Bab [3] Nenek Ternyata Memelihara Seorang Pembunuh

Melihat Rendra Surya tidak bergeming, Bayu tidak berani membujuk lebih jauh.

Namun, otaknya berputar cepat, memikirkan bagaimana cara menangani situasi ini jika Melati Wijaya benar-benar tewas.

Bayu terdiam. Melati Wijaya tahu ia tidak bisa berharap pada Wati Salima yang gemetaran di sudut ruangan untuk menyelamatkannya.

Satu-satunya yang bisa ia lakukan sekarang adalah menolong dirinya sendiri.

Meskipun tidak bisa melepaskan diri, setidaknya ia masih punya ruang untuk berbicara.

Melati menatap lurus ke mata pria di hadapannya dan mulai bicara.

"Apa gunanya membunuhku? Asisten Bayu juga sudah bilang, banyak orang di luar sana yang mengawasimu. Membunuhku memang mudah, tapi setelah itu akan ada banyak masalah baru. Lihat, kan? Bahkan kalau aku mati pun, aku akan tetap merepotkanmu."

Rendra Surya sudah terbiasa melihat Melati yang selalu tunduk dan penurut. Tatapan seberani ini jarang sekali ia lihat. Namun, sorot mata Melati yang tajam bagai bara api itu benar-benar membuatnya jengkel.

"Kamu pikir aku, Rendra Surya, takut dengan orang-orang di luar sana? Wanita sepertimu seharusnya sudah mati sejak lama."

Merasakan cengkeramannya menguat, Melati tahu ini pertanda buruk.

"Kamu pikir aku mau menikah denganmu? Ini semua karena Nenek! Beliau kasihan padaku, makanya memintamu menikahiku. Tapi kamu? Nenek belum lama pergi, kamu sudah mau mencekikku. Bagus! Nanti kalau aku sudah di alam sana, akan kuberitahu beliau. Rendra Surya... kamu itu pembunuh!"

Kalimat itu adalah isi hati Sari Lestari, bukan Melati Wijaya. Bagaimanapun, Melati yang asli benar-benar mencintai Rendra Surya.

Tapi apa pedulinya? Ia baru saja mendapat kesempatan hidup kedua. Belum sempat membalaskan dendam untuk Melati yang asli, ia sudah hampir dicekik sampai mati.

Selama hidup sebagai Sari Lestari, ia tidak pernah merasa selemah ini. Tapi, mengingat ia bisa terlahir kembali, siapa tahu ada keajaiban lain setelah kematian.

Laksana ilalang, tertiup angin tapi tak pernah patah.

Memikirkan itu, Sari Lestari justru tertawa.

Di tengah situasi yang begitu tegang, tawanya terdengar sangat aneh.

Anehnya, tawa itu membuat Rendra menghentikan tindakannya.

"Apa yang kamu tertawakan?"

"Kenapa? Kamu tidak suka melihatku tertawa saat hampir mati? Baguslah kalau begitu, karena ketidaksenanganmu adalah kesenanganku. Aku memang mau tertawa. Ayo, cekik aku sampai mati. Aku juga sudah lama tidak bertemu Ibu dan Nenek. Nanti akan kusampaikan salammu untuk mereka."

Sambil berkata begitu, ia meraih tangan Rendra dan menariknya lebih erat ke lehernya. Senyum cerah terpasang di bibirnya, seolah siap menyambut kematian dengan gagah berani.

Cengkeraman di lehernya semakin kuat. Melati bahkan kesulitan mempertahankan senyumnya.

Pandangannya mulai kabur. Tiba-tiba, Rendra melepaskan tangannya.

"Menjijikkan."

Melati terlempar ke lantai seperti boneka kain, kehilangan semua ketenangannya tadi.

Ia terbatuk-batuk, menghirup udara segar dengan rakus, mensyukuri setiap detik kehidupan yang ia miliki.

Melihat Rendra melepaskan tangannya, Bayu tahu Melati akan selamat. Ia menghela napas lega, lalu mendekat untuk memberikan tisu basah pada bosnya.

Rendra mengambil tisu itu dan mengelap tangannya berkali-kali.

Wati Salima, yang sedari tadi diam, akhirnya angkat bicara dengan suara gemetar:

"Maaf, Pak Surya. Saya terlalu khawatir Kakak akan mencuri barang berharga. Saya memeriksanya terlalu lambat, makanya dia punya kesempatan untuk mengulur waktu."

Bayu ikut menimpali, "Ini kelalaian saya, Pak. Saya tidak mengawasi Nona Wijaya saat dia seharusnya pergi."

Setelah batuk beberapa saat, Melati berhasil menenangkan diri. Perlahan ia bangkit berdiri, tubuhnya goyah seakan mau rubuh.

Penampilannya bahkan terlihat tiga kali lebih menyedihkan daripada Wati Salima yang sudah merancang penampilannya dengan saksama.

"Aku... aku tidak mencuri barangmu."

Rendra melemparkan tisu bekas ke dekat kakinya.

"Tidak bisa mengerti arti 'keluar tanpa harta apa pun'? Barang mana di tubuhmu yang tidak dibeli dengan uangku? Masih berani bicara seperti itu?"

Melati tidak menyangka Rendra bisa sepicik ini, tapi apa yang dikatakannya memang benar.

Pakaian milik Melati yang asli sudah dibuang oleh Wati Salima tidak lama setelah ia menikah. Alasannya: terlalu kampungan, Rendra pasti tidak akan suka.

Padahal kenyataannya, Rendra tidak suka pada orangnya, bukan pakaiannya. Sekalipun Melati yang asli berdandan secantik bidadari, tidak akan ada gunanya.

Melati tidak bisa membantah. Perlahan, ia mengangkat tangan dan mulai melepaskan pakaiannya.

"Sesuai keinginanmu, keluar tanpa harta apa pun."

Melihat tindakannya, Rendra justru tampak jijik seolah melihat sesuatu yang kotor. Ia bergegas pergi sambil melemparkan kalimat terakhir:

"Bayu, usir dia keluar. Jangan biarkan dia membawa satu jarum atau sehelai benang pun milik keluarga Surya. Jangan sampai aku mengatakannya dua kali."

Setelah Rendra pergi, barulah Wati Salima berani berdiri. Ia mendekat dan mencibir:

"Melati Wijaya, kamu benar-benar tidak tahu malu. Di depan banyak orang begini, kamu berani-beraninya melepas baju untuk menggoda Mas Surya. Tidak kusangka dia sekarang begitu jijik melihatmu!"

Melati benar-benar merasa adik tirinya ini punya masalah dengan otaknya. Apa dia tidak bisa membaca situasi?

Dirinya saja hampir mati dicekik, mana mungkin masih punya pikiran untuk menggoda? Benar-benar gila.

Suasana hati Wati Salima sungguh luar biasa lega. Selama dua tahun ini, Melati selalu menuruti perintahnya. Ia sering memberitahu Melati bahwa pria suka wanita yang agresif dan seksi.

Maka, Melati pun berdandan dengan riasan tebal dan berulang kali mencoba mendekati Rendra Surya secara agresif.

Wati juga bilang Melati terlalu kurus, padahal pria suka wanita yang lebih berisi. Jadi, Melati berusaha keras menambah berat badan. Sialnya, perempuan jalang ini makan banyak tapi tidak juga gemuk. Sering kali ia makan sampai muntah, tapi berat badannya tidak bertambah banyak.

Tapi sekarang mereka sudah bercerai, artinya kesempatannya telah tiba.

Bayu membalikkan badan dan berkata dengan dingin:

"Nona Wijaya, silakan lepas pakaian Anda. Jangan mempersulit kami."

Tangan Melati tidak berhenti bergerak, tapi ia tidak lupa menyunggingkan senyum remeh ke arah Wati Salima. Seolah-olah saat ini ia bukan sedang menelanjangi diri, melainkan bersiap untuk maju ke medan perang.

Senyum itu membuat mata Wati Salima terasa perih.

"Lihat apa kamu? Bodoh! Jangan-jangan kamu benar-benar berpikir dengan semua usahamu itu, kamu bisa mendapatkan hati Mas Surya?"

Melati sudah melepaskan atasannya, hanya menyisakan pakaian dalam. Mendengar ucapan Wati, gerakannya terhenti.

"Dulu aku memang bodoh, makanya bisa kamu permainkan. Tapi kamu pikir setelah aku bercerai, kamu bisa berhasil merebut posisiku? Wati Salima, kamu benar-benar cetakan ibumu. Senang sekali menawarkan diri jadi selingkuhan."

Kata "selingkuhan" itu menusuk Wati Salima begitu dalam. Ia mengangkat tangan hendak menampar Melati, tapi tangannya berhasil ditahan.

"Kamu! Mas Surya sama sekali tidak menyukaimu! Lagipula kalian sudah bercerai, wajar saja kalau aku bersamanya."

"Sepertinya ibumu sering sekali menceritakan betapa hebatnya menjadi Nyonya Surya, ya? Tapi lihat dulu dirimu, pantas atau tidak. Kamu, anak haram yang masuk ke rumah orang, mau jadi bagian dari keluarga Surya? Konyol sekali! Asisten Bayu, benar kan kataku?"

Cibiran Melati bagai belati, setiap katanya menusuk tepat di jantung.

Sebenarnya, jika membahas status Rendra Surya, ia juga anak di luar nikah. Tapi ia lahir saat Ayah Surya belum menikah, dan ibunya tidak merusak rumah tangga orang lain.

Wati Salima tidak tahu diri. Ia merasa karena keduanya sama-sama anak di luar nikah, mereka serasi. Tapi ia tidak berpikir, keluarga Surya itu keluarga seperti apa.

Konyol.

Bayu tidak ingin mendengar lebih banyak drama antar wanita. Ia hanya berkata, "Nona Wijaya, tolong lebih cepat."

Wati Salima sangat marah dibuatnya.

"Jangan lupa kamu sekarang sudah bercerai, dan Nenek tua itu juga sudah mati. Di luar gerbang keluarga Surya, tidak ada yang akan melindungimu. Kalau kamu berlutut memohon padaku sekarang, mungkin aku masih berbaik hati meminta Ayah untuk mengizinkanmu pulang."

Seluruh tubuh Melati terasa sakit, tapi di saat seperti ini, ia tidak boleh terlihat lemah. Jika Wati Salima tahu ia sedang tidak sehat, pasti wanita itu akan dengan senang hati menaburkan garam di atas lukanya.

"Aku punya tangan dan kaki. Tanpa keluarga Surya, aku masih bisa hidup dengan baik. Justru kamu, yang sejak kecil minder karena statusmu. Di rumah, kamu suka sekali menindasku untuk memuaskan kelainan psikologismu."

Melati berhenti sejenak, butiran keringat dingin sebesar kacang mengalir dari pelipisnya. Ia memaksakan senyum pucat yang sinis.

"Setelah aku menikah, kamu juga ingin mengikuti jejak ibumu. Tapi Rendra Surya tidak termakan cara itu, jadi kamu mulai menyerangku dari samping. Membuatnya semakin membenciku. Kalau aku mati di sini hari ini, itu semua tidak lepas dari jasamu."

Wati Salima mengentakkan tangannya dengan kasar, wajahnya penuh amarah karena rahasianya terbongkar. Tanpa memedulikan orang di sekitarnya, sebuah tamparan keras mendarat di pipi Melati.

PLAK!

Kekuatan tamparan itu langsung membuat Melati tersungkur ke lantai.

"Melati Wijaya, apa yang kamu sombongkan? Kalau bodoh, ya sudah, mati saja sana! Tanpa keluarga Surya, kamu bukan apa-apa. Masih berani sombong begitu?"

Melati hanya merasakan pipinya panas terbakar, tapi Wati Salima tidak berniat melepaskannya. Ia menjambak rambut Melati.

Namun, tatapan Melati justru berkobar tajam, menatap Wati lekat-lekat seolah sedang melihat seekor semut.

"Hari ini akan kubuat kamu tahu, apa akibatnya kalau macam-macam denganku!"

Bab Sebelumnya
Bab Selanjutnya