Bab [1] Reinkarnasi, Hampir Mati Lagi
Malam terasa begitu pekat dan mencekam.
Sebelum Sari Lestari menutup mata untuk selamanya, telinganya masih berdengung oleh kata-kata pasangan bajingan itu.
“Sari Lestari, seharusnya kamu sudah mati dari dulu! Buat apa jadi perempuan sok kuat begitu? Kalau saja dari awal kamu serahkan kekuasaanmu, tidak akan kamu berakhir seperti ini, kan?”
Setelah berbicara, pria itu sepertinya masih belum puas. Ia meludahi jasad Sari.
“Sari, jangan salahkan aku, ya. Aku hanya terlalu cinta pada Yanto. Setelah kamu pergi, kami pasti akan hidup bahagia.”
Suara wanita itu terdengar manja, seolah yang terbaring mati di hadapannya bukanlah sahabatnya sendiri, melainkan musuh bebuyutannya.
Amarah yang terpendam di dada Sari Lestari serasa mau meledak. Ia berusaha sekuat tenaga untuk membuka matanya.
Namun, kelopak matanya terasa seberat timah, dan seluruh tubuhnya mati rasa.
Dasar pasangan hina!
Aku tidak mau mati! Aku mau hidup!
Tiba-tiba, sensasi tercekik yang hebat menjalari lehernya. Barulah saat itu Sari Lestari merasakan kekuatan untuk meronta.
Di bawahnya ada ranjang empuk yang besar, tapi di depan matanya hanya ada kegelapan total.
Ketika penglihatan tak mampu menangkap informasi, indra penciuman dan pendengaran menjadi luar biasa tajam.
Sari Lestari hanya bisa merasakan sepasang tangan besar sedang mencengkeram lehernya. Pemilik tangan itu berbicara dengan nada penuh amarah:
“Melati Wijaya, karena kamu sudah tidak ingin hidup lagi, biar aku sendiri yang mengirimmu ke neraka.”
Napasnya tercekat!
Sari Lestari bahkan belum sempat memahami situasi, lehernya sudah dicekik. Pria di hadapannya benar-benar berniat membunuhnya. Naluri untuk bertahan hidup membuatnya meronta-ronta dengan hebat, tetapi tubuh ini begitu lemah, sama sekali bukan tandingan pria itu.
Tercekik terlalu lama membuat wajah Sari Lestari memerah padam, dan matanya mulai memancarkan rona darah.
Apa aku akan mati lagi?
Tiba-tiba, pintu kamar ditendang hingga terbuka dengan suara “BRAK!”.
Saat itu, Sari Lestari sudah tidak peduli lagi siapa yang datang. Ia mengulurkan satu tangannya dengan putus asa.
Mulutnya tanpa suara membentuk dua kata:
“Tolong aku.”
Orang yang datang itu tidak mengecewakannya. Ia maju dan membantu menahan lengan pria itu, sambil berusaha menenangkannya.
“Tuan Muda! Lepaskan! Kalau begini terus bisa ada yang mati!”
Namun, mata pria itu dipenuhi kekejaman. Dengan dingin ia melontarkan tiga kata:
“Dia pantas mati!”
Melihat bujukannya tidak berhasil, kepala pelayan itu menjadi cemas. Ia langsung berlutut di depan ranjang.
“Tuan Muda! Ibu Nyonya Muda adalah penyelamat nyawa Nenek. Kalau Anda sampai membunuh Nyonya Muda, arwah Nenek di alam sana tidak akan tenang! Lagi pula, hari ini adalah hari perceraian kalian! Tuan Muda, jangan gegabah!”
Mendengar kalimat itu, Rendra Surya akhirnya sedikit lebih tenang. Kekuatan di tangannya pun terasa mengendur.
Ini kesempatannya!
Sari Lestari memanfaatkan momen itu untuk melepaskan diri dari cengkeraman. Ia menyeret tubuhnya yang lemas untuk mundur, matanya penuh kewaspadaan terhadap pria itu.
Melihatnya seperti itu, Rendra Surya menyunggingkan senyum dingin.
“Ternyata kamu juga takut mati. Hari ini aku biarkan kamu hidup. Surat cerai akan kuantar lewat Bayu. Setelah tanda tangan, enyah dari sini. Jangan sampai aku melihatmu lagi.”
Setelah berkata demikian, ia turun dari ranjang, hanya menyisakan punggungnya yang dingin.
Kepala pelayan itu pun bangkit dari lantai. Dengan tatapan iba, ia menatap wanita di ranjang dan meninggalkan pesan:
“Nona Wijaya, jaga diri Anda baik-baik.”
Keduanya keluar, meninggalkan Sari Lestari sendirian di dalam kamar.
Sambil memegangi dadanya, ia masih syok. Pandangannya masih kabur, butuh beberapa saat untuk kembali normal.
Bukannya aku sudah mati? Aku di mana? Siapa mereka?
Akhirnya punya waktu untuk berpikir, Sari Lestari menyadari ada serangkaian ingatan asing di kepalanya.
Dirinya memang sudah mati. Lebih tepatnya, ia hidup kembali di tubuh orang lain.
Pemilik tubuh ini bernama Melati Wijaya. Pria yang tadi ingin membunuhnya adalah suaminya—Rendra Surya.
Pemilik asli tubuh ini adalah gadis malang yang ibunya meninggal lebih awal. Tidak hanya itu, ayah tirinya juga seorang pengecut.
Meskipun Melati Wijaya adalah seorang putri dari keluarga kaya, ia sangat mencintai Rendra Surya. Semakin Rendra tidak menyukainya, semakin ia menempel padanya. Ia benar-benar bucin tingkat dewa.
Hari ini adalah ulang tahun pernikahan mereka, sekaligus hari berakhirnya perjanjian pernikahan mereka.
Seharusnya mereka bisa berpisah baik-baik, tetapi pemilik asli tubuh ini malah berakhir dicekik hingga tewas oleh Rendra Surya.
Namun, karena sekarang ia menggunakan tubuh Melati Wijaya, sudah sewajarnya ia harus membantunya membalas dendam.
Sari Lestari diam-diam menetapkan tekad.
Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu.
“Nyonya Muda, Anda di dalam?”
Sari Lestari hendak menjawab, tapi ia baru sadar dirinya tidak mengenakan sehelai benang pun. Kulitnya yang terekspos dipenuhi bekas kemerahan yang intim, dan seluruh tubuhnya terasa pegal linu.
Ia menarik napas dingin, mengumpat dalam hati.
Orang di luar pintu terdengar sedikit tidak sabar dan mendesak:
“Nyonya Muda, saya Bayu. Anda tidak bisa menghindar. Kalau tidak buka pintu juga, saya akan panggil kepala pelayan.”
“Tunggu sebentar! Lima menit!”
Suara wanita itu masih sedikit bergetar, terdengar menyedihkan.
Namun, Bayu bersikap profesional. Ia melirik jam tangannya, memutuskan jika wanita itu tidak keluar tepat waktu, ia akan menerobos masuk.
Tak sampai lima menit, pintu pun terbuka.
Melati Wijaya yang muncul di hadapannya berambut acak-acakan dan berwajah pucat. Ia mengenakan celana bahan dan kemeja pria, ujung celananya yang kepanjangan ia gulung.
Tidak ada pakaian wanita sama sekali di kamar itu, dan pakaian pemilik asli tubuh ini sudah robek menjadi serpihan. Sari Lestari tidak punya pilihan selain mengambil satu setel pakaian Rendra Surya dari ruang ganti.
Melihat penampilannya yang berantakan, ekspresi Bayu tetap biasa saja.
Ia hanya menyodorkan dokumen di tangannya dengan nada dingin:
“Nyonya Muda, ini surat perceraian, silakan tanda tangan. Tuan Muda juga meminta saya untuk mengantar Anda pergi.”
Maksudnya jelas: kalau berani macam-macam, jangan salahkan saya jika tidak sopan.
Sari Lestari tidak berkata apa-apa. Ia hanya mengambil dokumen itu, membaliknya ke halaman terakhir, dan menandatangani namanya yang sekarang: “Melati Wijaya”. Dua kata itu ditulis dengan cepat namun dengan goresan yang sangat indah.
Bayu justru sedikit terkejut dengan sikapnya yang begitu lugas. Setelah bertahun-tahun mengikuti Rendra Surya, ia tahu betul siapa Melati Wijaya.
Sebelum datang, ia sudah bersiap untuk bernegosiasi panjang dengannya, tak disangka urusannya selesai secepat ini.
“Sudah. Ada lagi?”
“Nyo… Nona Wijaya.” Bayu meralat panggilannya, tidak terburu-buru mengambil surat itu. “Anda tidak mau memeriksa isi perjanjiannya dulu?”
Melati Wijaya mengangkat alisnya, menjawab, “Memangnya ada yang perlu dilihat?”
Meskipun keluarga Surya kaya raya, mengingat betapa kejamnya pria itu, ia pasti tidak akan mendapatkan keuntungan apa pun. Bisa jadi perjanjian itu malah membebaninya dengan utang.
Melihat Bayu sedikit mengernyitkan dahi, Melati Wijaya melanjutkan:
“Memangnya kalau aku lihat, perceraiannya batal? Atau isi perjanjiannya akan membuatku bangkrut? Apa pun hasilnya, aku tidak bisa mengendalikannya, kan?”
Mendengar itu, tatapan Bayu menjadi lebih dalam. Ia mengambil surat cerai itu. “Nona Wijaya, Pak Surya hanya meminta Anda pergi tanpa membawa harta apa pun.”
Hasil ini sudah cukup baik baginya. Melati Wijaya berkata dengan tulus:
“Kalau begitu, sampaikan terima kasihku padanya.”
Bayu melirik bekas merah di leher Melati Wijaya.
“Nona Wijaya, perlu saya panggilkan dokter?”
Melati Wijaya mengikuti arah pandangannya ke lehernya, teringat sensasi sekarat saat Rendra Surya hampir membunuhnya.
Ia menggeleng. “Tidak perlu.” Dibandingkan mengobati luka, tetap berada di sini jauh lebih berbahaya.
Bayu mengangguk. “Kalau begitu, silakan Nona Wijaya segera berkemas.”
Melati Wijaya tidak menunda-nunda. Mengikuti ingatan pemilik asli tubuh ini, ia kembali ke kamarnya.
Kamarnya adalah bekas gudang yang diubah. Lucu sekali, Nyonya Surya yang begitu glamor di luar ternyata tidak punya kamar sendiri di rumah.
Rendra Surya sangat membenci pemilik asli tubuh ini, jadi ia memerintahkan agar kamarnya ditempatkan sejauh mungkin.
Kamar Melati Wijaya sangat kecil; satu ranjang dan satu meja sudah membuatnya terasa sesak. Dalam kondisi sesulit ini, tentu saja ia tidak punya banyak pakaian yang layak.
Karena itu, ia berkemas dengan sangat cepat. Setelah mengganti pakaian pria yang kebesaran, ia keluar sambil menyeret kopernya.
Selamat tinggal, Rendra Surya.
Melati Wijaya merasa sangat lega dan hendak melangkah pergi.
Namun, sebuah suara melengking datang dari belakang:
“Kakak mau ke mana?”
