Bab 6
“Setelah cerai dengan mama kamu, setengah tahun kemudian barulah papa mengejar mama aku!” Sanny Chandra mengepalkan tangan dengan erat, dia berkata, “Kamu paling baik bisa jamin abu kremasi mama aku baik-baik saja, kalau tidak, aku akan buat kamu mati!”
“Kamu? Atas dasar apa kamu buat aku mati?” Liviani Chandra tersenyum dingin.
“Atas dasar sekarang, akulah istrinya Jordan Wijaya!” Sanny Chandra berseru.
Wajah Liviani Chandra masam sekali saking marahnya, “Apanya yang hebat, kemarin malam dia pasti tidak sentuh kamu!”
Sanny Chandra mendengus, “Maaf sekali, kamu salah tebak. Kemarin malam dia tidak hanya sudah sentuh aku, juga sangat suka aku panggil dia abang ipar di atas kasur! Katanya begitu sangat punya asmara! Aku bilang sebelumnya jika dia tidak begitu bersikap dingin padamu, kamu juga tidak akan selingkuh. Kamu tahu tidak dia bilang bagaimana? Dia bilang lihat kamu, tidak, ada, selera!”
Wajah Liviani Chandra merah padam saking marahnya, “Kamu… kamu bohong!”
“Heng! Percaya atau tidak terserah kamu!” Selesai bicara, Sanny Chandra berbalik badan berjalan pergi dengan gusar, dia berencana pergi diskusi dengan abang ipar harus bagaimana selanjutnya.
Siapa tahu baru saja memiringkan badan dan menutup pintu, dia melihat di dinding sebelah sana bersandar….
Abang ipar!
Otak Sanny Chandra langsung menjadi kacau. Sudah berapa lama Jordan Wijaya berdiri di sini? Perkataan tadi… dia tak dengar kan?
Dalam mata Jordan Wijaya yang menatap Sanny Chandra membawa pengamatan, “Kemarin malam aku sudah sentuh kamu? Sangat suka kamu panggil aku abang ipar di atas kasur? Rasanya sangat punya asmara?”
Wajah Sanny Chanda langsung menjadi merah padam, dia bergegas menundukkan kepala, “Abang ipar, ini… aku… aku hanya berbual di depannya saja, kamu jangan ambil hati.”
Jordan Wijaya mengangkat dagu Sanny Chandra dengan satu jari, memaksa Sanny Chandra mendongakkan kepala, lalu dia mendekatkan wajahnya, “Ada satu hal yang tidak salah kamu bilang. Kamu panggil aku abang ipar, memang lumayan punya asmara. Ke depannya bisa dilanjutkan.”
Sanny Chandra, “….”
Sanny Chandra merasa bualannya menyebabkan masalah besar, dia menjadi sedikit cemas, “Aku hanya asal bilang saja, kamu jangan ambil hati. Kita pulang dulu saja.”
Selesai bicara, Sanny Chandra bergegas melangkahkan kaki menarik jarak di antara mereka. Sayangnya kakinya tidak cukup panjang, pria di samping dengan mudah mengikuti di sisinya.
Setelah naik ke dalma mobil, Sanny Chandra sama sekali tidak berani berbicara karena canggung. Di dalam mobil hening menakutkan.
Sebelumnya dia merasa panggil abang ipar juga tidak ada apa-apanya, sekarang dia merasa panggil abang ipar… itu adalah asmara!
Panggil abang ipar adalah asmara, panggil suami pun terlalu memalukan. Dia tidak bisa langsung panggil nama kan?!
“Itu… masalah Instagram itu, kita harus urus bagaimana?” Sanny Chandra berkata dengan sedikit canggung, langsung melompati panggilan terhadap Jordan Wijaya.
“Kamu sedang bicara dengan siapa?” Jordan Wijaya menatap Sanny Chandra dengan sedikit bingung.
“Tentu saja kamu.” Wajah Sanny Chandra penuh dengan kepolosan, “Tiba-tiba aku tak tahu panggil kamu apa bagusnya.”
“Abang ipar,” ujar Jordan Wijaya.
Sanny Chandra, “….” Tidak berani panggil, kalau tidak itu adalah asmara.
Seketika suasana menjadi hening. Mereka bertatapan selama beberapa detik, lalu Sanny Chandra berkata dengan sangat tidak berpendirian, “Abang ipar, masalah Instagram itu, kita harus urus bagaimana?”
“Serahkan saja padaku, adik ipar.”
Panggilan adik ipar ini membuat Sanny Chandra merasa sangat berasmara. Kenapa rasanya seperti sedang cinta bawah tanah saja?
Melihat tampang Sanny Chandra yang menundukkan wajah merah sipunya, mata Jordan Wijaya berubah gelap, jakunnya yang seksi juga bergerak naik turun.
Lama kemudian, Jordan Wijaya meminta supir untuk memberhentikan mobil di depan supermarket, dia berkata, “Ayo, pergi beli sedikit barang.”
“Beli apa?” Sanny Chandra bergegas mengikutinya turun dari mobil.
“Barang keperluan sehari-hari.”
Sanny Chandra tidak berpikir panjang, dia mengikuti Jordan Wijaya masuk ke dalam.
Ini adalah supermarket di dekat kawasan vila eksklusif yang pasti akan dilewati dalam perjalanan pulang ke kastil. Produk yang dijual di dalamnya sangat beragam.
Begitu masuk, Sanny Chandra dengan jeli memperhatikan bahwa harga produk di sini jauh lebih mahal dari supermarket di luar sana. Bahkan beras di lantai satu juga dimulai dari harga seratus ribu per setengah kilogram?
Beras apa-apaan ini? Mahal sekali!
Setelah melihat telur ayam seharga empat puluh ribu per butir, Sanny Chandra merasa kemiskinan sudah mengekang daya imajinasinya. Dia juga ingin membuka sebuah supermarket di sini, pasti akan untung berkali-kali lipat!
“Abang ipar, kenapa beli barang keperluan sehari-hari di sini? Aku lihat harga di sini jauh lebih tinggi daripada supermarket biasa. Jangan-jangan harganya asal ditetapkan?” Sanny Chandra berbisik dengan suara kecil, takut akan didengar oleh karyawan di sini.
“Praktis, hening.” Jordan Wijaya berkata.
Sanny Chandra merasa tempat ini memang lumauan dekat dengan kastil, serta juga hening. Karena orang yang dapat masuk dan berbelanja di sini, pasti adalah minoritas.
Tetapi abang ipar sendiri datang membeli barang keperluan sehari-hari?
Di tengah Sanny Chandra merasa heran, mereka sudah naik ke lantai dua. Sanny Chandra hanya fokus memperhatikan harga produk di sekitar, hampir ketinggalan di belakang Jordan Wijaya. Hingga Jordan Wijaya menghentikan langkah kaki, Sanny Chandra pun tidak menyadarinya dan langsung menabrak pundak Jordan Wijaya.
“Sudah sampai.” Tatapan Jordan Wijaya terarah ke rak di depan, “Meski aku yang pakai, tetapi kamu yang gunakan. Suka yang mana? Pilih sendiri.”
Menyusuri tatapan Jordan Wijaya dan melihat kotak kecil di atas rak, Sanny Chandra masih sedikit bengong. Hingga salah satu merek bernama Durex muncul di dalam matanya, sebodoh apapun dia juga tahu itu apa!
Barang keperluan sehari-hari….
Hhmm, memang tidak salah yang Jordan Wijaya bilang… ini adalah barang keperluan sehari-hari.
Wajah Sanny Chandra menjadi merah padam, dengan canggung dia melihat ke dua sisi. Melihat tidak ada orang, barulah dia berkata dengan berani, “Kita… kita tidak perlu kan.”
“Kamu ingin langsung punya anak?” Jordan Wijaya menundukkan kepala menatap pipi Sanny Chandra yang merah padam dengan tatapan penuh makna. Meski orangtua mendesak dengan ketat, tetapi dia ingat, gadis ini masih kuliah.
Sanny Chandra bergegas bergeleng, “Abang ipar, terlalu banyak seks tidak baik bagi tubuh.”
“Sudah aku katakan, satu hari bisa puaskan kamu satu kali, kata yang terucap pasti akan ditepati. Dulu kamu suka yang mana, pilih saja yang mana.” Jordan Wijaya menatap beragam kotak kecil di depannya dengan tampang serius.
Sungguh tak disangka barang ini memiliki begitu banyak jenis.
Dengan hati-hati Sanny Chandra mendongak menatapnya, kenapa rasanya abang ipar ini adalah tampang orang baru yang melihat ada begitu banyak jenis dan berancang-ancang ingin mencoba setiap jenisnya?
Akan tetapi… dia juga tidak pernah gunakan!
“Dulu aku tidak pernah gunakan, tidak ada yang suka.” Suara Sanny Chandra sangat pelan. Jika bukan karena di sini sangat hening, takutnya Jordan Wijaya tidak dapat mendengarnya.
Mendengarnya, Jordan Wijaya sedikit terkejut. Barulah dia teringat akan perkataan Jihan Halim kemarin.
Adikmu benar-benar bosan sekali, sudah hampir tiga tahun aku pacaran dengannya, bahkan tidak pernah naik ranjang.
Maka berarti, gadis ini tidak hanya tidak pernah bersetubuh dengan Jihan Halim, mungkin juga tidak pernah sebelumnya.
Jordan Wijaya merasa suasana hatinya langsung menjadi nyaman, dia berkata, “Pergi ambil troli.”
Sanny Chandra tertegun, “Aku… aku?”
“Selain kamu, masih ada siapa lagi?” Jordan Wijaya bertanya balik.
“Baik.” Sanny Chandra bergegas berlari kecil pergi mencari troli belanja. Begitu melihat ada sebuah troli belanja kosong, dia segera berlari ke sana dan ingin ambil. Ketika hendak mendorong troli, dia mendengar suara seorang wanita yang melengking, “Hei hei hei, ada apa kamu?! Ini adalah troli kami, cepat lepaskan!”
