Bab 7


Plak!

Pipi Paramitha ditampar oleh perempuan itu, kedua matanya menunjukkan rasa tidak suka karena Paramitha ikut campur dengan caranya mendidik Summer.

"Kamu!" Perempuan itu menunjuk-nunjuk Paramitha. "Kalau kamu ikut campur lagi, aku tidak segan-segan membuatmu tak bisa lagi jadi guru di sekolah ini!"

"Maaf, Bu. Ibu tidak berhak untuk memecat saya dan saya tidak melakukan kesalahan apapun. Anda boleh menampar atau memaki saya, tapi jangan didepan Summer. Jangan pernah sedikitpun menunjukan hal itu," jawab Paramitha.

Perempuan itu kesal, ia marah dan saat tangannya akan menjabak Paramitha. Summer mengigit perut kirinya dan membuat perempuan itu meringis kesakitan. "Summer! Kamu sudah mulai kurang ajar sama Mommy!" bentaknya.

"Kamu bukan Mommy-ku! Kamu bukan siapa-siapaku!" balas Summer.

"Jaga bicaramu, Summer!" bentak perempuan itu dan tangannya ditepis seseorang saat ia akan menampar Summer. "Sia—pa," suaranya tercekat saat matanya menatap seorang lelaki yang saat ini sedang marah padanya.

"Jangan pernah menyentuh anakku dengan tanganmu!"

"Sayang, aku enggak bermaksud menampar anak kita, aku mau menampar perempuan itu yang sudah bersikap kurang ajar," balasnya suara perempuan itu berubah jadi lembut.

"Daddy!" Summer langsung memeluk lelaki itu erat. "Tante Grey bohong! Justru Bu Mitha ditampar sama dia karena bela Summer," tambahnya mengadu.

"Summer sayang, kenapa kamu berbohong dengan Daddy? Tadi Mommy enggak sengaja menampar gurumu karena dia sudah bersikap tidak sopan sama Mommy," ucap Grey membela diri.

"Bohong! Summer benci sama yang suka bohong!" balas Summer menatap Grey kesal.

Paramitha kebingungan dengan drama keluarga dari anak didiknya itu. Ia tak mau ikut terlibat di dalamnya. "Summer, Ibu pulang duluan ya karena sekarang sudah ada yang jemput Summer," ucapnya menatap anak gadis itu lembut.

"Bu Mitha ikut kita saja ya! Biar kita yang antar Ibu ke rumah," ajak Summer. "Boleh, kan Daddy?" tanyanya menatap lelaki itu dan daddy-nya mengangguk.

"Sayang, kenapa dia diajak? Aku gimana?" tanya Grey.

"Bukankah kamu banyak schedule hari ini?"

Grey mengangguk. "Nanti setelah selesai, aku menemuimu di kantor ya!"

"Tidak usah. Aku masih banyak kerjaan," balas lelaki itu.

"Maaf, Pak. Saya pulang sendiri saja. Saya sudah biasa pulang sendirian," timpal Paramitha. "Summer, Ibu masih ada urusan. Maaf tidak bisa ikut pulang sama kamu ya!"tambahnya.

"Mau antar Ibu! Kalau Bu Mitha enggak mau ikut, Summer enggak mau sekolah lagi!" ancam Summer.

Paramitha terkejut, ia bingung karena merasa enggak enak jika ikut karena mommy-nya Summer menatapnya tak suka.

Daddy-nya Summer menangkap keraguan di mata Paramitha, wajar jika perempuan itu ragu karena ia dan Summer adalah orang asing. "Bu Mitha biar kami antar saja ya! Ini sebagai ungkapan rasa terima kasih karena sudah mau menemani Summer."

Paramitha akhirnya mengangguk dan terbit lah sebuah senyum bahagia di kedua sudut bibir Summer.

"Kita makan dulu yuk! Summer lapar, Daddy. Bu Mitha ikut ya!" ajak Summer penuh harap.

"Tapi sayang, Ibu..."

"Summer sudah lama tidak ada yang menemani makan. Kalau Bu Mitha enggak mau, Summer sedih," cicit Summer.

Paramitha akhirnya setuju, ia berpikir ini hanya makan saja dan ia tidak akan pernah bertemu lagi dengan daddy-nya Summer.

Paramitha tersenyum melihat betapa damainya Summer ketika tertidur. Bahkan ia tanpa sadar merapikan beberapa helai rambut yang menutupi mata Summer.

"Bu Mitha maaf ya kalau sikap Summer membuat repot," ucap lelaki itu, ia tak sengaja melihat pemandangan manis itu di kaca spion. "Nama saya Jonathan, saya ayahnya Summer."

"Summer enggak merepotkan sama sekali, Pak. Meski baru beberapa hari mengenal Summer, saya lihat dia anak yang ceria dan menyenangkan," balas Paramitha. "Saya Paramitha, kalau anak-anak sering memanggil saya dengan sebutan Bu Mitha dan kebetulan saya wali murid untuk kelas tiga."

"Syukur kalau Bu Mitha ternyata adalah wali murid dari anak saya. Saya minta Bu Mitha mengawas dan mendidik Summer, kalau dia salah tolong tegur dan jika Summer ada masalah, Bu Mitha bisa hubungi saya," ucap Jonathan. "Ini kartu nama saya, Bu. Kalau ada apa-apa, Ibu bisa langsung menghubungi saya,"tambahnya sambil menyerahkan kartu namanya.

"Pak, maaf. Tadi saya bukan bermaksud lancang dengan istri Bapak. Saya juga tidak pernah ada niat sedikit pun untuk tidak sopan dengan beliau," ucap Paramitha tiba-tiba.

"Grey bukan istri saya, dia hanya tunangan saya," balas Jonathan. "Rumah Bu Mitha sebelah mana?" tanyanya.

Paramitha langsung tersadar dan ia meminta lelaki itu menurunkannya di depan gang yang dekat dengan rumahnya. Paramitha tidak mau siapapun tahu di mana ia tinggal karena Tristan yang melarangnya.

"Mau saya antar sampai depan rumah, Bu?" tawar Jonathan.

"Terima kasih, Pak. Saya jalan saja, kasihan juga Summer lagi tidur," jawab Paramitha.

Paramitha pamit dan mobil Jonathan pun langsung melesat pergi.


"Kamu mau ke mana, sayang?" tanya Karina, ia melihat Tristan yang sedang memakai sepatunya. "Aku pulang dulu ya, sayang. Malam ini tidak bisa tidur di sini," balasnya.

"Kenapa? Apa kamu sudah mulai suka sama perempuan itu?" tanya Karina ketus.

"Ibu mau video call dan ibu tahu kalau aku sudah pulang dari kantor. Aku enggak mau ibu jadi curiga, bahaya," jawab Tristan.

"Ibu lagi, ibu lagi! Kamu enggak bisa gitu tegas sama ibu? Enggak bisa gitu bilang sama ibu kalau kamu sudah punya pilihan sendiri? Kenapa kamu takut sih?"

Tristan menghela napas. "Bukan takut, sayang. Aku enggak mau lihat ibu sedih. Hanya ibu satu-satunya yang aku punya. Kamu juga tahu sendiri kan sayangnya aku sama ibu."

"Ya... Sampai membuat aku menderita! Kamu mengorbankan perasaanku!"

"Sabar ya, sayang. Kita sama-sama berkorban agar nanti bisa bahagia bersama. Aku hanya butuh sedikit waktu agar bisa meyakinkan ibu," uca Tristan lembut.

"Sampai kapan? Aku enggak mau menunggu terlalu lama, aku capek! Kamu juga tahu kalau kedua orang tuaku sering menanyakan kapan kamu siap untuk melamar aku. Jika mereka tahu kalau aku hanya simpananmu, pasti mereka marah besar dan kecewa."

"Kamu bukan simpananku, Karin... Kamu kekasihku, hanya satu-satunya. Tidak ada lagi yang lain!" tegas Tristan.

"Lalu perempuan itu? Dia istri sahmu dan aku?"

"Di atas kertas memang dia istriku, tapi aku enggak pernah mau mengakui dia sebagai istriku. Yang ada di sisiku hanya boleh kamu!"

"Hmm... Aku pegang kata-katamu lagi ya! Kalau sampai kamu ingkar, jangan pernah menyesal dengan apa yang akan aku lakukan! Aku sudah memberimu segalanya, Tristan. Tanpa sisa," ucap Karina menatap Tristan dengan nanar.

Tristan mengangguk, ia memeluk Karina dan mengecup bibirnya singkat. "Kamu satu-satunya, tidak ada yang lain," bisiknya lembut.


Paramitha tak percaya kalau Tristan pulang ke rumah malam ini. Paramitha langsung tersenyum dan menghampiri Tristan yang sedang membuka sepatunya.

"Mas sudah makan? Kalau belum aku buatin ya," ucap Paramitha tersenyum.

"Enggak perlu! Aku sudah makan malam dengan Karina," jawab Tristan datar, ia muak melihat wajah sok polos yang ditunjukkan Paramitha.

"Mau minum apa?" tawar Paramitha.

"Tak perlu! Dan jangan pernah menawarkanku apa-apa lagi! Kamu bukan pelayanku!"

"Aku itu istrimu, Mas. Jadi sudah selayaknya aku melayanimu," balas Paramitha.

Tristan tersenyum sinis. "Kamu masih belum bangun dari mimpimu ternyata! Aku tak pernah menganggapmu sebagai istri, melihat ke arahmu saja aku tidak akan pernah sudi!"

Paramitha beranjak pergi, ia tidak mau mendengar cibiran dari Tristan yang hanya akan membuatnya sakit hati.

Tak lama Paramitha datang membawa secangkir kopi panas dan ia letakkan di atas meja. "Aku sudah buatkan kopi untukmu, Mas. Nanti aku siapkan handuk dan piyama untuk tidur ya!"

"Kamu itu tuli, Ha? Aku sudah bilang jangan pernah menganggap kamu itu istriku! Kamu itu bukan siapa-siapa!" Tristan mengatakannya dengan nada suara yang cukup tinggi.

"Mas kenapa selalu berkata kasar? Bisa kah Mas bicara dengan nada yang lembut? Aku ini bukan seorang penjahat, Mas. Aku punya hati dan punya batas untuk tidak terluka," ucap Paramitha.

"Karena dengan cara ini yang mampu membuatmu sadar," balas Tristan. "Jam sembilan nanti pergi ke kamarku, ibu mau lihat kita lewat video call. Bersandiwara lah yang baik agar ibu enggak curiga."

Luka di hati Paramitha semakin basah, ternyata Tristan pulang cepat karena ada alasan lain, bukan dirinya.

**

Bab Sebelumnya
Bab Selanjutnya