Bab 4


Pagi ini Paramitha terbangun lebih awal. Ia ingat kalau hari ini suaminya harus pergi ke perusahaan karena Tristan adalah CEO dari perusahaan konstruksi di Jakarta. Tristan terkenal sebagai CEO termuda yang sangat berprestasi dan juga disiplin untuk itu suaminya harus berangkat lebih pagi.

Hari ini adalah hari pertama ia di Bandung dan satu atap dengan Tristan. Meski ia dan Tristan harus tidur di kamar berbeda. Paramitha tak masalah, ia yakin butuh waktu untuk membuat Tristan bisa jatuh cinta padanya dan mengakuinya sebagai istri sah untuk lelaki itu.

Paramitha langsung ke dapur dan menyiapkan segalanya, ia ingat kalau Tristan sangat suka kopi robusta tanpa gula, ia langsung mencarinya dan tersenyum saat kopi yang dicarinya ada.

Setengah jam berlalu, Paramitha menyiapkan semuanya di atas meja makan. Ia berharap Tristan semangat untuk bekerja di pagi ini. Paramitha tersenyum dengan apa yang ia lakukan pagi ini, pagi ini adalah pagi yang berbeda. Pagi yang dulu ia idamkan saat kelak ia menjadi seorang istri.

Tristan ke luar dengan wajah rupawan dan tubuh yang atletisnya itu, tentu saja membuat perempuan mana pun akan terpikat, apalagi Paramitha, ia sempat terpaku melihat betapa indahnya ciptaan Tuhan itu. “Kamu kenapa pagi ini melamun?” tanya Tristan, membuyarkan lamunan Paramitha.

“Enggak melamun, Mas. Ini aku sudah siapin sarapan sama kopi buat kamu,” balas Paramitha.

“Aku harus buru-buru ke perusahaan. Jadi makan di sana saja,” ucap Tristan. “Kamu kalau nanti mau pergi ngajar, bawa saja kuncinya. Aku sudah punya kunci dan jangan kirim pesan ataupun telepon, kalau tidak benar-benar darurat!”

“Tapi, nanti Mas Tristan pulang, kan?” tanya Paramitha.

“Aku tidak tahu. Aku tidak pulang pun tidak masalah. Rumah ini bukankah sudah sangat layak untuk kamu tempati? Daripada rumahmu dulu, kan?” sindir Tristan, ia pergi begitu saja. hatinya begitu dingin tak peduli bagaimana hati Paramitha bisa terluka karena ucapannya.

Paramitha menghela napas panjang, ia mengelus dadanya agar bisa sabar mendengar setiap sindiran yang diucapkan Tristan padanya. “Lebih baik, aku makan sendiri saja, sisanya biar kubawa ke sekolah,” gumamnya pada diri sendiri.


Hari ini adalah hari pertama Paramitha mengajar di sekolah baru, ia bisa mengajar karena ibu mertuanya merekomendasikan dirinya dan pihak sekolah memang sedang membutuhkan seorang guru untuk menjadi wali murid untuk kelas tiga SD. Meski gaji yang ditawarkan tidak sebesar saat ia ngajar di Jakarta, ia merasa sudah lebih dari cukup. Karena saat ini ia tidak perlu mengeluarkan uang untuk biaya kos dan lain-lain.

“Bu Mitha yah?” tanya seorang perempuan cantik berjilbab coklat.

“Iya, Bu.”

“Saya Asih, Bu. Saya juga ngajar di sini. Saya wali murid untuk kelas empat,” ucap Asih mengulurkan tangannya.

“Saya Mitha, Bu. Saya guru baru di sini.”

Asih cekikikan.”Saya tahu nama Ibu. Eh, Bu… sepertinya masih muda yah? Berapa usianya kalau boleh tahu? Kalau Saya baru dua puluh empat tahun,” ungkapnya menjelaskan.

“Berarti kita seumuran, Bu. Senang akhirnya bisa kenalan sama Ibu,” balas Paramitha antusias.

“Kalau begitu… karena kita seumuran, kalau hanya berdua saja jangan menggunakan bahasa formal, biar enggak canggung,” usul Asih.

“Boleh. Ide yang bagus tuh,” timpal Paramitha.

Tak lama para guru masuk ke ruangan dan Paramitha tentu saja sedikit canggung karena para guru itu melihat ke arahnya, mungkin mereka terkejut karena ada orang asing yang duduk diantara mereka.

“Duh, ini ada guru baru. Geulis pisan euy!” seru lelaki yang rambutnya sudah menipis.

Paramitha hanya menganggukan kepala dan tersenyum malu-malu. Melihat Paramitha yang malu membuat Asih berinisiatif untuk mengenalkannya pada rekan guru lainnya. “Ini namanya bu Paramitha, bisa kita panggil bu Mitha saja. Bu Mitha ini guru baru, dia nanti jadi wali murid untuk kelas tiga menggantikan bu Nining.”

“Namanya secantik wajahnya yah,” puji lelaki berambut tipis itu. “Saya Wawan, Bu. Saya guru olah raga di sini,” ucapnya memperkenalkan diri.

Paramitha tersenyum, ia akhirnya mengetahui nama-nama rekan guru yang lainnya. Gugupnya menjadi hilang karena ia disambut dengan hangat. Paramitha merasa harinya di sekolah tidak akan membosankan, ia pun tersenyum tak sabar untuk berkenalan dengan murid-muridnya.


Setelah rapat dengan para karyawannya, perut Tristan berbunyi yang artinya ia sudah lapar karena dari pagi ia hanya minum segelas air putih. Baru saja ke luar dari ruangannya, ada seseorang yang sangat ia kenali memanggil namanya dengan mesra.

“Sayang…” Karina langsung bergelayut manja pada lelaki itu.

“Lho kok bisa ke sini?” tanya Tristan terkejut, ia tidak tahu kalau Karina sudah datang ke kantornya.

“Kangen soalnya, aku tadi izin sebentar karena mau kasih kamu ini,” ucap Karina, ia menyerahkan kotak bekal nasi pada Tristan.

“Kamu bikin ini lagi? Memangnya sempat?” tanya Tristan.

Karina terkekeh. “Buat kamu harus sempat lah, kan aku tahu kalau sudah kembali ke Bandung dan ada rapat. Pasti datang ke kantor pagi sekali dan kamu tidak pernah makan sama sekali kalau sudah sangat sibuk.”

“Kamu memang selalu pengertian, makin cinta sama kamu deh,” timpal Tristan.

“Kalau begitu, nanti malam kamu ada jadwal free?” tanya Karina.

“Iya, ada. Kenapa? Kamu mau makan malam ke mana?”

“Bukan untuk makan malam. Tapi, aku mau ajak kamu ke pesta pernikahannya Aya. Kamu mau?”

Tristan mengangguk. “Aku selalu mau, kapan coba aku nolak permintaanmu,” balasnya sambil menatap gemas Karina.

“Tapi…”

“Tapi, apa?”

“Istrimu bagaimana? Dia nanti mengizinkanmu pergi denganku enggak?” tanya Karina dengan hati-hati.

“Tidak meminta izin padanya pun tak masalah. Kamu juga tahu kan kalau aku dan Mitha itu hanya status di atas kertas. Kita di sini hidup masing-masing dan tidak ikut campur dengan urusan masing-masing juga. Jadi, tidak masalah,” jawab Tristan.

“Tapi, kamu tetap harus bilang sama dia, Tristan. Bagaimana pun dia istrimu,” kata Karina.

“Sayang… aku tidak wajib memberitahukan semua yang kulakukan padanya. Kita juga sudah sepakat kok, kalau kita bersikap layaknya suami istri hanya di hadapan keluarga besar saja. Kamu juga tahu kan kalau aku tidak menginginkan pernikahan ini?”

Karina mengangguk. “Tapi, aku merasa bersalah padanya, Tris. Aku merasa jadi perempuan kedua yang hadir di rumah tangga kalian. Aku harus bagaimana?” lirihnya bertanya.

Tristan menggelengkan kepalanya. “Kamu bukan perempuan kedua, justru kamu lah perempuan pertama dan selamanya, aku tidak pernah mau menganggap Mitha sebagai perempuan yang pernah hadir di hidupku. Kamu sabar ya! Jika waktunya sudah tepat, aku dan Mitha pasti akan bercerai dan saat itu aku akan segera menikahimu,” janjinya.

“Waktunya kapan? Masih lama, kan? Aku butuh kepastian juga, aku tidak suka hubungan yang tidak jelas seperti ini,” lirih Karina pedih.

“Secepatnya! Aku janji akan segera bercerai dengan Mitha.” Tristan berkata dengan tegas.

"Aku tunggu janjimu, Tristan. Kamu sendiri juga tahu kalau aku sangat mencintaimu," ucap Karina.

"Aku pun sama. Hanya kamu satu-satunya perempuan yang ingin kupanggil dengan sebutan istri," balas Tristan memeluk Karina erat.


Bab Sebelumnya
Bab Selanjutnya