Bab 8
"Bagaimana bulan madu kalian? Apa kalian sudah memikirkan mau pergi ke mana?" tanya Santi, menatap anak dan mantunya dengan perasaan yang penuh haru karena melihat keduanya sangat mesra.
"Belum, Bu. Kita bulan madu di atas ranjang saja," balas Tristan sambil tersenyum.
"Harus pergi bulan madu dong! Kalau di atas ranjang ya itu sudah rutinitas kalian sebagai suami istri," tukas Santi. "Kamu harus meluangkan waktu, Tristan. Nanti keburu ada anak dan waktu untuk kalian berdua semakin terbatas."
"Iya, Bu. Nanti Tristan usahakan ya! Nanti Tristan lihat jadwal kosong. Sekarang banyak proyek yang harus Tristan tangani," jawab Tristan memberi alasan.
"Jangan duakan istrimu ,meski itu karena kerjaanmu! Kasihan Mitha, dia juga butuh suami untuk memanjakannya," kata Santi. "Bagaimana dengan kamu, Mitha? Katakan saja sama Ibu kalau mau secepatnya bulan madu," tambahnya bertanya pada menantunya.
"Mitha sih enggak masalah, Bu. Mau bulan madu atau enggak ya enggak gimana-gimana juga. Asal satu atap dan bertemu dengan mas Tristan saja sudah lebih dari cukup. Yang terpenting kita tinggal bersama," jawab Paramitha dengan lembut.
"Kamu memang anak yang baik, Nak. Ibu bahagia karena kamu jadi menantu Ibu. Kalau Tristan membuatmu menangis, kamu ngadu aja ke Ibu ya! Ibu pasti akan menegurnya!"
"Anak Ibu itu siapa? Kok malah Mitha yang dibela," protes Tristan.
"Kalian anak Ibu! Jadi kalau kamu nyakitin Mitha, sama saja dengan nyakitin Ibu!"
"Iya, Bu. Tanya saja sama Mitha. Apa pernah Tristan membuatnya kesal," ucap Tristan. "Sayang, apa selama ini aku pernah membuatmu menangis?" tanyanya menatap mesra Paramitha.
Senyum itu membuat Paramitha tertegun sejenak, senyum yang tak pernah lelaki itu tunjukkan sama sekali. Paramitha tahu jika senyum yang suaminya berikan itu tidak benar-benar tulus. Tapi entah kenapa ia merasa hatinya menjadi hangat. Setidaknya, ia masih bisa melihat Tristan tersenyum padanya. Apakah ia termasuk perempuan bodoh?
Entahlah... Bagi Paramitha ini adalah Kebahagiaannya bisa hidup bersama lelaki yang ia cintai dari dulu.
"Mitha, kenapa kamu diam saja? Jangan-jangan Tristan bohong. Dia pernah membuatmu menangis?" tanya Santi mulai curiga.
Paramitha langsung sadar dari khayalannya dan ia tersenyum menatap ibu mertuanya di layar gadget. "Tadi lagi ngelamun karena ingat sama anak didik Mitha, Bu. Maaf," balasnya. "Mas Tristan memang sering membuat Mitha menangis..."
Tristan terkejut mendengar jawaban Paramitha, ia menatap lekat perempuan yang ada disampingnya itu.
Paramitha tersenyum dan menatap hangat Tristan. "Kamu memang hobi membuatku menangis, Mas. Menangis karena terlalu bahagia. Aku bersyukur karena menjadi istrimu. Terima kasih karena telah memilihku," tambahnya.
Tristan termenung sejenak, entah kenapa ada sisi lain di hatinya yang senang dengan apa yang Paramitha katakan.
"Alhamdulillah, Ibu sudah was-was tadi. Ibu kira Tristan selama ini bersikap tidak baik dengan kamu," tukas Santi dengan perasaan lega. "Ibu mendoakan kalian bahagia dan dijauhkan dari segala petaka rumah tangga. Semoga Allah menjaga rumah tangga kalian. Ibu selalu mendoakan kalian."
"Terima kasih doanya, Bu. Kita pasti akan bahagia dan tidak akan pernah mengecewakan Ibu," balas Tristan. "Benar kan, sayang?" tanyanya menatap Paramitha dan mengecup punggung tangan istrinya. Paramitha mengangguk dan tersenyum.
"Alhamdulillah. Asal kalian hidup rukun, Ibu sudah bahagia," ucap Santi. "Kalian istirahat ya! Lain kali Ibu hubungi kalian lagi. Kalau ada apa-apa tinggal katakan sama Ibu."
Keduanya mengangguk dengan kompak. Setelah video call diakhiri, detik itu pula Tristan langsung mengenyahkan tangan Paramitha. "Kamu boleh kembali ke kamarmu!" pintanya kembali dingin.
"Iya, Mas," jawab Paramitha pelan. Ia langsung beranjak pergi dari atas ranjang dan menutup pintu kamar Tristan pelan.
"Kenapa terasa panas begini kamar!" kesal Tristan dengan gelisah.
"Bu Mitha dicari sama Bu Kepala Sekolah. Katanya suruh menghadap beliau di ruangannya," ucap Asih.
"Ada perlu apa ya, Bu?"
"Tidak tahu, Bu. Katanya harus segera ke sana menemui beliau," jawab Asih.
"Kalau begitu saya sekarang mau nemui Bu Nancy ke ruangannya," pamitnya pada Asih.
Paramitha sudah berada di depan ruangan kepala sekolah, ia mengetuk pintu dan Nancy mempersilahkannya untuk masuk.
Paramitha masuk dan ia terkejut melihat ada Grey di sana. Perempuan itu sedang menatapnya dengan angkuh.
"Bu Mitha, silahkan duduk!" pinta Nancy. Paramitha tersenyum dan mengangguk, ia duduk di depan Nancy dan Grey.
"Maaf, Bu. Kata Bu Asih ada yang ingin Bu Nancy bicarakan dengan saya?" tanya Paramitha, ia berinisiatif bertanya duluan karena merasa enggan terlalu lama berada di ruangan kepala sekolah karena Grey menatapnya bak seorang musuh.
"Saya meminta Bu Mitha datang ke sini karena ada komplain dari orang tua murid dan kebetulan orang tua murid itu adalah Nyonya Grey, Ibu dari Summer," jawab Nancy menerangkan.
Kening Paramitha mengerut, ia tak mengerti kenapa Grey komplain dengannya? Apa perempuan itu tidak sreg karena kemarin ia menemani Summer di gerbang sekolah?
"Memangnya kenapa Bu Grey komplain dengan saya? Saya merasa tidak pernah membuat masalah dengan Ibu."
"Kamu lupa dengan kejadian kemarin siang? Aku kesal karena kamu ikut campur dengan masalah keluargaku!"
"Ikut campur?" tanya Paramitha bingung. "Ikut campurnya di bagian yang mana ya, Bu? Kemarin saya hanya menemani Summer untuk menunggu jemputan. Masa saya harus pura-pura tidak melihat kalau ada murid yang menunggu jemputan sendirian."
"Bukan masalah itu! Tapi kamu ikut campur karena masalah saya mendidik anak saya! Gara-gara kamu, Jonathan sampai marah dengan saya!"
"Bu, kalau memang saya salah kemarin. Saya minta maaf. Saya tidak ada maksud untuk ikut campur atau membuat Pak Jonathan marah sama Ibu." Paramitha enggan berdebat panjang dengan perempuan itu, ia tahu kalau Grey adalah tipe orang yang suka cari masalah dan tak mau disalahkan.
"Maaf saja tidak cukup!" ketus Grey.
"Lalu saya harus melakukan apa?" tanya Paramitha.
"Saya ingin kamu di off-kan dulu dari sekolah ini. Di skors tidak boleh ngajar! Biar kamu bisa intropeksi diri dan tidak ikut campur lagi dengan masalah orang lain," jawab Grey.
"Kalau itu saya tidak bisa. Saya tidak akan pernah berhenti mengajar karena saya tidak pernah melakukan kesalahan apapun," balas Paramitha dengan tenang.
"Terserah apa katamu! Aku selalu bisa melakukan hal yang aku inginkan! Kalau kamu memaksa tidak mau, maka aku bisa menyuruh sekolah ini untuk menendangmu! Benar kah, Bu Nancy?" tanyanya meminta persetujuan dari perempuan paruh baya itu.
"Be_benar," jawab Nancy agak gugup.
"Maaf, memangnya Anda siapa? Anda tidak berhak memecat saya tanpa sebab. Anda tidak punya bukti untuk membuat saya keluar dari sekolah ini," ucap Paramitha tidak takut.
"Kurang ajar! Kamu semakin ngelunjak hanya karena kemarin Jonathan dan Summer membelamu! Saya adalah calon istri dari Jonathan Salim, donatur terbesar untuk yayasan sekolah ini!" Mudah bagi saya untuk mendepakmu!" ancam Grey dengan sombongnya.
Paramitha menghela napasnya. "Ternyata Anda tidak bisa memisahkan urusan pribadi dengan yang lain. Saya pikir Anda cukup pintar, ternyata kecantikan Anda hanya sebuah cangkang yang kosong,"sindirnya.
Grey naik pitam, ia berniat menampar pipi Paramitha dan tamparannya melesat karena dengan sigap tangan Paramitha mencegahnya.
"Tidak ada tamparan untuk kedua kalinya dari Anda, Bu," ucap Paramitha dengan senyum sinis.
