Bab 5

Mataku terbelalak, dan rahangku seakan jatuh ke lantai putih yang terlihat tak bercacat. Ulang tahunku? Aku bergumam pelan, masih linglung. Kepalaku bergeser ke kiri untuk memeriksa kalender yang tergantung di dinding. Ketika aku melihat tanggalnya, helaan napas lembut keluar dari bibirku, dan aku berpikir sambil mengusap wajahku dengan telapak tangan.

Mengapa aku melupakan hari paling istimewa dalam hidupku? Aku berpikir dalam hati, mataku terbuka lebar. Butuh beberapa detik untuk menenangkan diri. Aku menutup mulutku yang terbuka lebar sebelum seekor lalat bisa masuk ke dalam mulutku dan sebelum aku berlutut di depan Ibu.

“Selamat ulang tahun, Selia.” Mama berucap lemah. Dia mengangkat lengan dan membelai pipiku dengan tangannya yang lemah. Mama terdiam sejenak saat tatapannya mengamati wajahku. "Maaf, aku tidak punya hadiah untuk diberikan padamu," ucapnya menyesal. Hatiku hancur berkeping-keping setelah mendengar Mama mengatakan itu.

"Kamu nggak perlu memberikan apapun padaku, Mama," ucapku padanya. Penyesalan di matanya berubah menjadi kehangatan karena kata-kataku. Seketika rasa berat di dadaku memudar. “Kehadiran Mama di sisiku adalah hadiah paling paling berharga untukku. Aku nggak perlu apa-apa lagi,” aku memberitahu Mama.

Air mata menutupi mata Mama, dan untuk sesaat, aku pikir dia akan menangis, tetapi sebelum itu terjadi, Mama mengedipkan kembali matanya dan menangkap tanganku. Senyum lembut kemudian muncul dari bibir Mama yang tipis dan pucat.

“Aku beruntung memiliki putri sepertimu,” Dia bergumam. Perkataannya membuat hatiku membengkak dengan sukacita.

Sambil menggelengkan kepala, aku memegang tangan Mama sedikit lebih erat. “Aku lebih beruntung memiliki wanita hebat sepertimu menjadi mamaku.”

"Selia, maukah kamu berjanji pada mama kalau kamu akan selalu bahagia bahkan setelah aku pergi?" tanya Mama dan itu mengagetkanku. Rasa dingin tiba-tiba mengalir di tulang punggungku sementara kata-katanya dengan menyakitkan bergema di telingaku. Senyum di bibirku menghilang. Mengapa Mama mengajukan pertanyaan itu sekarang?

Bibirku terbuka, tetapi sebelum aku protes dan rasa keberatan keluar dari bibirku, aku berhenti. Ekspresi muram di wajah Mama yang menghentikanku.

"Apa kamu mau berjanji sama Mama?" ucapnya pelan, suaranya nyaris tidak terdengar. Untuk kesekian kalinya, aku menelan ludah dengan susah payah. Pandanganku jatuh ke lantai. Bisakah aku melakukannya? aku bertanya pada diri sendiri.

“Mama nggak akan meninggalkanku, kan?” Pertanyaan itu keluar dari bibirku saat aku mengalihkan pandanganku ke matanya.

Sebuah pikiran buruk meremas hatiku. Aku mengerucutkan bibir dan menelan benjolan di tenggorokanku saat aku merapikan sisa helai rambut yang dia miliki setelah sesi kemoterapi yang tak terhitung jumlahnya. Aku berusaha sekuat tenaga tetapi aku tidak bisa menahan emosiku lagi. Dalam hitungan detik, air mata mengalir di pipiku.

Mama terlihat sangat menyedihkan. Kulitnya yang keriput menempel di tulangnya, dan ada bayangan di bawah matanya. Dia bahkan tidak bisa berjalan sendiri. Aku tidak berpikir Mama akan bertahan menjalani sesi kemoterapi lagi dengan kondisinya saat ini. Bahkan, dalam kondisi kesehatan yang seperti ini, Mama selalu tersenyum dan dia selalu memiliki pandangan positif terhadap apapun. Betapa aku berharap aku dilahirkan kuat seperti dia.

"Mama telah menerima takdir hidup Mama sejak lama, tapi sebelum Mama meninggal, Mama ingin kamu berjanji pada Mama kalau kamu akan bahagia." Mama menatapku. Matanya tidak akan meninggalkanku kecuali Mama mendapatkan apa yang dia inginkan.

Sesaat keheningan berlalu di antara kami. "Selia?" Mama memanggil lagi.

Aku menyingkirkan keraguan yang menggetarkan itu dan melepaskan keinginan untuk melawan. Dengan suara yang nyaris tak terdengar, aku menjawab. “Aku berjanji pada Mama.”

Dalam sekejap senyum dan merasa puas menghiasi wajah Mama. “Terima kasih, Selia. Aku memiliki keyakinan yang kuat tentang kamu. Aku tahu kamu akan memenuhi janjimu,” Mama menambahkan perkataannya. Dia menarikku ke dalam dekapannya dan memelukku erat.

"Kamu nggak perlu berterima kasih sama aku, Ma." Aku mencium kening Mama sebelum bangkit berdiri dan mengeringkan air mata di pipiku.

Novi berdeham untuk menarik perhatianku. “Selamat ulang tahun, Selia.” Dia menyapaku lagi. Senyum di wajah Novi memecahkan atmosfer ketegangan, dan akhirnya aku bisa lebih santai. “Aku membawa kue black forest kesukaanmu,” ucap Novi sumringah. Dia menunjukkan kue yang dipegang di tangannya.

"Selia, make a wish sekarang. Ini adalah hari ulang tahunmu," ucap Novi lagi.

Aku memejamkan mata dan melakukan apa yang Novi suruh sebelum meniup lilin. Aku semakin tua, pikirku ketika aku berhasil memadamkan nyala lilin.

“Aku sudah menyiapkan makanan di bawah. Kita harus makan sebelum makanannya menjadi dingin,” ajak Novi.

“Kau pergi duluan saja, Novi. Aku akan membantu Mama ke bawah,” aku membalas ajakan Novi.

Novi pergi duluan. Aku menoleh ke arah Mama. Dengan mudah, aku mengangkatnya ke dalam pelukanku dan dengan hati-hati aku menuruni tangga. Mama sangat ringan, berat tubuhnya hampir sama seperti anak kecil, sehingga aku tidak kesulitan menggendongnya sampai kami tiba di dapur.

"Terima kasih," ucap Mama ketika akhirnya aku menurunkannya ke kursi.

Bab Sebelumnya
Bab Selanjutnya