Bab 8
Bab 8 TEMAN SETIA
Mendadak semua rekan kerjaku berhenti dari pekerjaan mereka dan menatap Evan Atmadja, suamiku. "Selamat pagi, Tuan Atmadja." Mereka menyapa serempak, kepala tertunduk menatap lantai, dan setelah menyapa mereka tidak mengeluarkan satu suara pun.
Akhirnya aku pulih dari keterkejutan. Aku menutup bibirku yang terbuka dan berdeham. "Selamat pagi, Tuan Atmadja." Aku menyapa Evan dengan sopan, tetapi dalam benakku aku telah membunuhnya dengan berbagai cara. Pagi itu dimulai dengan baik, tetapi dia akhirnya merusak semuanya, dan itu tidak bisa dimaafkan.
"Selia, apakah kamu mendengarkanku? bisakah kita bicara?" Evan mengulangi pertanyaannya. Alis tebal menyatu menjadi garis lurus dan dia menatapku serius.
"Bukankah sekarang kita sedang berbicara, Tuan?" Aku menjawab dengan agak manis tetapi dengan belati di mataku saat bertemu dengan tatapannya. Jika mata memiliki kekuatan untuk membunuh, pasti Evan sudah jatuh ke lantai dan mati.
Terdengar helaan napas ngeri dari kerumunan kecil, mereka adalah para rekan kerjaku. Jika ada seseorang di Hotel La Paraiso yang bisa menentang pemiliknya dan tidak dipecat, itu adalah aku. Tapi tentu saja, tidak ada karyawan yang tahu bos mereka adalah suamiku. Mereka pasti mengira aku sudah gila sekarang.
"Temui aku di kantorku, Selia!" titah Evan sebelum dia membelakangiku. Setelah kepergiannya, para karyawan berhamburan ketakutan.
Evan Atmadja, CEO dari Atmadja Company yang tidak berperasaan. Dia bisa memecat karyawan seolah-olah dia sedang membalik buku. Karyawan menghindarinya seperti wabah mematikan. Aku berharap bisa melakukan hal yang sama sekarang. Menghindari suamiku dan berpura-pura seolah-olah dia tidak ada. Sayangnya, dia adalah suamiku. Aku tidak bisa menghindarinya begitu saja.
“Selia, Sekarang!" Evan menyalak saat dia berhenti di pintu. Mendengarkan bagaimana dia menekankan setiap kata, jelas menunjukkan betapa kesalnya dia.
“Maaf, Tuan Atmadja. Kami memiliki reservasi VIP hari ini. Saya tidak bisa meninggalkan tugas saya. Kami kekurangan staf karena Anda memecat lima karyawan kami minggu lalu. Saya akan menemui Anda saat saya memiliki waktu senggang,” aku menolak. Dia bisa bisa saja memecatku dengan satu jentikan tetapi aku mengabaikannya.
Aku meraih kain pel tanpa memedulikan Evan. Aku berjalan ke dapur, membuat mulut semua orang ternganga kaget.
"Selia! kamu harus pergi ke ruangan Tuan Atmadja dan meminta maaf kepadanya,” Salah satu rekan kerja mengikuti aku ke dalam ruangan seraya memberi nasihat. Dia terlihat panik dan khawatir, wajahnya yang pucat menoleh ke arahku.
“Nggak perlu! aku nggak akan meminta maaf padanya, Eve.” Aku menjawab tanpa rasa bersalah. Ekspresi tenangku membuat Eve semakin khawatir.
“T-tapi di–dia akan memecatmu.” Eve berseru keras, memaksa semua orang di dapur untuk melihat kami. Aku meraih lengan Eve dan mengajaknya ke Ruang Staf, di mana kami bisa berbicara secara pribadi.
“Kalau itu yang dia inginkan, aku akan berhenti. Lebih baik seperti itu daripada melihatnya setiap hari,” ucapku pelan. Aku membuka pintu untuk masuk, lalu mengembalikan pel ke tempatnya semula.
"Aku nggak mau kehilangan kamu, Selia." Eve mulai merengek. “Kamu sudah menjadi sahabatku sejak aku mulai bekerja di sini empat tahun lalu. Kalau kamu dipecat, nggak ada lagi orang yang mau berbagi makan siang denganku.”
“Jangan bodoh! Kapan pun kita masih bisa makan siang bersama di restoran favorit kita.” Aku memberitahu Eve dengan tenang agar dia tidak terlalu mencemaskanku.
“Tapi itu nggak akan sama lagi. Nggak seperti di sini, di mana kita bisa bersama sepanjang hari.” Eve beralasan, terlihat sangat putus asa. Kerutan menyatukan alis tebalnya menjadi garis lurus.
"Kita nggak mungkin selamanya bersama. Cepat atau lambat kita pasti berpisah." Aku mencoba menjelaskan, tetapi itu tidak menghapus kecemasan yang tertulis di seluruh wajahnya. “Aku harus ke luar negeri, Eve. Aku harus pergi untuk meraih kesempatan bekerja di di sana.”
"K-kau akan mengundurkan diri dari pekerjaan ini?" Eve terkesiap, dia kaget mendengar pengakuanku.
Aku mengangguk. Eve menatapku, dia tercengang. Untuk sementara waktu, dia tidak bisa mengatakan sepatah kata pun. Setelah mengumpulkan pikirannya yang sempat bubar, akhirnya dia berbicara,
“T-tapi kenapa begitu tiba-tiba? aku akan mengerti jika kejadian hari ini akan memaksa kamu untuk mengundurkan diri, tapi nada suara kamu menandakan kalau kamu sudah berencana untuk mengundurkan diri sebelum ini.” Eve mengernyitkan kening dan meletakkan kedua tangan di pinggangnya, lalu menatapku dengan cermat.
“Aku harus pergi ke luar negeri, Eve. Di sana banyak penawaran yang tidak bisa aku tolak. Itu juga akan menguntungkan Mama. Dia bisa mendapatkan pengobatan yang baik dan jauh lebih modern. Aku harap kamu bisa mengerti, Eve.” Aku menjelaskan sebagian alasan meskipun itu bukan penyebab utamanya.
"Apa kamu melakukan ini karena itu?" Eve bertanya dengan curiga. Sepertinya dia mampu melihat setengah kebenaran dari yang aku alami.
Aku menganga padanya. Mungkinkah Eve tahu lebih banyak dari apa yang aku pikirkan selama ini? Aku menggelengkan kepalaku. Itu tidak mungkin. Aku terlalu berhati-hati dalam merahasiakan pernikahanku dengan Evan. Tidak mungkin Eve tahu yang sebenarnya.
“Nggak ada alasan lain, Eve. Aku melakukan ini murni untuk diriku sendiri dan Mama,” jawabku. Dalam hati aku merasa ngeri karena mengatakan kebohongan padanya.
Eve masih ragu. Dia terus menatapku curiga. Aku berpikir dia akan memberikan rentetan pertanyaan, aku pun mengambil napas dalam-dalam, dan mempersiapkan diri untuk diinterogasi. Namun, pertanyaan selangit itu tidak datang. Eve menghela napas, bahunya yang kaku menjadi rileks.
"Memaksakan kebenaran darimu tidak akan berhasil, Selia," ucap Eve penuh arti. Dia menyilangkan lengannya di bawah payudaranya. “Sepertinya bukan hanya aku yang menyimpan rahasia di sini,” tambah Eve sambil menatap mataku.
