Bab [4] Kamu Bangun?

Mari kita lihat apa lagi yang bisa dia katakan.

Sari menyuruh Bu Indira pulang lebih dulu.

Melihat keadaan sudah sepi, Fajar Santoso menghampirinya dan meluapkan amarahnya. "Sari Lestari, kamu benar-benar keterlaluan! Aku nggak nyangka kamu juga perempuan mata duitan! Aku ini pacarmu, kita sudah pacaran begitu lama, tapi kamu nggak pernah kasih aku menyentuhmu! Sekarang apa? Pamanku masih terbaring tak berdaya di ranjang, dan kamu malah mau memberinya anak?!"

"Dengan melahirkan anaknya, aku bisa dapat semua hartanya. Kenapa aku harus menolak?" sahut Sari, sengaja mengucapkan kata-kata tajam untuk menusuk hatinya.

Namun, di luar dugaan, Fajar Santoso sama sekali tidak terpancing seperti yang ia harapkan.

"Sari, aku punya ide bagus," katanya. "Paman kan sekarang nggak bisa apa-apa, nggak mungkin bisa bikin kamu hamil. Tapi aku bisa! Nanti kita bilang saja ke Nenek kalau anak itu anak Paman. Toh, sama-sama Santoso juga. Nenek, semarah apa pun, nggak mungkin tega menolak cicitnya sendiri."

Sari Lestari sudah berpikir pria ini tidak tahu malu.

Ternyata, dia bisa lebih tidak tahu malu lagi.

"Fajar Santoso, kamu punya otak nggak, sih?" Sari Lestari mencibir. "Orang-orang di sekitar Ardianto Santoso itu bukan orang sembarangan. Kalau mereka tahu aku hamil anakmu, menurutmu mereka bakal melepaskanmu begitu saja?"

Ucapan Sari Lestari bagaikan seember air es yang menyiram Fajar Santoso hingga membuatnya menggigil.

Dia tahu betul, lebih dari siapa pun, bahwa anak buah Pamannya satu per satu lebih kejam dari yang lain. Meskipun mereka sedikit lebih tenang setelah Pamannya kecelakaan, itu bukan berarti mereka sudah tidak ada lagi.

"Sari, sudahlah, kita jangan perdebatkan ini sekarang. Kita bicarakan lagi nanti setelah Paman meninggal."

Sari Lestari memutar bola matanya. "Kalau dia nggak meninggal-meninggal, gimana? Kamu bisa terus jaga kesucianmu dan menungguku?"

Pertanyaan itu sukses membungkam Fajar Santoso.

Melihatnya tak mampu menjawab, Sari Lestari tertawa sinis. "Aku pulang dulu. Nenekmu sudah menyuruh dokter menungguku di rumah Pamanmu."

...

Dua orang dokter membawa Sari Lestari ke rumah sakit untuk pemeriksaan.

Setelah melalui proses induksi ovulasi, sel telur Sari Lestari diambil untuk persiapan program bayi tabung. Sebelumnya, Ardianto Santoso memang pernah membekukan spermanya di rumah sakit.

Sari Lestari berbaring di ranjang, jantungnya berdebar tak karuan. "Berapa lama prosesnya sampai bisa berhasil?"

"Sulit untuk dipastikan," jawab dokter wanita itu. "Kalau cepat, bisa tiga atau empat bulan. Kalau lambat, ya... bisa berapa lama pun. Tapi," ia berhenti sejenak, lalu menambahkan, "Anda masih sangat muda, bisa jadi sekali coba langsung berhasil."

Musim kemarau pun tiba.

Malam itu, setelah mandi, Sari Lestari keluar dari kamar mandi. Seperti biasa, ia mengenakan piyama dan duduk di ranjang, di sisi Ardianto Santoso. Ia mulai memijat-mijat betisnya dengan lembut.

Ia melirik pria yang tertidur lelap di sampingnya.

Selama beberapa hari ini, Sari Lestari sudah mulai terbiasa dengan kehadiran "suami"-nya yang tak bergerak ini setiap malam. Dari yang awalnya was-was dan tidak berani tidur nyenyak, kini ia bisa tidur dengan sangat pulas setiap malam. Bahkan terkadang, tidurnya begitu lelap sampai-sampai keesokan paginya ia mendapati dirinya memeluk Ardianto Santoso erat-erat seperti gurita.

Awalnya, ia sangat ketakutan.

Namun kemudian, ia berpikir, toh Ardianto Santoso tidak sadarkan diri, dia tidak akan tahu apa-apa.

Keberaniannya pun semakin menjadi-jadi.

Setiap malam, ia dengan sengaja menyelinap ke dalam rengkuhan lengan Ardianto Santoso, bersandar erat di dadanya. Ardianto Santoso yang diam tak bergerak seolah membiarkannya melakukan apa saja.

Ia bersandar di sisinya, meletakkan tangannya di dada pria itu. Melalui kain piyama yang tipis, ia bisa merasakan dengan jelas lekuk otot di tubuhnya. Tubuhnya terasa hangat, sangat nyaman di tengah cuaca yang mulai mendingin.

Sari Lestari membayangkan, alangkah indahnya jika Ardianto Santoso sehat walafiat. Dengan wajah setampan dan tubuh sebagus ini, ditambah kekayaan yang melimpah, entah berapa banyak wanita di dunia ini yang akan iri padanya, sang Nyonya Santoso.

Sayang sekali, hidupnya tak akan lama lagi.

Namun, Sari Lestari kembali berpikir, jika Ardianto Santoso memang sehat dan sempurna, posisi Nyonya Santoso ini mungkin tak akan pernah jatuh ke tangannya, bahkan setelah menunggu delapan ratus tahun sekalipun.

Sari Lestari menghentikan pijatannya.

Ia mengubah posisi duduknya di ranjang, mendekat ke arah Ardianto Santoso. Ia mengangkat lengan pria itu, meletakkannya di atas pahanya sendiri, lalu mulai memijatnya dengan lembut.

Sambil memijat, ia berbisik pelan, "Aku dengar pasien yang lama terbaring di tempat tidur peredaran darahnya jadi nggak lancar. Aku bantu pijat, ya, biar nanti kalau kamu bangun, otot-ototmu nggak kaku."

Setelah selesai dengan lengannya, ia beralih memijat kakinya.

Kaki pria itu memiliki garis yang indah. Meskipun sudah terbaring selama setengah tahun, otot-otot kakinya tidak menyusut. Terlihat jelas bahwa Ardianto Santoso memiliki postur tubuh yang tinggi dan kaki yang jenjang. Jika ia berdiri, pasti akan terlihat proporsi tubuhnya yang sempurna.

Tangan mungil Sari Lestari terus bekerja tanpa lelah, memijat kaki pria itu.

Saat lelah, ia akan duduk beristirahat sejenak, lalu melanjutkan lagi.

Sambil memijat, ia terus mengoceh.

"Ardianto Santoso, aku dengar kamu belum pernah pacaran. Orang-orang bilang kamu 'lemah', punya penyakit tersembunyi... tapi menurutku badanmu bagus-bagus saja, kok! Lenganmu kekar... pahamu juga kencang..."

Ia terus memijat ke bawah, menyusuri bagian dalam pahanya...

Karena terlalu banyak bergerak, ia mulai berkeringat. Ia pun melepas jubah tidurnya, hanya menyisakan gaun tidur tipis bertali spageti.

Tiba-tiba, mata Ardianto Santoso terbuka. Manik matanya yang gelap, sedalam batu ambar, berkilau laksana permata.

Saat ini, mata itu tengah menatap lekat... ke arah tangan mungilnya yang berada di dekat salah satu bagian tubuhnya.

Kemudian, tatapannya beralih ke wajah Sari Lestari.

Kilau di matanya membuat Sari terkejut hingga menghentikan gerakannya. Meskipun sudah pernah melihatnya membuka mata, setiap kali melihatnya, Sari Lestari tetap saja terperangah.

"Apa gerakanku terlalu kasar, ya? Tapi aku nggak pakai tenaga, kok!" Jari-jarinya kembali memijat kaki pria itu. Ia menepuk lengan dan kaki Ardianto dengan pelan. Gerakannya benar-benar ringan, mustahil bisa menyakiti orang.

Detik berikutnya, matanya membelalak. Ia terpaku di tempat, tak bergerak sedikit pun.

Pria itu menatapnya, lalu bertanya dengan suara serak, "Kamu siapa?"

Ia berbicara dengan tempo yang lambat, namun penuh dengan aura mengintimidasi.

"Ardianto Santoso, kamu sudah sadar?" Mata Sari Lestari melebar, menatap wajahnya tak percaya.

Bab Sebelumnya
Bab Selanjutnya