Bab [6] Alarm
"Memangnya aku berani apa? Wati Salima, jangan-jangan kamu takut, ya?" tanya Melati Wijaya, menatapnya dengan senyum sinis yang tidak sampai ke mata.
Melihat situasi memanas, Luna Liman segera menarik putrinya. Ia memasang wajah ramah dan lembut, layaknya seorang ibu yang penuh kasih.
"Melati, ini salah Wati. Dia tidak tahu diri mengambil kalungmu. Kita ini kan satu keluarga, masalah apa pun bisa kita selesaikan di rumah. Tidak baik kan kalau sampai polisi datang."
Wati Salima yang tangannya ditahan tidak bisa berbuat banyak. Ia hanya bisa menggeretakkan giginya, menatap Melati Wijaya dengan mata penuh amarah dan kebencian.
Melati Wijaya malas meladeni sandiwara mereka. Ia duduk di sofa tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Tadi ia sudah melontarkan kata-kata yang begitu menusuk, tapi Luna Liman pura-pura tidak mendengar. Karena Luna suka sekali berpura-pura, Melati ingin lihat sampai kapan ia bisa bertahan.
Waktu terus berjalan. Jika tidak berdamai sekarang, akan sulit menjelaskannya begitu polisi tiba nanti. Luna Liman diam-diam menggertakkan giginya, tidak menyangka si jalang ini bisa begitu tenang.
Beberapa hari yang lalu Wati sudah bilang, setelah bercerai, Melati Wijaya seolah berubah menjadi orang lain. Awalnya Luna tidak percaya. Tapi setelah melihatnya hari ini, perempuan murahan ini benar-benar sudah berubah! Sebelum Luna sempat memikirkan strategi, Wati Salima sudah tidak bisa menahan amarahnya. Ia menyambar vas bunga di sebelahnya dan melemparkannya ke arah Melati Wijaya.
"Melati Wijaya! Mati saja kamu!"
Vas itu sangat berat. Jika mengenai seseorang, bisa dipastikan orang itu akan mati atau cacat seumur hidup.
Hati Luna Liman mencelos. Celaka, pikirnya.
Putrinya ini memang terlalu impulsif. Jika sampai Melati Wijaya terluka, begitu polisi datang, masalahnya tidak akan sesederhana pencurian kalung lagi.
Pak Pratama juga terkejut hingga wajahnya memucat, tapi ia teringat bahwa yang terpenting sekarang adalah mengumpulkan bukti sebelum polisi datang. Maka, ia menahan langkahnya dan mengeluarkan ponsel.
Melati Wijaya menatap vas bunga yang melayang lurus ke arah wajahnya, seulas senyum tipis terukir di bibirnya.
Semua gerakan di matanya seolah melambat. Di saat genting itu, Melati Wijaya melancarkan sebuah tendangan memutar yang cantik, mengirim vas itu kembali ke arah asalnya.
Tubuh pemilik aslinya memang jarang berolahraga, untungnya kelenturannya masih cukup bagus. Berkat itulah Melati Wijaya bisa melakukan gerakan tadi, meskipun kakinya terasa sangat sakit setelah menendang, membuatnya sontak meringis menahan perih.
Namun, Wati Salima tidak seberuntung itu. Ia hanya bisa terpaku melihat vas itu terbang kembali ke arahnya. Dalam kepanikan, ia hanya bisa melindungi wajahnya dengan kedua tangan. Tubuhnya terhuyung ke belakang tak terkendali.
Semua terjadi begitu cepat.
Luna Liman baru saja merasa lega Melati Wijaya tidak terluka, sedetik kemudian ia melihat Wati Salima jatuh menabrak sebuah rak.
Rak kayu itu memang sudah tidak stabil, sama sekali tidak sanggup menahan beban tubuh Wati Salima.
Bersamaan dengan jatuhnya vas ke lantai, rak itu pun ikut ambruk.
Prang! Brak!
Suara barang-barang pecah berderak-derak memenuhi ruangan. Dalam sekejap, seluruh ruangan menjadi berantakan.
Wati Salima terduduk di tengah tumpukan pecahan barang, menjerit histeris sambil menutupi wajahnya.
Ketika Herman Salim dan Luna Liman sadar, mereka buru-buru menghampiri Wati Salima untuk melindunginya, sambil membentak para pelayan untuk membantu.
Seketika, ruang tamu menjadi gaduh dan kacau balau. Benar-benar pemandangan yang meriah.
Sementara itu, Melati Wijaya, dengan napas yang teratur dan wajah tanpa ekspresi, kembali duduk di sofa.
Ia mendongak menanyai Pak Pratama yang masih memegang ponselnya.
"Bagaimana? Sudah direkam?"
Pak Pratama tersadar dari keterkejutannya dan mengangguk. "Sudah saya rekam."
Melati Wijaya tampak puas. Ia menunduk sambil memijat kakinya.
Wati Salima terluka akibat tertimpa barang-barang yang jatuh. Saat ini ia menangis tersedu-sedu menahan sakit. Tapi penderitaan yang lebih buruk masih menantinya.
Kepala pelayan masuk dengan langkah tergesa-gesa.
"Pak, Nyonya, polisi sudah datang."
Mendengar itu, Wati Salima lupa akan rasa sakitnya. Dengan raut panik, ia mencengkeram lengan Luna Liman.
"Ibu... bagaimana ini? Polisinya datang!"
Ekspresi Luna Liman mengeras. Ia tidak menyangka si jalang ini benar-benar menelepon polisi.
Namun, ia tetap menepuk tangan Wati Salima, memberinya isyarat untuk tidak khawatir. Setelah keributan tadi, bahkan jika polisi datang pun, mereka merasa berada di pihak yang benar.
Dari luar, dua pria berseragam polisi masuk. "Siapa yang menelepon polisi?"
Pak Pratama maju dari kerumunan.
"Pak Polisi, saya yang menelepon."
"Apa yang terjadi? Kenapa rumah ini berantakan sekali, apa kalian berkelahi massal?"
Wati Salima, sambil memegangi lengannya yang memar dan bengkak, memutarbalikkan fakta.
"Pak Polisi! Wanita gila ini menerobos masuk ke rumah saya dan melukai saya. Cepat tangkap dia!"
Kedua polisi itu saling pandang, tidak menyangka pertengkaran ini melibatkan dua gadis yang tampak lemah. Ditambah lagi, Wati Salima memang terluka, jadi wajar jika polisi lebih memihak pada korban.
Namun, Luna Liman tidak ingin memperpanjang masalah. Ia maju dan berkata dengan suara lembut:
"Pak Polisi, anak-anak ini hanya kurang dewasa. Mereka bertengkar sedikit, lalu tidak sengaja menyenggol rak. Maaf sudah merepotkan Bapak-bapak sampai datang kemari. Tidak ada masalah besar, Bapak-bapak bisa kembali saja."
Raut wajahnya lembut, sikapnya elegan, benar-benar seperti seorang ibu yang bijaksana.
Selesai bicara, ia memberi isyarat mata pada kepala pelayan, bermaksud mengantar polisi keluar.
Pak Pratama melihat gelagat buruk itu dan segera maju untuk mencegah.
Sudah susah payah menelepon polisi dan bukti sudah di tangan, bagaimana mungkin ia membiarkan mereka pergi begitu saja?
"Pak Polisi—"
Luna Liman tahu Pak Pratama adalah pengacara, tentu ia tidak ingin pria itu bicara. Ia pun kembali memotong ucapannya.
"Bapak ini, ini urusan pribadi keluarga kami. Saya tidak tahu apa niat Anda, hanya karena dua gadis muda bertengkar, Anda sampai menelepon polisi dan menyia-nyiakan sumber daya publik."
Setiap katanya diucapkan dengan tegas dan meyakinkan, seolah-olah ia benar-benar seorang ibu yang memikirkan kepentingan umum.
"Hanya pertengkaran antar saudari?" Polisi itu ragu. Apa daya rusak dua gadis bisa sekuat ini? Dunia orang kaya memang sulit dimengerti.
Luna Liman sepertinya lupa bahwa Melati Wijaya masih ada di sana. Tepat saat ia hendak mengarang alasan lain, Melati Wijaya yang sudah cukup beristirahat angkat bicara, memotong ucapannya.
"Siapa yang bersaudari dengannya?"
Senyum Luna Liman langsung kaku. Ia tidak menyangka Melati Wijaya akan begitu blak-blakan.
"Melati, kamu ini! Kalau sudah marah selalu begini. Masalah keluarga kenapa harus lapor polisi?"
Melati Wijaya balik bertanya, "Memangnya Anda siapa berani menasihati saya? Pak Polisi, saya yang meminta pengacara saya untuk menelepon. Ketiga orang ini telah menerobos masuk properti pribadi dan berniat mencelakai saya. Saya mohon Bapak-bapak memprosesnya sesuai hukum."
Herman Salim yang sedari tadi diam tiba-tiba angkat bicara, "Ribut apa kalian ini?"
Selesai berkata, ia maju selangkah, menghalangi kedua polisi itu.
"Pak Polisi, saya pemilik rumah ini. Sungguh sial keluarga saya punya anak durhaka seperti ini, sampai merepotkan Bapak-bapak. Saya benar-benar minta maaf. Melati Wijaya! Kemari dan minta maaf!"
Melati Wijaya merasa geli mendengar kata-katanya. Ayah dari pemilik tubuh asli ini sama sekali tidak peduli padanya.
Belakangan, ia bahkan berselingkuh dengan Luna Liman. Setelah istrinya meninggal, ia tidak sabar menguasai harta keluarga Wijaya, lalu membawa selingkuhan dan anak haramnya tinggal di rumah mendiang istrinya.
Dulu, pemilik tubuh asli ini selalu menuruti perkataannya, tapi yang didapat hanyalah pengabaian demi pengabaian. Sekarang, Melati Wijaya bukanlah Melati Wijaya yang dulu, tentu saja ia tidak akan termakan oleh gertakannya.
"Anda pikir Anda siapa berani memerintah saya? Sudah saya katakan, kalian bertiga telah menerobos masuk properti pribadi dengan niat jahat. Tidak ada satu pun dari kalian yang bisa lolos!"
Wati Salima yang berdiri di sampingnya gemetar ketakutan mendengar nada bicara Melati yang dingin dan berbisa seperti ular. Ia teringat tamparan yang ia layangkan beberapa hari lalu.
Habislah, Melati Wijaya benar-benar datang untuk balas dendam...
