Bab 5
Paramitha menunggu Tristan di depan rumah, waktu sudah menunjukkan jam sepuluh malam. Suaminya itu belum juga pulang, ia gelisah karena sudah semalam ini tidak ada kabar apapun dari lelaki itu.
[Mas... Pulang jam berapa? Aku sudah masak untuk makan malam, aku tunggu.]
Pesan terkirim.
Paramitha tahu bahwa Tristan tidak suka kalau dirinya ikut campur. Tapi, ia tidak ingin begitu saja mengabaikan suaminya, bagaimana pun Tristan adalah suaminya, lelaki yang telah hatinya jatuhkan, selamanya.
Tristan adalah ladang pahala dan sumber surga. Ia tidak mau mempermainkan pernikahan. Meski Tristan membencinya luar biasa, ia yakin kelak Tuhan akan melembutkan hati lelaki itu dan berbalik mencintainya. Paramitha hanya perlu bersabar dan berdoa karena yakin Tuhan tidak pernah memberikan luka yang terlalu pedih bagi hamba-Nya yang bersabar.
Paramitha langsung menonton tayangan televisi untuk membunuh rasa cemasnya. Sekali lagi ia melihat jarum jam di dingding. "Cepat pulang, Mas...," gumamnya cemas.
Tristan dan Karina sedang berbicara dengan teman-temannya di sebuah cafe, setelah mereka menghadiri pernikahan temannya Karina. Tristan memutuskan untuk menghabiskan waktu bersama kekasihnya itu. Tak lupa, teman-teman Karina pun ikut bersama pasangannya masing-masing.
"Kalian kapan ke pelaminan? Sudah waktunya lho, apalagi sih yang ditunggu?" tanya Anna
"Menikah itu harus matang lah persiapannya, jangan asal. Kan sekali seumur hidup," sahut Karina.
"Serahkan saja sama wedding organizer, kalian tidak perlu capek-capek. " Anna memberi saran, lalu ia beralih menatap Tristan, "Ajak Karina nikah, dia itu sangat populer di kalangan para pebisnis muda dan para aktor ternama.Banyak banget lho yang kepincut sama kekasihmu ini, jangan sampai ditikung sama lelaki lain, nanti kamu nyesel."
"Aku akan segera mengikatnya dan aku tidak akan membiarkan lelaki manapun untuk menikungku," sahut Tristan."Benar kan, sayang?" tanyanya pada Karina.
"Iya, kamu tenang saja. Aku tidak akan pernah tertarik pada lelaki mana pun! Kenapa aku harus melihat mereka, kalau di sisiku ada lelaki tampan yang menawan," balas Karina sambil menatap mesra Tristan.
"Gawat nih! Harus segera naik ke pelaminan," ujar Aldo.
"Benar, kalian terlalu manis dan sayang kalau hanya pacaran saja. Masa pacaran iya, nikah kagak," timpal Jeje.
"Eh, kamu sekarang katanya enggak tinggal di sebelah apartemen Karina lagi ya? Kamu pindah ke mana? Kapan-kapan mau dong mampir ke rumah barumu," pinta Anna.
"Aku pindah ke rumah saudaraku, enggak enak kalau ajak kalian ke sana. Kalau mau kumpul di tempat Karina saja," balas Tristan.
"What? Sejak kapan seorang Tristan Oliver betah tinggal dengan orang lain? Kamu dulu satu kamar denganku saja risih," ucap Aldo merasa kaget.
"Gimana lagi, saudaraku tinggal sendirian. Dan aku jarang pulang ini."
"Sekarang kamu tidur di mana?" tanya Jeje.
"Pulang saja, paling saudaraku sudah tidur jam segini. Aku juga pegang kunci," jawab Tristan. Tristan memang malas harus bertemu dengan Paramitha setiap hari, ia muak melihat wajah sok polos seperti yang selalu perempuan itu tunjukkan padanya dan keluarganya. Hanya saja ia tidak mau ibunya curiga kalau ia tidak pernah menginginkan Paramitha jadi istrinya.
Setelah dua jam lebih mereka ngobrol di cafe, Tristan mengantar pulang Karina ke apartemennya. Mereka sudah berada di depan pintu apartemen milik Karina. "Mampir dulu ya!" ajak Karina.
"Aku pulang saja, besok lagi mampir ke sini."
Karina cemberut. "Biasanya juga kamu suka mampir, kenapa sekarang nolak?" tanyanya. "Oh... Sekarang aku paham, kamu mau pulang karena di rumah ada istri yang menunggu."
Tristan menggeleng kepalanya. "Bukan karena itu, sayang... Aku pulang karena badan enggak enak lengket."
"Biasanya juga kamu mandi di sini! Alasan saja! Beda yah, sekarang sudah ada istri. Aku diabaikan," sindir Karina.
"Aku enggak mengabaikanmu. Hanya saja malam ini aku lelah dan tadi banyak kerjaan di kantor yang harus kuselesaikan dengan cepat," terang Tristan.
"Ya sudah, kamu pulang saja! Aku itu ibarat kekasih bayanganmu! Kamu lari ke aku kalau kamu mau saja!" Karina meninggikan volume suaranya.
"Oke! Malam ini aku tidur di sini," jawab Tristan dan senyum mengembang di kedua sudut bibir Karina dan ia memeluk kekasihnya sangat erat. "Terima kasih, sayang. Kamu selalu membuatku merasa sangat istimewa," bisiknya lembut.
"Karena kamu berharga, cantik," balas Tristan menatap dengan mesra. Keduanya akhirnya larut dalam kecupan lembut yang menyatukan kedua bibir mereka.
Jam menunjukan jam dua dini hari. Paramitha masih menunggu kedatangan Tristan. Lelaki itu sulit untuk dihubungi, entah sudah berapa pesan ia kirimkan, tapi pesannya pending. Paramitha menghela napas panjang, ia khawatir dengan Tristan. "Mas... Kamu kenapa belum saja sampai rumah? Semoga Allah melindungimu, Mas. Aku khawatir," gumam Paramitha.
Paramitha mungkin agak bodoh karena menunggu lelaki yang membencinya dan tak pernah menganggapnya sama sekali. Paramitha melakukan semuanya hanya karena ia sudah berjanji saat telah sah menjadi istri dari Tristan, ia akan menjalankan tugasnya sebagai seorang istri, ia tak mau lalai dan mengingkari janji pada Allah.
Dan di lubuk hatinya, ia yakin kalau Tristan akan berubah dan berbalik mencintainya juga.
Sedangkan di apartemen Karina, saat ini Tristan sedang tertidur di samping gadis itu. Ia terbangun karena tenggorokannya terasa kering. Dengan hati-hati ia mengangkat kepala Karina yang berada diatas lengannya. Baru saja ia mau turun dari ranjang, tangannya dipegang erat oleh Karina. "Jangan pulang!" pinta Karina dengan suara serak.
"Aku mau ambil minum, sayang. Aku tidak akan pulang," jawab Tristan tersenyum.
"Awas kalau pulang! Besok jangan harap ada senyum yang terlihat di wajahku untukmu!" ancam Karina.
Tristan mengangguk, ia melepaskan cengkraman tangan Karina yang sedikit mencakarnya. Setelah ia meneguk segelas air putih, matanya tak bisa memejam lagi. Tristan langsung mencari gawainya dan terkejut karena banyak pesan masuk dari orang yang sama. Tristan membacanya dan ia hanya menggelengkan kepalanya, ia heran kenapa perempuan itu tak punya malu dan terus saja mencoba menarik perhatian darinya. "Meski ribuan pesan yang kamu kirim, aku takkan sudi untuk melihatmu sedetik pun!" umpatnya kesal.
"Ada apa, sayangku?" tanya Karina, ia langsung memeluk Tristan dari belakang.
"Kenapa malah ikut bangun? Tidur lagi, sayang... Besok kamu kan harus berangkat pagi-pagi," balas Tristan.
"Aku nungguin kamu tidur di sampingku, ternyata kamu malah lihat ponsel di balkon. Ayo, siapa yang kirim pesan malam-malam sama kamu? Pasti yang kirim pesan itu perempuan!" Karina berkata dengan nada cemburu.
"Bukan orang penting, aku tak peduli!"
Karina langsung melepaskan pelukannya dan mengambil gawai milik Tristan dan membaca banyak pesan dari nomor yang sama. "Nomor siapa ini?" tanyanya menatap Tristan curiga.
"Bukan orang yang penting," jawab Tristan singkat.
"Bohong! Buktinya, dia kirim pesan banyak dan bertanya kamu pulang jam berapa dan bilang juga sudah masak untukmu. Kamu selingkuh dariku?" Karina terus saja menatap Tristan, ia ingin lelaki itu jujur padanya.
"Dia bukan orang yang berarti untukku, Karina... Aku juga tidak membalas pesan darinya," jawab Tristan.
Karina tertawa sinis. "Siapa perempuan ini? Dia seorang selebriti? Apa dia pramugari atau model? Katakan, siapa dia! Kenapa kamu harus bermain dengan perempuan lain, Ha! Apa kurangku? Aku sudah memberimu segalanya, bahkan tubuhku!" teriak Karina dengan penuh amarah.
Tristan langsung mengenggam tangan Karina, gadis itu ingin menepisnya dan Tristan tak melepaskannya, ia menggenggam tangan Karina erat. "Aku tak pernah selingkuh! Tidak ada gadis mana pun yang bisa menggantikanmu di hatiku. Kamu harus percaya padaku!" ujar Tristan dengan tegas. "Paramitha yang mengirim pesan ini, nomornya tidak aku save karena aku menganggap dia tak penting dan juga orang asing. Kalau kamu tak percaya, kamu bisa baca semua pesan dari dia dari awal, baca saja!"
Karina menatap Tristan dengan sayu. "Apa benar kalau ini nomornya?"
Tristan mengangguk. "Aku tak pernah menyembunyikan apapun darimu, termasuk saat aku terpaksa harus menikah dengannya karena permintaan ibu. Semua isi hatiku, bukan kah kamu tahu segalanya?"
Karina terisak, ia memeluk tubuh Tristan dengan erat. "Aku takut, Tris... Aku takut kamu meninggalkanku, aku takut kamu jatuh cinta pada gadis lain dan juga aku takut kamu jatuh cinta padanya karena kamu dan dia tinggal satu atap," ucapnya dengan suara bergetar.
"Aku takkan pernah jatuh cinta padanya, aku bahkan hanya akan menyisakan ruang benci untuknya. Aku takkan pernah selingkuh karena hanya kamu pemilik diriku, utuh," tukas Tristan dengan jelas.
"Aku pegang janjimu, jika kelak kamu ingkar... Aku akan menghancurkan hidup perempuan yang telah merebutmu dariku," ancam Karina dengan sungguh-sungguh.
