Bab [5] Langkah Pertama Balas Dendam
Di perjalanan, Pak Arjuna juga mendengar kabar itu. Kehidupan Maharani tidaklah baik. Arjuna semula mengira, meskipun Bu Dewi sudah meninggal, Maharani akan tetap menjadi seorang nona dari keluarga kaya raya.
Apalagi, dia menikah dengan Rendra Surya, seorang taipan bisnis yang dominan. Hidupnya pasti penuh dengan kemewahan dan kehormatan.
Namun, siapa sangka, keluarga Herman Salim ternyata begitu tidak manusiawi. Mereka benar-benar menghancurkan hidup Maharani.
Memikirkan hal itu, Arjuna mempercepat langkahnya, mengikuti Maharani masuk ke dalam rumah.
Saat itu, keluarga Herman Salim sedang menikmati waktu bersama dengan riang gembira, suasananya terasa sangat harmonis.
Mereka bertiga sama sekali tidak menyangka Maharani akan kembali.
Sebenarnya, sangat wajar bagi Maharani untuk pulang ke rumah keluarganya sendiri setelah bercerai. Namun, di rumah ini sudah lama tidak ada tempat untuknya. Jika ini adalah Maharani yang dulu, dia pasti sudah bersembunyi di sudut ruangan sambil menangis diam-diam.
Wati adalah orang pertama yang melihatnya masuk. Dengan amarah yang meluap-luap, dia langsung membentak.
"Maharani! Siapa yang mengizinkanmu datang ke rumahku?! Satpam, usir dia keluar!"
Namun, para pelayan tidak berani bergerak. Kedatangan Maharani kali ini penuh dengan aura permusuhan. Para pelayan tahu betul, rumah ini sebenarnya milik Nona Maharani.
Pemilik rumah pulang ke rumahnya sendiri, itu adalah hal yang wajar.
Maharani tidak peduli dengan kemarahan Wati. Dia duduk dengan santai, lalu mengedarkan pandangannya ke sekeliling, menikmati pemandangan rumahnya yang sudah lama tidak ia kunjungi.
Melihat Maharani tidak bergeming, Wati hendak bertindak kasar, tetapi langsung dihalangi oleh Pak Arjuna.
"Nona Wati, ini adalah kediaman Nona Maharani. Kepulangannya bukan urusan Anda untuk ikut campur."
Wati terkejut dengan kemunculan pria ini yang tiba-tiba.
"Bagus sekali kamu, Maharani! Baru saja cerai sudah tidak sabar mencari pria baru. Pria setua ini pun kamu mau, seleramu benar-benar unik."
Alis Pak Arjuna berkerut. Dia tidak menyangka Wati akan sesulit ini untuk dihadapi.
"Nona Wati, saya adalah pengacara Nona Maharani. Jika Anda terus berbicara tidak sopan, saya bisa menuntut Anda ke pengadilan!"
Herman Salim, yang sedari tadi hanya menonton, akhirnya angkat bicara setelah mendengar Pak Arjuna memperkenalkan diri.
"Lucu sekali! Sejak kapan rumahku jadi tempatmu bicara! Maharani, bawa pengacaramu dan enyah dari sini, atau aku akan menuntutmu karena masuk tanpa izin!"
Ekspresi Maharani tetap tenang, sama sekali tidak menganggap ayah kandungnya ini.
"Pak Herman, Anda ini benar-benar lucu. Sudah terlalu lama tinggal di rumah saya, sampai benar-benar menganggap diri Anda pemiliknya? Dan kau, Wati, senang sekali ya mencuri barang-barangku?"
Setelah berkata demikian, Maharani dengan cepat merenggut kalung yang dikenakan Wati.
Tadi, Wati memang sedang mencoba kalung itu. Kalung yang melingkar di lehernya dihiasi dengan berlian biru yang sangat berharga, nilainya mencapai puluhan miliar rupiah.
Kalung itu adalah salah satu barang peninggalan Maharani di rumah.
Wati hanya merasakan sakit di lehernya. Saat diraba, ternyata lehernya tergores hingga berdarah oleh kalung itu.
Dia murka dan langsung menerjang ke depan. "Wanita jalang, ini kalungku!"
Maharani dengan gesit mengelak, lalu menendang lutut Wati.
Seketika, Wati jatuh berlutut di hadapannya, terlalu sakit untuk bisa berdiri tegak.
Luna, ibu Wati, tidak menyangka Maharani berani langsung main fisik. Dengan cemas, dia segera maju untuk membantu putrinya berdiri.
"Maharani! Kita tidak punya dendam apa-apa. Kenapa kamu tega datang ke sini memukuli adikmu dan merampas barangnya!"
Melihat istri dan putrinya dianiaya, Herman Salim mengangkat tangannya hendak memukul Maharani.
Lagi-lagi, Pak Arjuna menghalanginya.
Maharani kembali duduk, ekspresinya penuh dengan cemoohan.
Mencuri kalungnya, lalu memutarbalikkan fakta. Benar-benar konyol.
Tenang saja, hari ini tidak akan ada satu pun yang bisa lolos.
"Wati, Wati... Kamu bahkan tidak mampu membeli barang mewah. Dari mana kamu mendapatkan kalung senilai puluhan miliar ini? Seingatku, barang-barangku masih ada di rumah ini. Kamu mencurinya dari kotak perhiasanku, apa kamu lupa?"
Lutut Wati terasa sangat sakit, seluruh wajahnya berkerut menahan nyeri.
Maharani ini, ternyata punya kalung semahal itu.
Dia hanya mengambil dan memakainya karena melihat kalung itu indah. Siapa sangka nilainya mencapai puluhan miliar.
Tapi, karena barang itu ada di rumah, berarti itu adalah miliknya, milik Wati.
Wati menatap dengan penuh amarah.
"Apa maksudmu kalungmu! Kalau aku bilang ini milikku, ya ini milikku! Kalau kamu tidak mengembalikannya, aku akan lapor polisi dan menuduhmu melakukan perampokan!"
Pak Arjuna benar-benar terkejut dengan ketidakmaluan wanita itu dan hendak membela Maharani. Namun, dia melihat Maharani bangkit lagi dan berjalan ke hadapan Wati.
"Berlian biru seindah ini, setiap batunya memiliki nomor seri sendiri. Kalau kamu bilang ini milikmu, kamu pasti ingat nomor serinya, kan?"
Wati tampak panik. Mana mungkin dia ingat nomor seri apa pun. Barang curiannya bahkan belum sempat ia nikmati, sudah direbut kembali oleh pemilik aslinya.
Maharani yang berdiri di hadapannya kini tidak lagi menunjukkan sifat penakut seperti dulu.
Ekspresinya tenang, matanya menyapu mereka bertiga.
Tiba-tiba, rasa takut muncul di hati Wati. Dia teringat kata-kata Maharani saat dia menamparnya dulu.
"Aku tidak akan mengganggu jika tidak diganggu."
Luna tidak tahan melihat putrinya diintimidasi, jadi dia ikut bicara.
"Nomor seri apa! Angka-angka itu panjang sekali, siapa yang bisa mengingatnya? Maharani, jangan mengada-ada!"
Mendengar pembelaan ibunya, Wati dengan cepat mendapatkan kembali keberaniannya.
"Benar! Nomor serinya panjang begitu, siapa yang bisa ingat! Kembalikan kalungku, dan cepat keluar dari rumahku!"
Maharani merasa alasan mereka berdua sangat konyol. Sambil tersenyum sinis, dia mengangkat kalung itu.
Di bawah pantulan cahaya, batu permata itu memancarkan kilau yang indah dan mempesona, sekaligus menyoroti wajah-wajah buruk keluarga ini.
"Kamu tidak ingat nomor serinya, lalu apa kamu punya bukti pembelian?"
"Aku..."
Sebelum Wati sempat menjawab, Maharani sudah memotongnya.
"Biar kutebak, kamu pasti akan bilang bukti pembeliannya hilang. Tapi tidak apa-apa, untuk barang semahal ini, catatan pembeliannya pasti tersimpan dengan baik. Ayo lapor polisi saja, biar Pak Polisi yang menyelidiki siapa sebenarnya pemilik kalung ini."
Wati benar-benar kehilangan nyali, wajahnya menjadi sangat pucat.
Melihat tidak ada yang bergerak, Maharani mengedipkan matanya, berpura-pura polos.
"Kenapa tidak jadi lapor polisi? Sudah tidak mau kalungnya lagi?"
Luna tidak menyangka Maharani menjadi begitu tajam lidahnya setelah bercerai. Tapi situasi saat ini tidak menguntungkan bagi mereka.
Tentu saja mereka tidak bisa membiarkan polisi benar-benar dipanggil. Jika tidak bisa menunjukkan bukti, mereka akan dicap sebagai pencuri.
Namun, membiarkan kalung semahal itu jatuh ke tangan Maharani, Luna tentu saja tidak rela.
Dia tersenyum dingin dalam hati. Memangnya kenapa kalau dia berani sekarang? Ibu kandung Maharani saja sudah berhasil aku kalahkan, apalagi hanya gadis kecil ini.
Luna berpura-pura bersikap sulit, lalu berkata dengan lembut.
"Rani, sayang... kamu baru saja pulang. Ayah dan Ibu sangat senang. Wati kan masih muda, janganlah kamu terlalu perhitungan dengannya. Ayo kita duduk bersama sebagai keluarga, makan malam, dan bicarakan semuanya baik-baik."
Maharani benar-benar kagum dengan ketahanan mental Luna. Dia selalu bisa bersikap lembut dan penuh perhatian seperti ini, itulah yang membuat Herman Salim tergila-gila padanya.
Situasi sudah memanas seperti ini, Luna masih bisa dengan tenang mencoba meredakan suasana.
Tapi Maharani bukan orang bodoh. Ibu tirinya ini adalah ular berbisa, yang hanya menunggu saat kau lengah untuk mematukmu dengan kejam.
Maka, dia menyindir dengan tajam.
"Siapa Ayah dan Ibuku? Ayah dan Ibuku sudah tiada. Ibuku bernama Dewi Wijaya. Kamu itu siapa? Dan putrimu itu, anak hasil selingkuhan juga pantas menjadi adikku?!"
Kata-kata Maharani penuh dengan ejekan. Herman Salim murka. Dia mengangkat tangannya hendak memberinya pelajaran.
"Anak durhaka! Ayahmu masih hidup! Ibu tirimu bicara baik-baik tidak kamu dengarkan, siapa yang mengizinkanmu berbuat seenaknya di rumahku!"
Dengan sigap, Maharani menangkap tangan Herman dan menghempaskannya dengan keras.
Herman yang sudah tidak muda lagi, kehilangan keseimbangan dan jatuh terduduk di sofa.
Melihat kejadian itu, Wati dan Luna berteriak bersamaan.
"Ayah!"
"Sayang!"
Menyaksikan adegan penuh kasih sayang itu, Maharani tidak bisa menahan diri untuk bertepuk tangan, lalu berkata pada Wati.
"Tidak kusangka, bakat aktingmu ternyata menurun ya. Setelah bertahun-tahun hidup nyaman di kediaman keluarga Wijaya, sekarang saat aku pulang, malah aku yang jadi penjahatnya?"
Tanpa menunggu reaksi mereka bertiga, Maharani langsung memberi perintah.
"Pak Arjuna, tolong telepon polisi. Kalau polisi sudah datang, siapa pencurinya dan siapa pemiliknya, dengan sendirinya akan jelas."
Pak Arjuna mengangguk, lalu mengeluarkan ponselnya untuk menelepon polisi.
Wati, sambil menahan sakit di kakinya, berusaha merebut ponsel itu.
"Berani-beraninya kalian!"
