Bab 9

Eve telah menjadi sahabatku selama bertahun-tahun, empat tahun tepatnya. Namun, aku tidak pernah melihat ekspresi itu di wajahnya sebelumnya. Di balik lensa tebal kacamata kunonya, terpancar secercah kebenaran. Mata biru misteriusnya menembus langsung ke jiwaku, melihat melewati fasad kehidupan normal yang aku tunjukkan kepada semua orang.

Kesadaran menghantamku seperti sambaran petir yang tajam. Dia tahu yang sebenarnya.

“Aku sudah berteman denganmu selama bertahun-tahun, Selia. Lebih tepatnya empat tahun kita telah bersama,” Eve memulai, seolah dia bisa membaca pikiranku. “Rentang waktu itu sudah cukup bagiku untuk mengetahui apakah kamu menyembunyikan sesuatu dariku atau tidak. Aku pernah melihat kamu melepas cincin kawinmu ketika kamu pikir nggak ada yang melihat lalu kamu lupa membawanya ke rumah. Aku juga memperhatikan bagaimana Tuan Atmadja memandang kamu seperti dia nggak pernah memandang orang lain.”

Aku tersedak karena terkejut. Mencoba yang terbaik untuk mempertahankan wajah lurus, aku tanpa berkedip menatap sahabatku. “Nggak, kamu salah, Eve. Tuan Atmadja dan aku nggak ada hubungannya satu sama lain.” Aku menyangkal dengan suara lembut.

“Nggak ada gunanya menyangkal kebenaran saat aku ada di sana ketika suamimu meminta cerai,” ketus Eve. Ekspresi Eve membuat ketenanganku berkurang.

“Aku kebetulan berada di restoran yang sama denganmu. Aku duduk di meja tepat di di belakangmu, dan aku mendengar semuanya.” Eve menambahkan dengan wajahnya yang tampak tak peduli dengan keterkejutanku.

Aku terkesiap, kali ini dengan ekspresi yang sangat terlihat. Ketenangan di wajahku terkuras digantikan dengan kecemasan.

Untuk sesaat keheningan memeluk kami.

“Aku mencoba berpura-pura bodoh selama ini, menunggumu untuk mengungkapkan kebenaran, tapi itu tidak berhasil, Selia. Aku harus menghadapimu sekarang, meminta kebenaran darimu.” Eve berkata setelah jeda yang lama.

Aku berharap dia tidak melihatku dengan mata menghakimi untuk menjaga kebenaran dari dia, tetapi ketika mata kami saling pandang setelah aku mencoba menghindari kedua mata itu, tiba-tiba, aku merasa ingin menangis di depannya.

Untuk menghentikan air mata agar tidak tumpah ke pipiku, aku mengangkat pandanganku ke langit-langit. Ketika aku merasa diriku tenang, aku memberanikan diri untuk melihat mata Eve lagi.

“Kau mempermainkanku, Eve,” kataku, menggelengkan kepalaku tak percaya.

"Kamu melakukan hal yang sama padaku, Selia," jawabnya. "Bahkan sekarang kamu masih mencoba untuk melakukannya.."

Terlepas dari beratnya situasi, kami mendapati diri kami saling tersenyum. Tak lama, senyuman itu menghilang dari wajahku, dan aku sadar. Eve pun melakukan hal yang sama.

"Apa alasan kamu meninggalkan La Paraiso adalah Tuan Atmadja?" tanya Eve. Kali ini, kata-katanya terdengar lebih seperti pernyataan daripada pertanyaan.

"Apa kamu benar-benar perlu mendengar jawabannya?" Aku bertanya balik.

"Aku rasa nggak perlu," jawab Eve. "Aku bisa melihat jawabannya di seluruh wajahmu, Selia." Dia menambahkan. Selia terlihat sangat yakin pada dirinya sendiri.

Aku menghela napas lelah. Eve mengenalku lebih baik daripada aku mengenal diriku sendiri. Aku berpikir dalam hati, diliputi keheranan. Dengan tidak ada yang bisa disembunyikan darinya lagi, aku menjawab pertanyaannya. “Dia adalah alasannya. Dengan perceraian di tanganku, aku nggak punya pilihan selain pergi untuk menyelamatkan apa yang tersisa dari diriku. Aku nggak mampu menahan rasa sakit ini, mengetahui dia jatuh cinta dengan wanita lain, dan dia akan segera menikahinya.”

Keheningan turun di antara kami. Eve tidak berkata apa-apa tetapi dia tetap menatap wajahku.

"Jika kamu berada di posisiku, apa kamu lebih suka tinggal di sini atau melarikan diri layaknya pengecut seperti aku?" Tanpa sadar aku mengucapkan itu. Pipiku memerah dan aku terkejut saat menyadari apa yang aku katakan barusan,

"Kita berbeda, Selia." Eve menjawab pertanyaanku. Dia menganggapnya lebih serius dari yang aku duga. “Kita dekat tapi memiliki sifat yang berbeda. Kamu adalah orang baik yang akan pergi dalam diam untuk menjaga nama baik suamimu.”

Eve berhenti sejenak dan menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, “Di sisi lain, aku kebalikan darimu.” Sebuah guratan jelek perlahan berjalan ke pelipisnya. Kemudian tangannya berubah menjadi bola yang keras seolah-olah dia ingin menghantam wajah seseorang.

“Neraka memiliki kemarahan untuk seorang wanita yang dicemooh! Jika laki-laki itu adalah suamiku, dia pasti akan mati! Aku akan menyeretnya ke perceraian yang panjang dan membuang uangnya sampai dia bangkrut. Setelah aku puas dengan balas dendam, barulah aku akan pergi.” Eve menyerukan pendapatnya, terlihat sangat kesal ketika dia menyampaikannya. Eve tampak seperti seorang wanita yang telah berhubungan dengan seseorang seolah-olah dia sendiri telah mengalami pengalaman itu.

Helaan napas lolos lagi melintasi bibirku yang sempat terkatup. “Kalau saja aku bisa melakukan hal yang sama sepertimu.” Aku bergumam pada diriku sendiri. Rasanya sangat lelah.

Ketukan di pintu tiba-tiba menghentikan percakapan kami. Kemudian dibuka dan salah satu rekan kerja kami masuk ke dalam, mengumumkan restoran akan segera dibuka, dan kami harus bergegas. Kemudian pintu tertutup lagi, dia meninggalkanku berdua dengan Eve..

Eve menempatkan tangannya di pundakku dan mencoba menenangkanku. Eve berbicara dan tatapannya melekat pada kedua mataku. “Aku nggak akan menghentikanmu untuk mengundurkan diri, Selia. Lakukan saja apa yang menurut kamu terbaik untukmu dan aku akan selalu ada di sini untuk mendukungmu,” ucapnya. Eve menarikku ke dalam pelukan dan dia mendekap tubuhku erat. Kata-katanya yang lembut mengundang air mata dari sudut mataku.

“Terima kasih, Eve. Ternyata penghiburan seperti ini yang ingin aku dengar,” jawabku. Aku menyeka air mata yang kini jatuh di pipiku dengan punggung tanganku.

"Bagaimana kalau kita pergi ke ruang makan? Para tamu akan segera datang.” Eve tersenyum, meraih tanganku, dan menarikku ke pintu.

Bab Sebelumnya
Bab Selanjutnya