Bab 12
"Terima kasih, Pak. Maaf ngerepotin Pak Jonathan hari ini," ucap Paramitha.
"Enggak merepotkan, Bu. Bu Mitha enggak mau saya antar sampai depan rumah?" tawar Jonathan. "Ini kan sudah malam dan Bu Mitha ini seorang perempuan," tambahnya.
"Tidak usah, Pak. Dari gang ini, rumah saya dekat kok. Alhamdulillah di sini selalu aman," balas Paramitha. "Saya pamit pulang ya, Pak. Salam ke Summer." Jonathan menganggukan kepalanya.
"Pak langsung pulang ke rumah," perintah Jonathan pada Dendi, sopir pribadinya. Kening Jonathan mengerut saat tak sengaja tangannya menyentuh sesuatu dan saat ia lihat ternyata benda itu adalah ponsel. "Ini ponsel siapa? Apa punya Bu Mitha?" tanyanya pada diri sendiri. "Mungkin besok pagi saja aku kembalikan padanya sekalian mengantar Summer," tambahnya.
Langkah kaki Paramitha sangat lunglai, ia membuka pintu rumah. Seperti biasa, rumah itu sepi. Tak ada penghuninya, rumah sebesar ini harusnya tumbuh banyak cinta agar terasa hangat dan tak sepi. Namun ingatan kemesraan suaminya dengan perempuan itu membuat luka menganga di hatinya. Tristan memang tak pernah mau melihatnya, seberapa keras usahanya ia meluluhkan hati Tristan, di hati lelaki itu sudah memiliki penghuninya dan ia tidak akan pernah bisa masuk untuk menetap di hati Tristan.
Haruskah ia menyerah? Haruskah ia melepaskan cinta pertamanya itu? Haruskah luka selalu ia dekap karena sikap dingin yang selalu Tristan tunjukan padanya. Jika ia melepas, bagaimana dengan hati dari Santi, ibu mertuanya yang sudah ia anggap sebagai orang tuanya. Tega kah ia menyakiti wanita setulus Santi?
Lampu di ruang tengah menyala dan Paramitha terkejut karena saat ini Tristan sedang duduk dan menatapnya dengan tajam. "Jam berapa ini? Apa kamu selalu pulang larut seperti ini?" tanyanya ketus.
"Setidaknya aku tahu arah pulang meski lambat. Tidak seperti seseorang yang tak tahu arah pulang," jawab Paramitha.
"Kamu menyindirku?"
"Kalau kamu tidak merasa ya itu bukan untuk kamu, Mas," jawab Paramitha.
Tristan tersenyum smirk. "Kamu sudah mulai berani menjawabku sekarang. Apa karena saat ini kamu sudah memiliki lelaki pengganti jika nanti bercerai denganku? Jangan-jangan kamu pulang larut malam karena gencar mendekati para lelaki kaya agar nanti hidupmu akan terjamin dan tidak sengsara lagi?" tanyanya dengan nada sindirian.
Luka di hati Paramitha tak bisa lagi diobati, semua yang Tristan katakan padanya selalu menyakiti hatinya. Lelaki itu tak punya hati, tak punya secuil kasih sayang untuknya. "Kenapa aku enggak bisa? Mas pun melakukan hal yang sama, kan? Jadi aku harus berdiam diri saja, sendirian. Sedangkan Mas Tristan dengan bebasnya memiliki hubungan dengan perempuan lain," balas Paramitha, ia menguatkan hatinya untuk bicara seperti itu.
"Karina adalah calon istriku! Kamu yang merusaknya! Kamu yang menghancurkan mimpi indah kami! Jangan samakan aku dengan kamu yang culas dan munafik! Aku tidak akan pernah sudi meninggalkan kebahagiaanku hanya karena perempuan seperti kamu!"
"Kalau begitu kenapa Mas Tristan tidak pernah meninggalkanku? Mas Tristan boleh mengajukan talak hari ini juga dan setelah kita bercerai, kamu dan kekasihmu itu bisa melanjutkan mimpi yang indah itu!" tantang Paramitha.
Tristan terdiam sejenak, ia merasa ada yang berbeda dari diri Paramitha. "Jika aku bisa, aku akan menceraikanmu setelah akad. Tapi aku tak mau menyakiti hati ibu. Ibu adalah segalanya bagiku. Jika aku menyakitinya dan membuatnya menangis sama saja aku membunuh diriku sendiri," ucapnya dan ia menghela napasnya. "Dan semua kerumitan ini dimulai saat kami mengenalmu, jika Ibu tak mengenalmu mungkin ceritanya akan berbeda."
"Semua yang terjadi bukan karena kehendak manusia. Semua jenis cerita tertulis karena sudah memiliki takdirnya masing-masing. Jika Mas menyalahkanku, maka sama saja Mas menyalahkan takdir yang sudah Tuhan rancang," tukas Paramitha. "Aku lelah, lebih baik Mas pun tidur dengan nyenyak, agar mimpi Mas tak lagi buruk karena kehadiranku," ucap Paramitha, ia pergi begitu saja meninggalkan Tristan yang masih mematung.
Tristan masih saja duduk seorang diri, ia tak tahu kenapa ada satu titik di hatinya merasa tak rela melihat perubahan sikap dari Paramitha. Ada apa dengannya? Harusnya ia senang karena pada akhirnya Paramitha mulai lelah untuk mengejarnya dan ia bisa cepat menikah dengan Karina, kekasih hatinya.
"Bu Mitha!!!"
Paramitha yang sedang berjalan menuju gerbang sekolah langsung memutar tubuhnya dan tersenyum saat melihat gadis kecil yang sedang berlari kecil ke arahnya.
"Jangan lari-larian, Summer. Nanti takut jatuh," ucap Paramitha tersenyum.
Summer langsung memeluk Paramitha dengan erat membuat Paramitha terkejut mendapatkan sebuah pelukan hangat dari Summer.
"Bu, akhirnya Bu Mitha kembali lagi ke sekolah. Ternyata Daddy enggak bohong," ucap Summer dengan haru.
Paramitha tersenyum dan ia mengusap rambut Summer lembut. "Ibu tidak akan pernah mau meninggalkan sekolah ini, di sini rumah kedua bagi Ibu. Apalagi ada anak semanis dan sebaik Summer, mana mau Ibu pergi," balasnya lembut.
"Janji ya sama Summer kalau Ibu jangan bolos ngajar lagi," pinta Summer.
Paramitha menganggukan kepalanya. "Summer juga janji sama Ibu ya! Summer harus rajin sekolah dan nurut apa yang dikatakan sama Daddy."
"Itu beres, Bu. Summer pasti nurut sama Daddy, asal Daddy enggak banyak bohong,"tukas Summer dengan ekspresi yang menggemaskan.
"Daddy kapan bohong sama Summer?" Jonathan langsung menghampiri keduanya dan Paramitha hanya memberi senyuman untuk menyapanya.
"Daddy banyak bohong. Seringnya di luar rumah," balas Summer dengam ketus.
"Daddy itu lelaki, lelaki ya harus kerja," timpal Jonathan.
"Tapi Mang Udin sama Pak Dandy kenapa mereka di rumah? Kan mereka juga lelaki," ucap Summer.
Jonathan hanya tersenyum mendapatkan pertanyaan dari anak gadis satu-satunya itu. Jonathan melihat arloji di tangan kanannya, waktunya sedikit terlambat dan ia harus bergegas menuju perusahaan karena pagi ini ada meeting. "Daddy mau ke kantor ya! Summer nurut sama Bu Mitha dan jangan ngebantah," ucapnya pada Summer.
"Pasti dong! Summer kan anak kesayangannya Bu Mitha," balas Summer dengan bangganya.
"Bu Mitha, ini semalam ponselnya ketinggalan di mobil," kata Jonathan.
"Astaghfirullah, Pak. Saya pikir ponsel saya hilang atau ketinggalan di tempat ngajar. Ternyata ketinggalan di mobil Pak Jonathan," seru Paramitha. "Terima kasih, Pak!"
"Sama-sama," balas Jonathan sambil menyerahkan ponsel ke tangan Paramitha. "Saya titip Summer ya, Bu."
"Iya, Pak. Tanpa Pak Jonathan minta pun, saya pasti menjaga anak didik saya," ucap Paramitha dengan tulus.
Sore ini Paramitha dan Asih mengajar untuk anak-anak kurang mampu di salah satu daerah pinggiran. Paramitha memang sengaja membunuh kesedihannya dengan kesibukan. Paramitha tidak ingin ia larut dalam luka. Apalagi sejak tahu kalau Tristan malah bermesraan dengan perempuan lain, ia merasa tercurangi.
"Nanti ada pak Tristan sama calon istrinya. Kamu sudah kenalan sama mereka, kan?" tanya Asih.
Paramitha terkejut karena Asih menyebutkan kedua nama yang tak ingin ia dengar saat ini. "Untuk apa mereka datang ke sini?"
"Entahlah. Tadi katanya Bu Karina mendadak ingin melihat proses belajar anak-anak," jawab Asih. "Biasanya jarang banget dia mau datang ke lokasi. Alhamdulillah kalau mereka mau lihat dan bisa tahu kegiatan dari komunitas pasti hebat."
"Teh, Mitha mau tanya kalau mereka sudah lama pacaran? Maksudnya pak Tristan dan Bu Karina." Paramitha bertanya senga hati-hati.
"Teteh juga enggak tahu sih. Tapi setiap pak Tristan datang selalu membawa bu Karina bersamanya dan selalu dikenalkan sebagai calon istrinya. Bu Karina itu salah satu dokter umum di rumah sakit swasta di Bandung dan juga seorang selebgram. Pantas saja kan pak Tristan begitu menggilai Bu Karina karena memang sempurna banget sosoknya," tutur Asih. "Kadang Teteh iri sama dia, dia kok bisa ya sempurna begitu. Enggak ada cacat sama sekali," tambahnya.
Paramitha tersenyum, perempuan itu memang sempurna dan mungkin alasan terkuat Tristan tak melepaskannya karena Karina bagai permata indah baginya, sedangkan dirinya sesuatu yang tak berharga sama sekali di mata Tristan.
Paramitha mulai lelah...
