Bab [8] Dia Menyentuh Sesuatu yang Tidak Seharusnya Disentuh

Rahang Ardianto Santoso mengeras, amarahnya sudah di ambang ledakan.

Sari Lestari pucat pasi ketakutan. "Aku tidak melihatnya dengan jelas. Begitu terbuka, langsung kututup! Aku benar-benar tidak sengaja, aku panik sekali waktu itu, tidak tahu kenapa bisa terklik...."

"Diam!" Melihatnya terus membela diri, Ardianto semakin muak. "Kembali ke kamarmu! Sebelum kita cerai, jangan berani keluar selangkah pun!"

Menghadapi Ardianto yang sedang murka, Sari Lestari memilih bungkam.

Orang yang sedang dilalap amarah tidak akan mendengarkan penjelasan apa pun.

Bicara lebih banyak pun hanya akan sia-sia.

Dia tetap diam, berbalik, dan kembali ke kamarnya.

Dia tidak ingin terus berdiri di sana, hanya akan menambah kebencian Ardianto padanya.

Sari Lestari menutup pintu kamarnya.

Ardianto melirik pintu yang tertutup rapat itu.

Dengan mata menyipit dan bibir terkatup rapat, dia memberi perintah pada Bu Indira, "Jangan berikan dia makanan. Biarkan dia mati kelaparan."

Jadi, Ardianto mau mengurungnya, sekaligus membuatnya mati kelaparan?

Bu Indira ingin membela Sari, tetapi melihat wajah Ardianto yang begitu marah, tak ada satu kata pun yang bisa keluar dari mulutnya.

Di keluarga Santoso, Ardianto adalah hukum.

Bu Indira hanya bisa menghela napas pelan, lalu berbalik pergi.

Dua hari kemudian.

Tekanan darah Nyonya Santoso senior sudah stabil dan diizinkan pulang dari rumah sakit.

Setelah keluar dari rumah sakit, hal pertama yang dilakukan Nyonya Santoso adalah mengunjungi Ardianto.

Melihat putranya yang sudah siuman dan tampak baik-baik saja, Nyonya Santoso langsung merasa bersemangat.

Dengan senyum merekah, dia bertanya, "Ardianto, bagaimana kabarmu? Apa kata dokter, kira-kira kapan kamu bisa berjalan lagi?"

Ardianto menjawab, "Dokter bilang pemulihanku cukup baik. Bu, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan dengan Ibu."

Nyonya Santoso seolah tahu apa yang akan dikatakannya, senyum di wajahnya sedikit memudar. "Kamu pasti mau bicara soal pernikahanmu, kan? Pernikahan itu Ibu yang atur, Sari juga Ibu yang carikan untukmu. Dia gadis yang baik. Cobalah bergaul baik-baik dengannya. Ngomong-ngomong, di mana dia? Dari tadi Ibu masuk tidak melihatnya. Apa Sari sedang keluar?"

Ardianto memberi isyarat dengan matanya pada Bu Indira.

Bu Indira yang mengerti, segera berjalan menuju kamar Sari Lestari.

Dia juga sangat khawatir dengan keadaan Sari.

Dua hari ini, Ardianto melarang siapa pun memberinya makan dan minum. Entah bagaimana keadaannya di dalam kamar.

Saat Bu Indira membuka pintu, Nyonya Santoso yang melihat ke dalam langsung ternganga tak percaya.

Di dalam kamar, Sari Lestari memeluk lututnya, tubuhnya meringkuk tak berdaya bersandar di dinding.

Rambutnya tergerai berantakan.

Menyadari ada pergerakan di pintu, dia menoleh dan langsung melihat Nyonya Santoso.

Melihat penampilan Sari yang seperti itu, Nyonya Santoso sangat terkejut dan langsung bergegas masuk.

"Sari! Baru beberapa hari tidak bertemu, kamu kenapa?! Kenapa penampilanmu jadi seperti ini?" Nyonya Santoso menatap wajah Sari yang pucat seperti kertas, tekanan darahnya seketika melonjak naik. "Katakan pada Ibu, apa jangan-jangan... jangan-jangan Ardianto... dia menyiksamu?"

Saat mengatakan ini, suara Nyonya Santoso sedikit bergetar.

Sari Lestari tampak lebih kurus dari sebelumnya.

Dia memang tidak gemuk. Sejak menikah dengan Ardianto, meskipun Bu Indira setiap hari memasakkan berbagai macam makanan untuknya, dia tetap saja kurus.

Sekarang, piyama berwarna terang itu terlihat longgar menggantung di tubuh Sari.

Dia jauh lebih kurus dari sebelumnya.

Wajahnya yang pucat pasi tidak menunjukkan rona sedikit pun, bibirnya pecah-pecah.

Matanya yang dulu cerah kini tampak sayu.

Penampilannya benar-benar menyedihkan.

Mulutnya terbuka, ingin bicara, tetapi tidak ada suara yang keluar.

Dia dikurung dan dibiarkan kelaparan oleh Ardianto selama dua hari, tidak makan apa pun.

Jika haus, dia hanya minum air keran.

Dalam kondisi seperti ini, dia sendiri hampir mati kelaparan.

Mungkin, janin di dalam perutnya juga sudah mati kelaparan.

Mungkin ini lebih baik. Setidaknya dia tidak perlu bingung lagi memikirkan nasib anak ini.

Memikirkan hal itu, hati Sari seakan diremas oleh sebuah tangan besar, lalu dicabik-cabik dengan kejam.

Rasa sakit itu membuatnya sesak napas.

Ternyata, dia masih sangat peduli pada anaknya.

Bu Indira datang membawa segelas susu hangat dan menyodorkannya ke bibir Sari. "Nyonya, minum dulu susunya. Jangan takut, Nyonya Besar sudah datang, Nyonya bisa makan sekarang."

Alis Nyonya Santoso berkerut rapat. "Siapa yang bisa jelaskan apa yang terjadi? Kenapa Sari jadi begini? Kenapa bisa sekurus ini! Untuk apa Ardianto mengurung Sari? Apa salah Sari padanya?"

Dia bergegas ke ruang tengah, menuntut putranya, "Ardianto, Sari itu istri yang aku carikan untukmu. Kamu menyiksanya seperti ini, apa kamu tidak memikirkan perasaanku?"

"Kalau bukan karena menghargai Ibu, apa Ibu pikir aku akan membiarkannya hidup sampai sekarang?" Suara Ardianto terdengar dingin dan hambar.

Wanita itu sudah menyentuh barang yang tidak seharusnya disentuh. Tidak mematahkan tangannya saja sudah merupakan belas kasihan darinya.

"Ardianto, Sari itu gadis yang baik. Aku tidak memaksamu untuk mencintainya, aku hanya ingin kalian bersama, sekalipun hanya sebagai suami istri di atas kertas!"

Nyonya Santoso semakin emosional, dadanya naik turun dengan cepat, dan tubuhnya mulai bergoyang.

Melihat kondisi ibunya yang tidak beres, Ardianto segera memberi isyarat pada pengawal di sisinya.

Pengawal itu segera maju untuk menopang Nyonya Santoso dan membantunya duduk di sofa.

"Kamu tidak boleh mengusir Sari! Kalau kamu mau cerai juga boleh... cari wanita lain yang kamu suka! Pokoknya, aku tidak bisa membiarkanmu hidup sendirian lagi!" Nyonya Santoso duduk di sofa, tetapi kepalanya terasa semakin pusing.

Tiga puluh detik kemudian, kepala Nyonya Santoso terkulai ke samping, dan dia pingsan di sofa.

Nyonya Santoso yang baru pagi itu keluar dari rumah sakit, dilarikan kembali ke rumah sakit dalam keadaan darurat.

Ardianto tidak menyangka ibunya begitu peduli pada Sari Lestari.

Dia bukan hanya membenci Sari, dia menolak semua wanita.

Itulah sebabnya dia tidak bisa mencari wanita lain untuk dinikahinya.

...

Di dalam kamar, setelah minum segelas susu, kondisi Sari Lestari sedikit membaik.

Dia mendengar semua yang terjadi di luar.

Nyonya Santoso masuk rumah sakit lagi.

Meskipun tubuhnya lemas karena kelaparan selama dua hari, tekadnya untuk bercerai semakin kuat.

Dia berjalan ke ruang tengah dan menatap lurus ke arah Ardianto.

"Aku mau cerai," suaranya serak, tetapi tatapan matanya sangat tegas.

Tempat terkutuk ini, dia tidak mau tinggal sedetik pun lebih lama!

Dia tidak mau lagi berada di bawah satu atap dengan iblis besar bernama Ardianto Santoso!

Bu Indira dengan cemas membujuknya, "Nyonya, jangan emosi dulu, makan buburnya dulu. Kesehatan Nyonya yang paling penting."

Ekspresi Ardianto tampak biasa saja, tetapi tatapan matanya sedingin es.

Pandangan Sari bertemu dengannya.

"Kita cerai, Ardianto Santoso!" Sari mengangkat kopernya dan berjalan ke hadapannya.

Bab Sebelumnya
Bab Selanjutnya