, lalu menyampaikan niatnya. “Sepertinya sisa hidup Ardianto tidak banyak lagi. Dulu dia terlalu sibuk bekerja, bahkan belum pernah pacaran, apalagi meninggalkan seorang anak di dunia ini….”
Mendengar itu, Sari meremas ujung bajunya dengan erat.
Jangan-jangan, Nyonya Besar ingin ia memberikan anak untuk Ardianto Santoso?
Tapi, Ardianto hanya terbaring di ranjang. Koma dan tidak bisa melakukan hubungan suami istri.
Bagaimana caranya punya anak?
Semoga saja ia tidak diminta untuk “meminjam benih” dari orang lain.
Kalau sampai begitu, ia lebih baik mati!
“Aku ingin kamu memberikan seorang anak untuk Ardianto, untuk melanjutkan garis keturunannya.”
Benar saja!
Begitu Nyonya Besar mengatakan itu, bukan hanya Sari, semua orang yang hadir pun menunjukkan ekspresi terkejut.
“Ibu, Ardianto kan koma, tidak sadarkan diri. Bagaimana bisa dia punya anak dengan Sari? Apa Ibu sudah pikun?” Kakak laki-laki Ardianto Santoso, Farhan Santoso, angkat bicara.
Ardianto Santoso bahkan belum meninggal, tapi orang-orang ini sudah mengincar hartanya.
Nyonya Besar tertawa. “Tidak perlu khawatir. Dengan kekayaan Ardianto yang begitu besar, harus ada anaknya sendiri yang mewarisinya. Aku sudah mempersiapkan segalanya.”
Seketika, semua mata tertuju pada Sari Lestari.
Ia merasakan tekanan yang luar biasa.
“Sari, kamu kan masih kuliah? Kalau kamu hamil sekarang, pasti akan mengganggu kuliahmu…” istri Farhan Santoso ikut bicara.
Farhan Santoso menimpali, “Benar! Sari masih sangat muda. Mungkin dia tidak rela meninggalkan kuliahnya hanya untuk tinggal di rumah dan punya anak, kan?”
Tentu saja Nyonya Besar tahu apa yang ada di pikiran putra sulung dan menantunya itu. Inilah alasannya ia bersikeras agar Ardianto Santoso memiliki keturunan.
“Sari, apa kamu bersedia memberikan anak untuk Ardianto?” Nyonya Besar bertanya terus terang. “Kamu harus tahu, anakmu dengan Ardianto kelak akan mewarisi seluruh kekayaannya. Harta Ardianto lebih dari cukup untuk membuatmu dan anakmu hidup mewah.”
Tanpa berpikir panjang, Sari menjawab, “Saya bersedia.”
Jika ini bisa mencegah Fajar Santoso merebut harta Ardianto Santoso, maka ia bersedia mencobanya.
Lagipula, bahkan jika ia tidak mau, dengan sikap keluarga Santoso yang begitu dominan, sepertinya ia tidak punya pilihan lain.
Mendengar jawabannya, Nyonya Besar tersenyum puas. “Bagus, Nenek tahu kamu tidak sama dengan perempuan-perempuan bodoh di luar sana!”
Setelah upacara minum teh selesai, Sari Lestari keluar dari rumah keluarga Santoso dan bersiap kembali ke vila Ardianto Santoso.
Di tengah jalan, ia dihadang oleh Fajar Santoso.
Mengingat pengkhianatan pria ini, Sari merasa mual.
Ia sama sekali tidak ingin berurusan dengannya.
