Bab 11


"Pak Jonathan, ada sesuatu yang bisa saya bantu?" tanya Nancy dengan sopan.

"Kenapa pihak sekolah menonaktifkan bu Mitha. Apa dia melakukan kesalahan-kesalahan yang fatal?" tanya Jonathan langsung dengan wajah dingin.

"Apa? Maksud Pak Jonathan alasan kenapa sekolah mengnonaktifkan sementara Bu Mitha?"

"Hmm..."

"Bukankah itu atas permintaan dari Pak Jonathan dan Bu Grey. Saya tidak berani membantah apa yang Bapak dan Ibu minta," balas Nancy menerangkan.

"Saya tidak pernah menyuruh kamu untuk melakukan perbuatan yang tak terpuji itu! Jangan menjual nama saya!" bentak Jonathan.

"Ma–maaf, Pak. Saya pikir apapun yang Bu Grey minta atas persetujuan dari Bapak," balas Nancy ketakutan.

"Mulai detik ini jangan pernah menuruti apa yang dikatakan oleh Grey! Jika kamu menurutinya, saya tidak segan-segan akan mendepakmu dari sekolah ini!" ancam Jonathan tak main-main.

"Saya minta maaf, Pak. Saya janji tidak akan pernah mengulanginya lagi. Saya salah, saya minta maaf," ucap Nancy ketakutan.

"Hubungi Bu Mitha dan suruh besok dia mengajar lagi!" pinta Jonathan.

"Iya, Pak. Saya akan langsung menghubungi Bu Mitha," jawab Nancy dengan cepat.

Jonathan langsung pergi, ia sengaja meluangkan waktunya yang sibuk untuk mengurus masalah sepele ini. Bisa saja ia menyuruh asisten pribadinya untuk bertemu Nancy, tapi melihat sorot mata Summer yang berbinar-binar saat membicarakan gurunya itu membuat hatinya terenyuh. Baru kali ini ia melihat sorot bahagia di kedua mata anaknya. Jonathan bahagia karena senyum Summer kembali bersinar.


Paramitha dan komunitas pasti hebat sedang ke perusahaan konstruksi yang merupakan salah satu donatur untuk program komunitas mereka. Paramitha diajak oleh Firman dan Gilang untuk menemani mereka. Awalnya ia menolak, tapi keduanya mengatakan butuh anggota perempuan untuk mendampingi.

Ketiganya menunggu hampir lima belas menit, tak lama muncul dua orang menghampiri mereka.

"Mas Tristan!" pekik Paramitha, ia tidak menyangka akan melihat suaminya dan yang membuat ia lebih terkejut adalah sosok perempuan cantik yang bersama Tristan.

"Kamu kenal sama pak Tristan, Mitha?" tanya Firman, ia terkejut karena Mitha memanggil nama Tristan dengan sebutan—Mas.

Paramitha terdiam, ia lebih fokus ke perempuan di sisi Tristan yang melingkarkan lengannya ke lengan suaminya.

"Sayang, kamu dan dia saling kenal?" tanya Karina, ia menatap Tristan dengan mesra.

Tristan menggelengkan kepalanya. "Maaf. Anda mengenal saya? Barangkali saya lupa pernah bertemu Anda di mana?"

Hati Paramitha sakit, hatinya patah. Entah sudah berapa kali hatinya patah karena Tristan, kali ini hatinya hancur karena suaminya itu bermesraan di hadapannya dan pura-pura tak mengenalnya. "Maaf, Pak. Saya beberapa kali bertemu Bapak saat berada di satu acara, mungkin memang Pak Tristan sudah tidak ingat lagi dengan saya," jawabnya tersenyum.

"Saya yang minta maaf ya! Karena saya tidak pandai mengingat orang asing," balas Tristan dengan sengaja.

"Perkenalkan ini anggota baru di komunitas kami, namanya Paramitha. Mitha itu jadi relawan dan mengajar anak-anak jalanan, anak yang putus sekolah. Dan Alhamdulillah saat Mitha gabung, anak-anak semangat belajarnya," ucap Firman mengenalkan Mitha pada Tristan dan Karina.

"Dan ini pak Tristan, beliau adalah salah satu donatur terbesar di komunitas pasti hebat. Alhamdulillah, beliau mau membantu mengembangkan aksi sosial kita. Dan perempuan cantik yang disebelah pak Tristan adalah Bu Karina. Bu Karina pun suka menggalang dana untuk komunitas kita dan calon istri dari pak Tristan," tambah Firman menerangkan.

Calon istri? Apa Paramitha tak salah dengar? Istri dari lelaki yang bernama Tristan ada di depannya saat ini. Kenapa perempuan lain yang disebut sebagai calon istri dari suaminya? Paramitha marah, namun ia tak berdaya. Paramitha hanya bisa memendam amarah dan kecewa di dalam dadanya.

Keduanya sangat mesra dan hal itu membuat api cemburu menyala di hatinya.


"Mitha, mau Akang antar pulang? Rumah Mitha di mana?" tanya Firman menawarkan.

"Enggak usah, Kang. Mitha mau beli sesuatu dulu. Terima kasih tawarannya," balas Paramitha menolak.

"Ya udah, hati-hati di jalan ya!"

"Oke, Kang. Kang Firman sama Kang Gilang juga hati-hati ya!"

Keduanya pergi dan Paramitha pun melangkahkan kakinya entah ia akan pergi ke mana.

Hujan tiba-tiba turun dengan derasnya, Paramitha lupa tidak membawa payung dan ia berlari menuju salah satu halte bus. Ia duduk menyendiri, entah kenapa suasananya sangat sepi. Hujan turun dengan ramai, tapi kenapa hatinya justru kesepian?

Tidak terasa air matanya jatuh, dadanya sakit mengingat kemesraan suaminya dengan perempuan lain. Terlebih lagi Tristan menatap perempuan itu dengan lembut dan penuh cinta, bicaranya pun sangat lembut. Sedangkan padanya, Tristan selalu bersikap kasar dan tak pernah mau menatapnya sedikit pun.

Sakit! Hatinya hancur berkeping-keping.

Paramitha akhirnya menangis dengan kencang, ia sengaja melakukannya karena hatinya sangat sakit. Tanpa ia sadari, ada seseorang yang memperhatikannya, orang itu dari tadi tak berani menyapa Paramitha karena perempuan itu sedang menangis.

Setelah tangisan Paramitha berhenti, orang itu langsung menyapa. "Bu Mitha..."

Paramitha terkejut ada orang yang memanggil namanya. "Pak Jonathan," balasnya dengan lirih.

Jonathan tersenyum. "Bu Mitha mau pulang? Kalau iya, saya antar Ibu. Bagaimana?" tanyanya menawarkan.

Paramitha menggelengkan kepalanya, ia enggan pulang karena sebenarnya ia tak punya tempat yang disebut rumah.

"Bagaimana kalau temani saya untuk makan malam? Di sini juga enggak baik untuk Bu Mitha, apalagi hujan begini daerah sini selalu sepi," ucap Jonathan.

Baru saja Paramitha ingin menolak ajakan Jonathan, tiba-tiba saja perutnya berbunyi dan membuat Jonathan tersenyum menatap perempuan itu. Paramitha akhirnya terpaksa mengikuti ajakan lelaki itu.

Saat Paramitha akan beranjak dari duduknya, Jonathan secara gentle langsung memayungi. Ia merasa tersanjung karena baru kali ini diperlakukan hangat seperti ini.

'Andai kamu seperti ini, Mas. Aku pasti bahagia,' batin Paramitha sendu.


"Ehem... " Jonathan sengaja berdehem agar Paramitha tak tenggelam dalam lamunannya.

"Ada yang ingin Pak Jonathan katakan sama saya?" tanya Paramitha.

"Sudah dapat telepon dari Bu Nancy?"

Paramitha menggelengkan kepalanya. "Memangnya ada urusan apa beliau menelpon saya, Pak?"

"Bu Nancy belum menelepon Ibu sama sekali?" tanya Jonathan sedikit kesal.

Melihat perubahan raut wajah Jonathan membuat Paramitha tersadar bahwa saat ini lelaki itu sedang kesal. "Mungkin karena ponsel saya mati, Pak. Saya lupa enggak bawa charger dan juga dari pagi saya memang belum cek ponsel karena sibuk mengajar dan ketemu sama teman-teman."

"Bu Mitha ngajar di sekolah mana?" tanya Jonathan terkejut.

"Saya tetap mengajar di sekolah Global. Saya hanya ikut membantu komunitas kita hebat untuk ngajarin calistung anak-anak jalanan yang putus sekolah," jawab Paramitha.

"Syukurlah, saya kira Bu Mitha pindah gara-gara masalah kena SP," tukas Jonathan.

"Enggak lah, Pak. Saya tetap ngajar di sekolah. Saya sudah jatuh cinta dengan anak didik saya. Mereka membuat saya lupa jika ada masalah," ucap Paramitha.

"Besok Bu Mitha bisa kembali ke sekolah untuk mengajar," ucap Jonathan.

"Lho, kok bisa? Saya di nonaktifkan selama sebulan, Pak," kata Paramitha terkejut.

"Saya minta maaf atas nama Grey, Bu. Karena dia membuat Bu Mitha jadi kena sanksi. Tapi saya sudah meminta pada Bu Nancy untuk mencabut surat peringatan. Hanya karena dia cemburu membuat orang lain terganggu. Saya benar-benar minta maaf."

Paramitha tersenyum. "Kadang cemburu itu memang membuat kita bersikap kekanak-kanakan dan lupa diri. Apalagi cemburunya perempuan itu unik."

"Bu Mitha kalau cemburu seperti itu juga?" tanya Jonathan penasaran.

Paramitha tersenyum lagi. "Saya kalau cemburu hanya bisa nangis saja, Pak."

Jonathan menebak bahwa perempuan itu tadi menangis di halte bus sendirian karena sedang cemburu.


Bab Sebelumnya
Bab Selanjutnya