Bab [2] Kesulitan Pertama Saat Keluar

Tentu, sebagai ahli penerjemahan sastra Tiongkok-Indonesia, saya akan mengubah teks ini menjadi sebuah karya yang terasa otentik dan memikat bagi pembaca Indonesia, seolah-olah ini adalah novel asli Indonesia.


Langkah Melati Wijaya terhenti seketika, bahkan sebelum ia sempat menoleh untuk melihat siapa yang memanggilnya.

Ingatan dari pemilik tubuh ini langsung memberinya jawaban—Wati Salima.

Wanita ini adalah adik tirinya, anak dari selingkuhan ayahnya.

Meskipun disebut adik, usia mereka tidak terpaut jauh.

Belum lama setelah Ibunya meninggal karena sakit, Wati Salima dan ibunya langsung dibawa pulang oleh Ayah Wijaya.

Selingkuhan yang naik takhta, benar-benar menggelikan. Melihat Wati Salima kini berdiri di hadapannya, Melati Wijaya tertawa sinis.

“Minggir dari jalanku. Kalau masih punya otak, cepat enyah sana.”

Wati Salima tertegun mendengar kata-kata tajam itu.

Biasanya, Melati Wijaya itu bodoh dan mudah sekali dimanipulasi. Kenapa hari ini dia begitu galak?

“Kak, aku cuma khawatir. Hari sudah mau gelap, aku nggak tega Kakak pergi sendirian.”

Melihat Bayu mendekat, Wati Salima menekan amarahnya dan kembali memasang wajah lembutnya yang rapuh.

Orang yang tidak tahu apa-apa mungkin akan memuji betapa dalamnya ikatan persaudaraan mereka.

Tapi Melati Wijaya tahu betul siapa Wati Salima. Dulu, pemilik tubuh ini begitu putus asa ingin mendapatkan pengakuan dari Rendra Surya. Dalam kepanikannya, ia meminta bantuan pada adiknya ini.

Hasilnya? Ia hanya dipermainkan habis-habisan oleh Wati Salima, dan kebencian Rendra Surya padanya semakin menjadi-jadi setiap harinya.

Sekarang, dengan jiwa yang baru, Melati Wijaya tentu saja malas meladeni sandiwaranya.

“Oh, ya? Kalau memang khawatir, panggilkan saja sopir untukku.”

Rumah keluarga Surya terletak di kawasan elit yang jauh dari pusat kota. Kebetulan sekali Wati Salima datang untuk berpura-pura baik. Kalau begitu, biarkan saja dia melanjutkan sandiwaranya sampai tuntas.

Wati Salima tidak menyangka Melati akan berkata seperti itu, senyumnya pun menjadi kaku.

Bayu yang melihat perdebatan mereka mengerutkan kening.

“Nona Wijaya, sudah hampir waktunya Anda pergi. Sebentar lagi Pak Surya akan pulang.”

Melati Wijaya meletakkan kopernya dan memutar bola matanya dengan malas.

“Bayu, memangnya aku tidak mau pergi? Seharusnya kamu urus dulu Nona Salima ini.”

Seketika, mata Wati Salima memerah, memasang ekspresi seolah akan menangis.

“Kak, aku dengar Mas Rendra mau menceraikan Kakak hari ini, makanya aku sengaja meninggalkan pekerjaanku untuk menemuimu! Tapi Kakak…”

Rasa kesal Melati Wijaya memuncak. Ia maju dan mendorong wanita manis tapi palsu itu.

“Nggak usah akting. Kalau jago sekali bermain peran, kenapa nggak jadi artis saja? Menghalangi jalan.”

Setelah berkata demikian, Melati Wijaya mengangkat kopernya dan hendak pergi.

Bayu cukup terkejut melihat sikapnya yang berbeda, tapi demi memastikan Melati bisa segera pergi, ia menggeser tubuhnya untuk menghalangi Wati Salima.

Rambut Wati Salima kini acak-acakan, kehilangan semua keanggunannya.

“Beraninya kamu mendorongku! Melati Wijaya, kembali kamu! Dan kamu, Bayu! Mas Surya yang menyuruhku untuk memastikan dia pergi. Perjanjian cerai menyatakan Melati Wijaya harus keluar tanpa harta apa pun. Apa kamu sudah memeriksa kopernya? Kamu biarkan dia pergi begitu saja, apa kamu tidak takut ada barang yang hilang?”

Mendengar ucapan Wati Salima yang begitu meyakinkan, Bayu pun teringat.

“Nona Wijaya, karena ini perintah Pak Surya, tolong buka koper Anda untuk diperiksa.”

Langkah Melati terhenti, hatinya semakin jengkel.

“Kamu lihat sendiri aku berkemas, apa yang bisa kubawa? Lagipula, menurutmu dengan sifat Pak Surya-mu itu, apa dia akan memberiku barang berharga?”

Bayu terdiam.

Memang benar, kamar yang ditempati Melati Wijaya lebih mirip sel penjara, tidak ada barang berharga yang bisa diambil.

Tapi, Wati Salima datang atas nama Mas Surya.

“Hah… Kak, sudahlah jangan mempersulit Asisten Bayu. Biar aku saja yang periksa. Kalau sampai ada barang yang hilang, masalahnya bisa jadi besar.”

Melati Wijaya mengerutkan kening. “Di dalamnya hanya ada beberapa helai bajuku sendiri.”

Wati Salima sama sekali tidak percaya. Kakaknya ini jelas-jelas bodoh. Hanya karena ibu kandungnya pernah menyelamatkan Nyonya besar Surya, ia bisa dinikahkan dengan Rendra Surya.

Selama Nenek masih ada, ia begitu memanjakan Melati Wijaya, membuat Wati tidak bisa berbuat apa-apa.

Untungnya Melati tidak punya otak, selalu menuruti semua perkataannya, yang akhirnya membuat Rendra Surya semakin membencinya.

Sekarang mereka akhirnya bercerai, kesempatan untuknya pun tiba!

Mata Wati Salima memancarkan kilau aneh, ia begitu bersemangat.

“Kalau memang tidak membawa apa-apa, kenapa takut aku periksa?”

Wati Salima bergegas maju dan merebut koper itu.

Namun, saat dibuka, ia kecewa karena isinya benar-benar hanya beberapa potong pakaian wanita.

Rasa tidak terima yang kuat membuatnya terus mengobrak-abrik isi koper selama hampir sepuluh menit, berharap menemukan bukti sekecil apa pun bahwa Melati mencuri harta keluarga Surya.

Melati Wijaya hanya menatapnya dari atas dengan pandangan merendahkan.

“Perlu kupanggilkan anjing pelacak untuk membantumu? Semua barang ini sudah tidak kuinginkan lagi, silakan kamu cari sepuasnya.”

Rasa sakit di tubuhnya belum juga hilang, Melati benar-benar malas berlama-lama. Melihat Bayu masih terpaku di sampingnya, ia menyindir,

“Apa Asisten Bayu juga mau menggeledah badanku?”

Bayu terdiam sejenak, lalu menjawab dengan kaku, “Tidak perlu. Nona Wijaya, silakan pergi.”

Pak Surya akan segera pulang. Jika dia melihat Melati belum pergi, dirinya juga akan kena imbasnya.

Namun, apa yang ditakutkan justru terjadi.

Tepat saat Melati Wijaya sampai di gerbang utama, ia berpapasan dengan Rendra Surya yang berwajah sedingin es. Rasa takut saat lehernya dicekik sebelumnya kembali menyergapnya.

Kulit kepala Melati meremang. Tidak bisa memprovokasi, setidaknya bisa menghindar, kan?

Ia pun menundukkan kepala, berusaha sekecil mungkin agar tidak terlihat, berharap bisa segera enyah dari tempat terkutuk ini.

Namun, sikapnya yang seperti burung puyuh itu justru terlihat sangat mengganggu di mata Rendra Surya.

Bayu yang melihat bosnya datang merasakan firasat buruk.

“Pak Surya.”

Wati Salima yang masih berjongkok di lantai pun berhenti mengobrak-abrik koper. Ia segera berdiri dengan rapi dan merapikan rambutnya.

“Pak Surya.”

Tatapan Rendra Surya begitu dalam, suaranya sarat dengan amarah yang tertahan.

“Melati Wijaya, apa kamu lupa kata-kataku? Bayu, apa kamu juga menganggap perintahku angin lalu?”

Dua pertanyaan itu menghantam dengan keras, membuat semua orang di sana membeku ketakutan.

Melati tidak bisa lagi berpura-pura menjadi burung puyuh. Ia terpaksa mengatakan yang sebenarnya.

“Bukannya kamu takut aku mencuri barang keluarga Surya, lalu menyuruh Wati Salima untuk mengawasiku? Barangnya masih di lantai, aku tidak mengambil apa-apa. Sekarang, bolehkah aku pergi?”

Wati Salima tidak menyangka Melati akan mengatakannya terus terang. Dengan suara bergetar, ia maju untuk menjelaskan, air mata sudah menggenang di sudut matanya, membuatnya terlihat sangat menyedihkan.

“Kak, bagaimana bisa Kakak berkata seperti itu. Aku datang atas perintah Pak Surya, tapi Kakak yang tidak mau bekerja sama saat aku mau memeriksa. Makanya jadi lama.”

“Aku tidak begitu! Bayu, kamu yang jelaskan!”

Melati secara refleks membantah, tetapi Bayu tahu betul temperamen Rendra Surya. Dia sangat membenci Melati Wijaya. Siapa pun yang membelanya saat ini, pasti akan celaka.

Di sampingnya, Wati Salima terus mengompori, “Kak, sudahlah kalau Kakak tidak menganggap perintah Pak Surya itu penting. Tapi Kakak malah menyalahkan aku dan Asisten Bayu. Di rumah saja Kakak sudah biasa berbohong, kenapa di depan Pak Surya pun masih berani…”

Ucapan itu mengingatkan Rendra Surya pada semua kebodohan yang dilakukan Melati selama pernikahan mereka. Amarahnya seketika membara.

“Melati Wijaya, aku paling benci orang yang tidak tahu diri. Kalau kamu memang sudah tidak mau hidup, biar aku sendiri yang mengantarmu pergi.”

Tiba-tiba, telapak tangannya yang besar terulur untuk kembali mencekik leher Melati. Melati ingin menghindar, tapi kecepatannya tidak sebanding dengan Rendra.

Rendra mencengkeram kedua pipinya dengan kasar, tenaganya begitu kuat seolah hendak meremukkan tulang rahangnya.

Melati berusaha keras untuk berbicara, tetapi tidak ada satu kata pun yang bisa keluar.

Dia tidak mau mati di tangan pria ini.

Melati tiba-tiba membuka mulutnya dan menggigit pangkal ibu jari Rendra Surya dengan sekuat tenaga.

Rendra mengerang kesakitan, lalu menarik Melati dan melemparkannya ke samping.

Tubuhnya yang sudah sakit serasa mau hancur berantakan setelah dibanting seperti itu.

Melihat Rendra Surya hendak menyerangnya lagi, Melati berteriak untuk menghentikannya.

“Silakan, bunuh saja aku. Aku akan jadi hantu dan tetap tinggal di sini. Setiap malam, aku akan terus mengawasimu.”

Rendra Surya seolah mendengar lelucon, tawanya meledak karena amarah.

“Aku membunuhmu semudah memencet seekor semut. Kamu pikir setelah mati, aku akan takut padamu?”

“Tentu saja kamu tidak takut. Tapi bagaimana dengan Nenek? Bagaimana kalau Nenek tahu kamu membunuh putri dari orang yang telah menyelamatkan nyawanya?”

Suara Rendra Surya menjadi sedingin es.

“Melati Wijaya, siapa yang mengizinkanmu terus-menerus menguji batasan kesabaranku!”

Melihat cara itu tidak berhasil, Melati mundur ketakutan. Pria gila ini, apa sebenarnya yang disukai pemilik tubuh ini darinya?

Namun, Bayu lebih rasional daripada Rendra Surya. Ia segera berlutut. “Pak Surya, saat ini banyak sekali mata di dewan direksi yang mengawasi kita. Kalau sampai Nona Wijaya tiada, orang-orang dari keluarga besar pasti akan memanfaatkan kesempatan ini untuk membuat keributan dan menghalangi rencana kita. Mohon Pak Surya berpikir dua kali!”

Langkah Rendra Surya tidak berhenti. Ia maju, menarik Melati, dan membenturkannya ke dinding.

Rasa sesak yang familiar itu kembali datang. Melati berusaha melepaskan tangan yang mencengkeram lehernya, tetapi tenaganya terlalu kecil untuk melawan.

Sakit sekali…

Bab Sebelumnya
Bab Selanjutnya