Bab [4] Wasiat
Wati Salima benar-benar murka. Tanpa memedulikan para pelayan yang masih ada di rumah keluarga Surya, ia langsung turun tangan.
Plak! Plak! Plak! Beberapa tamparan mendarat telak dengan suara yang nyaring.
Pipi Melati Wijaya terasa kebas, dan sudut bibirnya mulai mengeluarkan darah.
Rasa sakit di sekujur tubuh ditambah perih di wajah membuat Melati Wijaya tak berdaya untuk melawan. Ia hanya bisa pasrah menerima pukulan.
Di sampingnya, Bayu hanya diam membisu. Melati Wijaya sudah bukan lagi nyonya rumah keluarga Surya. Konflik antara kakak-beradik bukan lagi urusannya.
Lagi pula, Pak Rendra Surya sangat membencinya. Siapa yang berani menolong?
Maka, hanya suara tamparan yang nyaring dan umpatan Wati Salima yang menggema di seluruh rumah.
"Ngomong, dong! Bukannya kamu jago banget bicara?"
Melati Wijaya meludahkan gumpalan darah, nyaris tak bersuara.
"Wati Salima, kamu tahu pepatah, kan?" Napasnya lemah, tetapi suaranya terdengar sangat dingin.
"Jangan ganggu aku, maka aku tidak akan mengganggumu. Semua yang kamu lakukan padaku hari ini, aku ingat baik-baik. Suatu saat nanti, kalau kamu jatuh ke tanganku, akan kubalas seratus kali lipat!"
Wati Salima tertegun sejenak mendengar kata-katanya, tetapi kemudian tangannya kembali bergerak.
"Masih berani melawan! Pecundang selamanya akan jadi pecundang. Kamu pikir gertakanmu itu ada gunanya?"
Beberapa tamparan lagi mendarat, membuat Melati Wijaya benar-benar kehabisan tenaga untuk bicara.
Khawatir Melati akan benar-benar mati di rumah keluarga Surya, Bayu akhirnya angkat bicara untuk menghentikan Wati Salima.
Kebetulan, Wati Salima juga sudah lelah memukul. Ia lantas menyuruh pelayan untuk melucuti pakaian Melati dan mengusirnya keluar.
Rumah keluarga Surya akhirnya kembali tenang. Setelah menyelesaikan tugasnya, Bayu pergi untuk melapor.
Pintu kamar diketuk, dan terdengar suara berat seorang pria dari dalam.
"Masuk."
"Pak Surya, sesuai perintah Anda, Nona Wijaya sudah diusir."
Tatapan Rendra Surya begitu dalam. Teringat kembali kata-kata Melati, ia pun bertanya.
"Apa dia mengatakan sesuatu?"
"Tidak, Pak. Dia tidak mengatakan apa-apa."
Rendra Surya terdiam sejenak, lalu membuka dokumen di tangannya dan memberi perintah.
"Buang dia lebih jauh. Jangan sampai dia mengotori rumah ini."
Mendengar itu, Bayu diam-diam mundur dan memerintahkan pelayan untuk membuang Melati Wijaya ke jalan.
Saat itu sedang musim kemarau. Pakaian Melati dilucuti hingga hanya tersisa pakaian dalam. Ditambah lagi dengan pukulan dari Wati Salima, penampilannya benar-benar menyedihkan.
Awalnya, para pelayan hanya membuangnya di depan gerbang dan tidak memedulikannya lagi.
Namun, perintah baru mengharuskan mereka untuk membuangnya lebih jauh.
Kedua pelayan itu kembali ke gerbang dan mendapati Melati masih tergeletak di posisi yang sama, tak bergerak. Entah hidup atau mati.
Melati merasakan ada orang yang datang lagi, tetapi ia terlalu malas untuk bergerak.
Seluruh tubuhnya sakit. Jika Rendra Surya ingin membunuhnya sekarang, ia sudah tidak punya tenaga untuk melawan.
Untungnya, mereka tidak berniat membunuhnya. Mereka hanya mengangkat dan menyeretnya ke pinggir jalan.
Hati Melati yang tegang akhirnya lega, dan ia pun jatuh pingsan.
Entah berapa lama ia tertidur, Melati Wijaya tiba-tiba terbangun dengan kaget.
Ia mendapati dirinya berada di sebuah kamar, di atas kasur yang empuk.
Lukanya sudah diberi obat, dan pakaian yang dikenakannya pun sangat lembut dan nyaman.
"Aku di mana?" gumam Melati. Pintu kamar tidur tiba-tiba didorong terbuka.
Seorang pria jangkung masuk. Melihat ekspresi waspada Melati, ia tersenyum ramah dan menyodorkan obat di tangannya.
"Nona Wijaya, Anda sudah sadar? Jangan takut, saya Ahmad Pratama, pengacara pribadi almarhumah Ibu Anda."
Melati tidak mengambil obat itu. Ia hanya ingat pingsan di jalan.
Pria di hadapannya mengaku sebagai pengacara Ibunya? Tapi ia sama sekali tidak punya ingatan tentangnya.
Pria itu tidak terburu-buru. Ia meletakkan obat itu di samping.
"Wajar kalau Anda tidak ingat saya. Waktu itu Anda masih sangat kecil."
Ibu Melati meninggal saat ia berusia 13 tahun. Setelah itu, Wati Salima dan ibunya masuk ke dalam keluarga, mengacaukan keluarga Wijaya.
Tapi kematian ibunya begitu mendadak, bagaimana bisa tiba-tiba muncul seorang pengacara?
Melati masih waspada. "Anda yang menyelamatkan saya?"
Ahmad Pratama tersenyum tipis. "Seorang pejalan kaki yang baik hati menyelamatkan Anda. Kebetulan saya ada urusan dengan Anda, jadi saya menjemput Anda kemari. Pejalan kaki itu menutupi Anda dengan jaketnya, dan pakaian yang Anda kenakan digantikan oleh Nenek di sebelah. Saya tidak melihat apa-apa."
Melati mulai percaya. Setidaknya, berada di sini lebih baik daripada terbaring telanjang di jalan.
"Anda bilang ada urusan dengan saya. Kenapa Anda tidak pernah muncul sebelumnya?"
"Ibu Anda meninggalkan surat wasiat, dan berpesan agar saya menyerahkannya pada Anda tepat di hari ulang tahun Anda yang ke-24."
Setelah berkata demikian, Ahmad Pratama keluar dari kamar dan kembali membawa sebuah dokumen.
Melati membuka dokumen itu. Di halaman tanda tangan, tertulis dengan jelas sebuah nama.
"Dewi Wijaya."
Itu memang nama Ibunya.
Ahmad Pratama menambahkan, "Ibu Anda meninggalkan sejumlah harta untuk Anda, termasuk lima belas persen saham Grup Wijaya dan sebuah vila miliknya."
Kematian Dewi Wijaya memang sangat tiba-tiba. Tak disangka ia meninggalkan semua ini untuk Melati.
Meskipun tidak banyak, ini sudah cukup bagi Melati untuk membalas dendam dan membuat keluarga tirinya itu membayar semua perbuatan mereka.
Diingatkan oleh Pak Pratama, Melati pun teringat. Hari perceraiannya ternyata bertepatan dengan ulang tahunnya yang ke-24. Tak disangka hari itu begitu menyedihkan.
Tapi sekarang, hari-hari indah mereka telah berakhir.
Melati menutup surat wasiat itu dan bertanya pada Pak Pratama, "Berapa lama saya tidur?"
"Luka Anda cukup parah. Anda pingsan selama tiga hari. Dokter menyarankan Anda untuk banyak istirahat."
"Bagus. Tiga hari. Cukup bagi mereka untuk bersenang-senang."
Suara Melati terdengar dingin. Ia menyingkap selimut dan turun dari tempat tidur.
Untuk sesaat, Pak Pratama seolah melihat sosok Dewi Wijaya yang penuh semangat di masa jayanya.
"Anda mau ke mana?"
Melati berhenti melangkah dan berkata dengan suara berat.
"Luka-luka di tubuh saya ini tidak lepas dari ulah 'adik' saya yang baik hati itu. Saya terbaring di sini selama tiga hari, sementara dia bisa bersantai dengan nyaman di rumah. Menurut Anda, Pak Pratama, apakah itu adil?"
Tanpa menunggu jawaban Pak Pratama, Melati melanjutkan. "Dan juga Ibu saya yang meninggal terlalu cepat. Ayah saya dan selingkuhannya itu sudah hidup enak selama bertahun-tahun. Sudah waktunya mereka membayar semuanya."
Setelah itu, Melati keluar dari pintu. Melihatnya pergi, Pak Pratama buru-buru mengenakan jasnya dan mengikutinya.
Sinar matahari di luar terasa sedikit menyilaukan. Melati mengangkat tangannya untuk menahan silau. Namun, hatinya dipenuhi kegembiraan, bukan hanya karena bisa membalaskan dendam, tetapi juga karena kebahagiaan mendapatkan hidup baru.
Orang-orang yang telah menyakitinya tidak akan ada yang bisa lolos!
Di Vila Keluarga Wijaya, keluarga Wati Salima sedang menikmati waktu bersama dengan riang.
Ibu Wati Salima, Luna Liman, sedang membantunya memilih kalung.
Beberapa hari ini, semua hal baik seolah datang menghampiri mereka.
Setelah berhasil menyingkirkan Melati Wijaya, posisi nyonya rumah keluarga Surya menjadi kosong. Saat Rendra Surya menghadiri pesta malam, Wati Salima bisa menemaninya.
Untungnya, Pak Surya hanya muak pada si jalang itu. Putrinya masih punya kesempatan.
"Ayah, menurut Ayah aku pakai kalung yang mana, ya?" Wati Salima memegang dua kalung dengan ekspresi bingung.
Di sampingnya, Herman Salim menimpali, "Putri kesayangan Ayah pakai apa saja cantik. Kalau bingung, pakai saja yang paling mahal."
Luna Liman juga tersenyum. "Di kotak perhiasanku masih banyak, kok. Pilih saja pelan-pelan. Kamu harus tampil secantik mungkin, jangan sampai mempermalukan Pak Surya."
Ketiganya tertawa bersama, tampak seperti keluarga yang bahagia dan harmonis.
Namun, kebahagiaan mereka dibangun di atas penderitaan Melati Wijaya dan ibunya.
Herman Salim, si kacang lupa kulit, tidak hanya merebut harta keluarga Wijaya, tetapi juga membawa selingkuhannya masuk ke dalam rumah. Ia menelantarkan putri kandungnya, Melati Wijaya, di luar dan tidak pernah peduli. Benar-benar keterlaluan!
Tepat pada saat itu, Melati Wijaya dan Pak Pratama tiba di depan gerbang.
Ding-dong! Ding-dong!
Keduanya menekan bel, menunggu pelayan membukakan pintu.
Namun, pelayan itu seolah melihat hantu saat melihat Melati kembali.
"Nona... Nona Besar, kenapa Anda kembali?"
Melati tampak tenang. "Kepala Pelayan, sepertinya Anda kurang senang ya, saya pulang ke rumah sendiri."
Wajah kepala pelayan itu memucat. Melati sudah bertahun-tahun meninggalkan rumah. Mana ada lagi tempat untuknya di sini? Bahkan kamarnya pun sudah ditempati oleh Wati Salima.
Namun, aura Melati begitu kuat sehingga kepala pelayan tidak berani banyak bicara. Jika ini terjadi di masa lalu, ia pasti sudah mengusirnya.
Setelah masuk, Rumah Wijaya masih sama seperti dulu, tidak banyak berubah.
Melati bertanya pada kepala pelayan, "Ayahku, ibu tiriku, dan adikku ada di rumah?"
Nada bicaranya sangat dingin, membuat kepala pelayan itu bergidik.
"Bapak, Nyonya, dan Nona Kedua, semuanya ada di rumah."
"Bagus sekali. Bisa kuselesaikan sekaligus."
Melati mempercepat langkahnya. Ia sudah tidak sabar melihat ekspresi mereka saat melihatnya nanti.
