Bab [5] Aborsi dan Aborsi Medis, Mana yang Anda Suka

Sari Lestari mencari ekspresi yang berbeda dari biasanya di wajah pria itu.

Pria itu pun balas menatapnya.

Bukan lagi tatapan kosong tanpa jiwa.

Saat ini, mata Ardianto Santoso tertuju pada Sari Lestari.

Tatapan itu penuh dengan amarah, kebencian, dan sedikit kebingungan.

"Bu Indira!" Sari Lestari melesat keluar seperti kucing yang ekornya terinjak, berlari menuruni tangga. "Bu Indira, Ardianto Santoso sudah sadar! Dia sudah bicara, kali ini dia benar-benar sadar!"

Dadanya naik turun dengan cepat, jantungnya berdebar kencang.

Ardianto Santoso sudah sadar.

Pikirannya mendadak kosong.

Ini benar-benar di luar dugaannya.

Dia tidak pernah memikirkan apa yang harus dilakukan jika pria itu sadar.

Bu Indira segera memanggil dokter dan beberapa pengawal.

Vila itu mendadak ramai oleh orang-orang.

Semua orang tidak percaya Ardianto Santoso bisa siuman.

"Ardianto, Ibu tahu kamu pasti akan sadar!" Nyonya Santoso menggenggam tangan putranya, menangis haru.

Dokter memeriksa kondisi fisik Ardianto Santoso, lalu berkata kepada Nyonya Santoso, "Ini benar-benar sebuah keajaiban! Semua indikator tubuh Pak Santoso sudah mendekati normal. Selanjutnya, selama terapi pemulihan berjalan lancar, pada dasarnya beliau bisa kembali sehat seperti sedia kala."

Setelah semua orang pergi, Sari Lestari masuk ke kamar.

Dengan gelisah, ia meremas ujung bajunya, tidak berani menatap pria di ranjang.

Aura yang dipancarkan Ardianto Santoso setelah sadar benar-benar suram dan menakutkan.

Pria itu kini bersandar di kepala ranjang, sepasang matanya yang dingin memancarkan hawa beku yang pekat, mendarat di wajah Sari.

"Siapa kamu?"

Suaranya berat dan kuat, penuh dengan getaran yang mengintimidasi.

Sari Lestari begitu takut hingga tidak berani bernapas.

Bu Indira menundukkan kepala, dengan hati-hati mencoba menjelaskan, "Pak, beliau adalah istri yang dinikahkan oleh Nyonya Besar untuk Bapak selama Bapak sakit. Namanya..."

Bibir tipis Ardianto Santoso terbuka, suaranya tanpa emosi sedikit pun, "Suruh dia enyah!"

Sari Lestari terkejut hingga tanpa sadar mundur dua langkah.

Pria itu seperti binatang buas yang baru terjaga. Saat tertidur, ia tidak terasa begitu berbahaya dan menakutkan. Begitu matanya terbuka, bahaya itu seakan meluap keluar.

Bu Indira menarik Sari Lestari keluar dari kamar dan menutup pintu.

Melihat Sari Lestari seperti rusa kecil yang ketakutan, Bu Indira menenangkannya, "Nyonya, jangan takut. Bapak baru saja sadar, mungkin belum bisa menerima berita ini. Malam ini Nyonya tidur di kamar tamu dulu, ya. Ada apa-apa, kita bicarakan besok."

Pikiran Sari Lestari kacau balau. Dia tidak pernah menyangka pria itu bisa siuman.

Semua ini membuatnya sama sekali tidak punya persiapan.

Melihat tatapan tajam dan bengis Ardianto Santoso tadi, ia punya firasat kuat bahwa pria itu kemungkinan besar tidak akan menerimanya sebagai istri.

Dia harus bersiap-siap untuk meninggalkan keluarga Santoso kapan saja.

Meskipun dia adalah istrinya, tapi secara teknis, ini adalah pertemuan pertama mereka. Wajar saja jika pria itu memusuhinya.


Keesokan paginya pukul delapan.

Sari Lestari berjalan menuju ruang makan. Belum juga mendekat, ia sudah melihat Ardianto Santoso yang duduk di kursi roda.

Kedua tangannya sudah bisa bergerak, berkat latihan otot rutin selama ini.

Duduk di kursi roda, postur tubuhnya tetap tegak.

Dengan perasaan cemas dan gelisah, Sari mendekat dan duduk di meja makan.

Bu Indira mengambilkan mangkuk dan peralatan makan untuknya.

Pria itu tidak mengucapkan sepatah kata pun.

Sari Lestari tidak bisa menahan diri untuk meliriknya diam-diam.

"Anu... sa-saya Sari Lestari..." ucapnya gugup.

Ardianto Santoso mengangkat cangkir kopinya, menyesapnya dengan tenang, lalu suaranya terdengar datar, "Kudengar kamu berencana melahirkan anakku?"

Sari Lestari membeku, tak berani bergerak sedikit pun.

"Aborsi atau pakai obat peluruh, kamu suka yang mana?" Pria itu mengucapkan kata-kata paling kejam dengan nada paling tenang.

Sari Lestari tahu pria ini kejam, tapi tidak menyangka bisa sekeji ini.

Sumpit di tangannya menggantung di udara. Hatinya bagai diterjang badai, sementara wajahnya sudah sangat ketakutan, pucat pasi tanpa sisa darah.

Bu Indira mungkin merasa topik ini terlalu mengerikan, sehingga ia lupa sopan santun dan menyela untuk menjelaskan, "Pak, anak itu permintaan Nyonya Besar. Tidak ada hubungannya dengan Nyonya Sari."

Tatapan Ardianto Santoso menyapu Bu Indira. "Jangan sebut-sebut Nyonya Besar."

Bu Indira menunduk dan terdiam.

"Ardianto Santoso..." panggil Sari.

"Siapa yang mengizinkanmu memanggil namaku?" potong Ardianto Santoso.

Sari Lestari tertegun sejenak. "Terus? Panggil apa? Panggil Mas?"

Ardianto Santoso: "..."

Sari melihat bibir tipis pria itu terkatup rapat, matanya dipenuhi amarah.

Sebelum pria itu meledak, ia buru-buru memadamkan api, "Aku tidak hamil. Aku sedang datang bulan."

Ardianto Santoso tidak mengatakan apa-apa, tapi ia mengangkat cangkir kopinya dan menyesapnya lagi.

Sari Lestari buru-buru menyelesaikan sarapannya. Ia berencana kembali ke kamar untuk mengambil tas, lalu pergi keluar.

Berada di bawah satu atap dengannya membuat seluruh tubuhnya tidak nyaman.

"Sari Lestari, siapkan akta nikahmu. Kita akan segera bercerai." Suara dingin pria itu terdengar dari belakang.

Langkah Sari Lestari terhenti. Ia tidak terlalu terkejut. "Apa kita pergi sekarang?"

"Dua hari lagi," jawabnya.

Nyonya Besar terlalu gembira semalam hingga tekanan darah tingginya kambuh dan harus dirawat di rumah sakit. Ardianto Santoso tidak ingin ibunya mendapat tekanan lagi.

"Oh, aku siap kapan saja." Sari bergegas kembali ke kamarnya.

Sekitar lima menit kemudian, ia keluar dari kamar sambil menenteng tasnya.

Tak disangka, Fajar Santoso datang.

Fajar Santoso berdiri dengan sikap tunduk dan penuh hormat di samping kursi roda Ardianto Santoso, seperti cucu yang penurut.

"Paman, Ayah dan Ibu pergi ke rumah sakit menjenguk Nenek. Ayah menyuruhku untuk menengok Paman." Fajar Santoso meletakkan buah tangan yang dibawanya ke atas meja.

Ardianto Santoso memberi isyarat dengan matanya kepada pengawal di sisinya.

Pengawal itu mengerti, segera mengambil bingkisan yang dibawa Fajar Santoso, dan melemparkannya keluar.

Fajar Santoso panik. "Paman! Yang saya bawa ini suplemen terbaik. Kalau Paman tidak suka, saya bisa ganti yang lain... Paman jangan marah!"

Belum selesai ia bicara, pengawal di sebelahnya mendekat dan tanpa basa-basi langsung menendang bagian belakang lututnya.

Brukk! Fajar Santoso langsung berlutut di lantai.

Sari Lestari yang berdiri di samping tidak berani bersuara sedikit pun.

Ia tidak tahu apa yang terjadi sampai Ardianto Santoso bertindak begitu kasar pada keponakannya sendiri.

"Tidak menyangka aku akan sadar, ya? Keponakanku. Apa ini merusak semua rencanamu yang indah itu?"

Fajar Santoso berlutut di lantai, tubuhnya ditahan dengan paksa hingga tak bisa bergerak. Ia menangis dan berteriak, "Paman, apa maksud Paman? Paman bisa sadar, saya lebih bahagia dari siapa pun. Setiap hari saya berharap Paman bisa cepat siuman!"

Bab Sebelumnya
Bab Selanjutnya