Bab 3
"Selamat pagi, Bu," sapa Tristan, ia mencium kening Santy.
“Kamu itu kenapa baru bangun siang begini?” tanya Santy kesal.
“Malam aku lelah, Bu. Lagian kemarin malam tidurku nyenyak karena ada Mitha yang terus memelukku,” jawab Tristan, ia menatap Paramitha kagum dan menautkan jemarinya di sela-sela jemari istrinya. Paramitha hanya tersenyum samar, malu-malu. Tapi hatinya merasakan sesak luar biasa.
Melihat pengantin baru yang sedang saling menatap mesra, Santy dan juga yang lainnya langsung menggoda habis-habisan. Tak ayal para jomlo di sana menjerit menyaksikan aksi romantis bak drama Korea yang terjadi secara ‘Live.’
“Sepertinya kalian harus segera pergi bulan madu, biar bisa lahir Tristan atau Paramitha junior,” timpal Pram, adiknya Santy.
“Benar, biar rumah makin ramai pas nanti lebaran sudah gendong cucu. Bude enggak sabar gendong cucu dari kalian,” tambah Naniek, istri Pram.
“Iya, mereka harus bulan madu. Apalagi nanti Tristan sudah sibuk lagi dengan setumpuk pekerjaan di perusahaan. Makanya Ibu mau kasih kalian hadiah bulan madu,” sahut Santy. Lalu, ia menatap Paramitha dengan bahagia, “Mitha, kamu mau pergi bulan madu ke mana?”
“Kalau Mitha tergantung mas Tristan saja, Bu. Ke mana saja tak masalah asal berdua,” jawab Paramitha malu-malu.
“Ciee… pengantin baru, auranya memang beda yah, maunya berdua saja. enggak mau pisah,” goda Naniek.
“Gimana, Nak? Mau bulan madu ke mana kalian?” tanya Santy.
“Bulan madunya ditunda dulu, Bu. Tristan mau langsung boyong Mitha ke Bandung saja. Di sana kan sedang berjalan proyek baru. Tristan enggak mau bolak-balik Bandung-Jakarta. Lebih bagusnya Mitha ikut dulu di sana sama Tristan,” jawab Tristan.
“Lho kenapa ditunda?” Masa kamu mau mengorbankan bulan madu demi kerjaanmu? Kasihan Mitha, Nak. Ibu pokoknya enggak suka kalau kamu malah cepat balik kerja! Urusan perusahaan biar sama Mbak Gladys saja."
“Mitha juga kan mau ngajar di tempat baru, Bu. Kalau masalah bulan madu, di Bandung juga banyak tempat yang romantis. Enggak perlu jauh-jauh pergi ke luar kota atau luar negeri, kalau banyak tempat romantis di sana.”
“Ini kan beda! Bulan madu itu yah harus spesial, kalian juga enggak tiap hari bulan madu,” geram Santy. "Bulan madu itu cuma sekali lho. Nanti kalau kalian sudah punya anak mana ada waktu untuk pergi berduaan. Repot kalau ada anak."
“Kerjaan Tristan banyak, Bu. Banyak dokumen yang harus selesai agar proyek baru bisa lancar. Kalau masalah bulan madu bisa kapan saja,” tukas Tristan.
“Kamu! Bisa tidak kamu nurut Ibu?” Suara Santy mulai meninggi.
Melihat ibu mertuanya yang kesal, Paramitha langsung membalasnya. “Bu, benar kata Mas Tristan, di Bandung pun banyak tempat yang romantis. Mitha juga enggak sabar untuk ngajar di sana. Lagian, moment bersama mas Tristan itu lebih manis, dari sekedar hanya bulan madu,” timpal Paramitha.
Santy tersenyum. “Kamu itu memang sangat pengertian, beruntung Tristan memiliki kamu jadi istrinya,” pujinya tersenyum.
Mereka sudah berada dalam kamar, Tristan berubah seratus delapan puluh derajat. Tidak ada lagi tatapan mesra, tutur kata lembut untuk Paramitha. Di dalam kamar yang hanya ada mereka berdua saja, lelaki itu berubah dingin dan juga menatap istrinya itu dengan benci. “Besok malam, kita akan ke Bandung. Dan ingat di sana, kita tidur pisah kamar. Aku tidak akan ikut campur dengan urusanmu, begitu pun kamu! Kamu jangan sesekali ikut campur dan sok mengaturku di sana! Anggap saja kita tinggal satu atap untuk tempat tinggal saja.” Tristan memulai bicara.
Paramitha tersenyum. “Tapi, kita ini sudah sah, Mas. Apapun yang Mas lakukan, aku berhak tahu. Aku tidak mau hanya pura-pura menutup mata kalau ada masalah denganmu nanti, jangan sampai sikap Mas membuat keluarga kita terluka. Jangan egois!”
“Kamu atau aku yang terluka?” tanya Tristan dengan geram. “Aku tahu kamu sengaja sok baik dan perhatian padaku di hadapan keluargaku karena ingin mereka memuji dirimu dan menyanjungku adslah menantu terbaik dari keluarga besar Oliver! Kamu haus perhatian dan kamu memasang topeng di hadapan keluargaku! Munafik! Aku tahu kamu niat menikah denganku hanya untuk status sosialmu!"
“Mas juga munafik, kan? Di depan keluarga besar, Mas menunjukan kasih sayang padaku, Mas berpura-pura menjadi suami yang penuh perhatian. Jadi, apa bedanya Mas denganku?” tanya Paramitha dengan berani. Ia tak mau lagi dihina oleh lelaki itu.
“Tujuanmu apa sebenarnya datang mengacau dalam hidupku? Apa kamu ingin harta kami dan hidupmu berubah jadi lebih baik? Apa kamu ingin dipuji oleh orang-orang kalau kamu berhasil menjadi menantu ibu?”
“Tujuanku menikah bukan itu semua, aku menikah karena itu ibadah dan aku ingin menyempurnakan ibadahku dengan menikah. Dan aku tidak ingin main-main dengan pernikahan kita, Mas! Jangan sampai Mas mempermainkan janji di hadapan Tuhan dan menodainya dengan kebohongan,” jawab Paramitha.
Tristan tersenyu miring, ia tidak percaya lagi dengan apa yang dikatakan oleh perempuan yang saat ini statusnya adalah istri sah darinya. “Kamu yang memulai pernikahan ini dengan kebohongan. Kamu harus ingat, statusmu memang istriku, tapi di hatiku kamu tak layak!” ketus Tristan, ia menatap netra Paramitha dengan penuh kebencian.
"Kita sama-sama manusia, Mas. Di mata Tuhan kita sama. Hati Mas juga milik Tuhan. Bisa saja kelak Mas jatuh cinta padaku," ucap Paramitha.
"Jangan pernah bermimpi!" Mimpi itu menyakitkan!" Balas Tristan.
Karina sedang menanti telepon dari kekasihnya, Tristan. Lelaki itu berjanji akan menghubunginya. Karina merasa dirinya sudah berada di persimpangan. Akhirnya, ia menerima Tristan kembali karena lelaki itu menangis di hadapannya dan bersimpuh di kakinya. Tristan berjanji akan menceraikan perempuan itu dan menikah dengannya. Awalnya ia tidak mau, tapi rasa cintanya yang begitu besar membuat ia mau menunggu waktu yang telah direncanakan oleh Tristan.
“Belum tidur?” tanya Ailee, sahabat karibnya.
“Lagi nunggu telepon dari Tristan.”
“Dia sudah balik ke Jakarta?” tanya Ailee.
“Sudah. Dan besok malam mau balik ke Bandung lagi.”
“Karin…” panggil Ailee. “Kamu kenapa tetap bertahan dengan Tristan? Dia sudah menikah sekarang,” ujar Ailee.
“Karena kita saling mencintai. Aku bertahan karena perempuan yang sekarang jadi istri Tristan pun sama, tidak mencintainya,” jawab Karina.
“Kamu percaya?”
Karina mengangguk. “Karena Tristan tak pernah bohong padaku.”
“Kamu tidak takut dengan karma?” tanya Ailee
“Aku tidak menyakiti siapapun, mereka menikah karena keinginan ibunya Tristan, bukan murni mereka saling mencintai,” tukas Karina membela diri.
“Bukan karena hal itu. Karma karena kalian mempermainkan janji suci pernikahan. Apa kamu tidak takut?” Ailee sekali lagi bertanya.
Karina terpaku, jauh dilubuk hatinya pun ia takut. Tapi, bisakah ia melepas Tristan? Lelaki yang selama ini sangat ia cintai?
