Bab 6


"Mas baru pulang jam segini?" tanya Paramitha. Ia melihat jam dinding menunjukkan jam tujuh pagi.

"Hmm..." Tristan hanya menjawab seadanya, ia langsung masuk ke kamarnya tanpa melihat Paramitha sama sekali.

"Mas tunggu!"

"Ada apa lagi? Aku mau buru-buru pergi ke kantor," balas Tristan. Kali ini ia melihat ke arah Paramitha yang masih mengenakan baju tidurnya. Apa dia hari ini tidak mengajar? Pikir Tristan, ia langsung mengeyahkan pikirannya itu untuk tidak peduli dengan apa yang dilakukan oleh Paramitha.

"Mas belum menjawabku! Mas habis dari mana? Kenapa baru pulang sepagi ini? Mas enggak memberi kabar padaku dari semalam. Aku nungguin kamu, Mas dan sampai tertidur di sofa," jawab Paramitha menjelaskan.

"Wow!" seru Tristan. "Kamu menungguku semalaman? Untuk apa? Untuk menarik perhatian dariku?" tanyanya menatap netra Paramitha kesal.

"Aku istrimu, Mas. Wajar saja kalau aku menunggu kepulanganmu. Apa salah kalau seorang istri mengkhawatirkan suaminya yang tidak memberi kabar sama sekali? Justru aneh kalau istri bersikap acuh saat suami belum juga pulang ke rumah."

Tristan tertawa, ia sampai menggelengkan kepalanya karena mendengar ucapan konyol dari Paramitha. "Kamu hanya istri sementara yang sebentar lagi akan kucerai! Bukan kah kamu sudah sepakat kalau kita menjalani pernikahan untuk sementara? Jadi, jangan pernah berlaku seperti seorang istri sungguhan, kamu bukan perempuan yang kuharapkan sama sekali. Jangan pernah membuatku tambah muak denganmu. Jangan pernah pura-pura sok suci di depanku!"

"Mas masih mengharapkan pernikahan kita berakhir?" tanya Paramitha dengan sendu.

"Tentu saja! Dan perceraian kita adalah harapanku yang paling besar saat ini," balas Tristan.

"Kalau aku menolak untuk bercerai bagaimana? Mas masih mau mengancamku?" Paramitha bertanya dengan lirih.

"Ya! Aku bahkan sanggup membuat hidupmu dan orang-orang disekitarmu hancur, kalau perlu panti asuhan Kasih Bunda akan aku lenyapkan!"

"Mas kenapa kamu enggak punya hati begini? Mas mau merusak panti asuhan Kasih Bunda, panti asuhan itu tumbuh dengan cinta di dalamnya, di sana banyak anak terbuang dan tak lagi mempunyai orang tua! Di mana hati nuranimu, Mas!"

"Hati nuraniku hilang semenjak aku menikah denganmu! Jangan pernah main-main denganku, Mitha. Jika kamu menolak perjanjian pernikahan kita, aku tidak akan segan-segan merusak panti asuhan itu untuk yang pertama. Ingat! Menurut lah padaku, maka aku akan sedikit berbaik hati padamu," ucap Tristan dengan senyum yang sinis. Tristan langsung pergi meninggalkan Paramitha yang masih terdiam dan menangis.

"Kamu kenapa berubah jadi iblis begini, Mas! Padahal dulu kamu adalah malaikat, bahkan bagi panti asuhan Kasih Bunda. Kamu adalah malaikat bagi kami. Kenapa kamu jadi begini," ucap Paramitha dengan suara yang bergetar.


Paramitha duduk di kantin sekolah sendirian pada jam istirahat yang sedang berlangsung. Ia tak sempat makan pagi karena buru-buru menuju sekolah tempatnya mengajar. Paramitha tidak ingin terlambat agar bisa jadi contoh bagi para muridnya.

"Bu Mitha makan di sini ternyata," ucap Asih, ia langsung duduk depan Paramitha. "Bi Entin, soto ayamnya satu ya!" teriaknya pada penjaga kantin. "Bu, tahu enggak barusan lagi heboh!"

"Heboh kenapa?" tanya Paramitha, ia masih mengunyah makanannya.

"Ada duren! Gantengnya Ya Allah bikin aku pingin selingkuh sejenak," balas Asih sambil cekikikan.

"Lho kok mau selingkuh sama duren? Duren ya di makan, Bu," tukas Paramitha.

"Ya ampun, Bu Mitha! Polos atau gimana sih? Bu Mitha enggak tahu duren yang saya maksud?"

Paramitha menggelengkan kepalanya. "Saya hanya tahu kalau duren itu salah satu jenis dari buah-buahan."

Asih langsung menepuk jidatnya. "Bu Mitha... Duren yang saya maksud itu bukan nama buah-buahan. Tapi duren itu singkatan dari duda keren! Memangnya Bu Mitha enggak tahu istilah itu?"

Paramitha menganggukan kepalanya. "Saya malah baru tahu dari Bu Asih. Ternyata saya kurang gaul ya!" balasnya sambil tersenyum.

"Bu Mitha punya pacar?" tanya Asih dan Paramitha menggelengkan kepalanya. "Pernah pacaran atau punya mantan?" tanya Asih lagi dan Paramitha pun menggelengkan kepalanya lagi.

Asih langsung menghela napasnya panjang. "Masa perempuan secantik Bu Mitha enggak pernah pacaran?"

Paramitha tersenyum tipis. "Kalau memang enggak pernah, masa harus ngarang pernah, Bu."

"Bu Mitha memang enggak pernah pacaran?" tanya Asih sekali lagi. Paramitha menganggukan kepala sembari tersenyum.

"Padahal Bu Mitha cantik banget lho. Pasti selalu jadi bunga sekolah atau bunga kampus kalau lihat kecantikan Bu Mitha," puji Asih.

Paramitha tersenyum lagi. "Cantik wajah enggak akan selamanya kekal, Bu. Saya risih kalau orang-orang hanya menilai dari rupa wajah. Dan juga saya enggak ada waktu untuk pacaran dan lain-lain. Saya menghabiskan waktu untuk belajar dan bekerja paruh waktu."

"Kenapa harus kerja, Bu?" tanya Asih penasaran.

"Karena saya sudah tidak punya orang tua, Bu. Saya tinggal di panti asuhan dan diangkat anak oleh seseorang yang baik hati. Saya tidak mungkin hanya berdiam diri saat oran tua angkat saya mati-matian kerja untuk menyekolahkan saya. Saya harus sadar diri, jangan keenakan," jawab Paramitha.

Asih langsung terharu sekaligus tambah kagum pada rekan kerjanya yang baru. "Bu Mitha hebat. Saya merasa terhormat karena bisa kenal dan mengajar di tempat yang sama dengan Ibu."

"Kok saya jadi Geer gini ya sama Bu Asih dipuji," ucap Paramitha terkekeh.

"Memang faktanya saya senang, Bu," ungkap Asih. "Nanti saya ajak kenalan ya sama para lelaki lajang, banyak dari mereka yang lagi nyari istri dan saya jamin mereka sudah mapan dan siap untuk menikah. Bu Mitha mau, kan?"

"Jangan, Bu. Saya tidak mau kenalan dengan lelaki mana pun karena saya sudah—." Paramitha terdiam.

"Sudah apa, Bu?"

"Saya sudah berjanji kalau saya mau fokus untuk ngajar saja," balas Paramitha berbohong.

"Oh, saya kira Bu Mitha mau bilang sudah menikah. Saya enggak jadi kaget," ucap Asih tertawa.

Paramitha hanya menyimpulkan senyum, ia tidak bisa mengatakan dengan jujur pada siapapun kalau ia sudah menikah. Semua atas permintaan Tristan. Lelaki itu tidak ingin siapapun tahu kalau statusnya adalah istri sah dari Tristan Oliver. Statusnya itu hanya berlaku di depan keluarga besar Oliver.

Semoga saja badai ini cepat berlalu dan lelaki itu tak lagi membencinya, ucap Paramitha dalam hati.


Paramitha melangkah kakinya di depan gerbang sekolah. Di sekolah susah terlihat sepi karena semua murid dan para guru telah pulang. Paramitha terkejut saat melihat ada seorang murid perempuan yang duduk sendirian di dekat pintu gerbang.

"Nak, kamu menunggu jemputan?" tanya Paramitha tersenyum ramah dan ia terkejut karena anak itu adalah anak didiknya, murid yang baru saja pindah hari ini di sekolahnya. "Summer..."

Summer terdiam, wajahnya memang dingin saat anak itu mulai belajar di sini. Entah apa yang membuat Summer selalu terlihat tak bersahabat. Seharusnya anak-anak seusia Summer itu ceria dan tak mempunyai beban apapun.

"Ibu temani kamu di sini ya! Ibu temani kamu sampai ada yang jemput," ucap Paramitha. Ia selalu berinisiatif untuk memulai pembicaraannya. "Dulu waktu Ibu kecil pernah nungguin ayahnya Ibu sampai Maghrib dan ternyata ayah Ibu enggak datang karena beliau ketiduran habis dari sawah. Ibu dulu marah padanya sampai ayahnya Ibu membelikan hadiah boneka Barbie sebagai tanda permintaan maafnya. Jadi kalau orang tua kita terlambat menjemput, bukan karena sengaja. Bisa jadi di jalan macet atau kecapean," tutur Paramitha.

"Kalau terlambat karena adanya nenek sihir, bagaimana?" tanya Summer yang akhirnya bicara.

Belum sempat menjawab pertanyaan dari anak didiknya itu, ada mobil mewah yang berhenti tepat di depan mereka. Seorang perempuan yang modis, cantik turun dari mobil dan menghampiri mereka.

"Yuk pulang!" ajaknya sambil menarik tangan Summer.

Summer menepis tangan perempuan itu. "Aku hanya ingin Daddy yang menjemputku!"

"Daddy-mu sibuk dan dia mempercayakan Mommy untuk menjemputmu! Jangan melawan lagi, ayo cepat pulang! Mommy sedang banyak schedule hari ini," balas perempuan itu sambil menarik tangan Summer dengan paksa.

Summer meringis kesakitan, ia menolaknya dan langsung mengigit tangan perempuan itu sampai terlepas.

"Summer! Kamu!" bentak perempuan itu. Tangannya yang mau menampar Summer langsung ditahan oleh tangan Paramitha.

"Jangan pernah melakukan kekerasan fisik pada anak-anak, bahkan berbicara kasar pun tidak boleh," tukas Paramitha.

"Siapa kamu?" tanya perempuan itu dengan penuh amarah.

"Saya adalah wali kelas dari Summer, nama saya adalah Paramitha dan saat ini saya adalah orang tuanya di sekolah," jawab Paramitha tersenyum ramah.

"Jangan ikut campur dengan urusanku! Kamu hanya orang rendahan! Urusanku dengan Summer adalah hakku karena dia adalah anakku," tukas perempuan itu.

"Saya berhak ikut campur karena ini masih di lingkungan sekolah yang artinya saya masih berhak melindungi anak didik saya, Summer," tegas Paramitha.

Summer langsung menatap Paramitha dengan tatapan berbinar-binar. Entah kenapa ia melihat perempuan itu bagaikan matahari baginya. Paramitha memberikanya kehangatan.


Bab Sebelumnya
Bab Selanjutnya