Bab 1 Perpisahan

Pembaca yang budiman,

Sebelum Anda memulai cerita ini, saya ingin memberikan peringatan mengenai isinya. Saya tidak merekomendasikan cerita ini bagi pembaca di bawah usia 18 tahun. Selain beberapa adegan sensual, keseluruhan alur ceritanya mungkin akan terasa mengganggu. Jika Anda tidak keberatan dengan hal tersebut, selamat menikmati!

Alya

Aku bergegas keluar dari gedung tempat latihan para atlet seluncur es, berusaha sekuat tenaga meninggalkan klub tanpa menangis. Semua orang di sini selalu baik padaku. Aku bahkan menerima sebuah kalung indah dari tim sebagai kenang-kenangan atas waktu yang kami habiskan bersama.

Meninggalkan semua ini sungguh berat. Para pelatih telah mendampingiku selama bertahun-tahun, tetapi berpisah dengan sahabat terbaikku, Rangga, adalah yang paling menyakitkan. Kami sudah berlatih seluncur es bersama sejak usia empat tahun. Kami mengikuti Kejuaraan Junior pertama kami bersama, dan sejak saat itu, kami tak pernah absen dari kompetisi. Kami sempat mencoba seluncur berpasangan beberapa kali dan cepat sekali menemukan kecocokan. Pelatih menyarankan kami untuk mencoba berkompetisi sebagai duo, tapi aku lebih bahagia menjadi atlet tunggal.

“Alya, tunggu!”

Aku memejamkan mata saat mendengar suaranya memanggilku. Saat berbalik, kulihat ia berlari ke arahku. Rambutnya yang sedikit ikal tampak berantakan, dan mata birunya yang berkaca-kaca memancarkan kesedihan yang mendalam.

Ia berusaha mengatur napasnya. Aku tahu sudah cukup lama ia menyukaiku, dan belakangan ini, aku mulai sering memikirkannya, bahkan mempertimbangkan untuk menjadi kekasihnya. Dia satu-satunya laki-laki yang pernah begitu dekat denganku, dan aku sangat menyukainya. Aku bisa membayangkan diriku jatuh cinta padanya, mungkin suatu hari nanti.

Tapi sekarang sudah terlambat untuk memulai hubungan dengannya. Aku tahu menentang ayah tiriku bisa membawa konsekuensi yang mengerikan, dan akulah yang akan menanggung akibatnya, bukan dia. Aku tidak punya pilihan lain; aku harus pergi.

“Apa kamu nggak kepikiran untuk tetap di sini? Ada banyak universitas bagus di Bandung. Kenapa kamu pikir universitas di Amerika lebih baik?”

Aku tak sanggup menemukan kata-kata untuk menjawabnya. Sebaliknya, aku melangkah mendekat, memeluknya erat-erat, dan mendekapnya selama yang kubisa.

Ketika kudengar bus kota mendekat, aku melepaskan pelukannya, mengecup pipinya, dan bergegas naik ke dalam bus.

Aku memilih tempat duduk di sisi lain bus. Aku tahu, jika aku terus menatap sosoknya yang berdiri sedih di sana, berharap aku akan berubah pikiran, hatiku akan hancur berkeping-keping. Kuseka air mataku dan mencoba menikmati pemandangan yang kukenal melalui mata yang basah, tapi semuanya tampak kabur.

Aku turun dari bus satu halte sebelum jalan menuju rumahku. Aku ingin berjalan kaki sejenak, berharap bisa menjernihkan pikiran, tetapi perasaanku tetap sama sesampainya di rumah.

Saat melangkah masuk melalui pintu depan, aku mendengar suara Ibu. “Alya, itu kamu? Sini, ayo makan malam.”

Aku tidak menjawab sepatah kata pun. Aku tidak yakin apakah Ibu memasak untuk kami semua, tapi aku tetap berjalan ke ruang makan dan duduk. Tiga piring berisi makanan yang sudah matang telah tersaji di meja.

Aku tidak terkejut melihat ayah tiriku sudah duduk di sana.

Aku membencinya. Dia memang tidak pernah menyentuhku secara fisik, tetapi aku membencinya atas siksaan batin yang dia timpakan padaku selama bertahun-tahun. Aku membencinya karena telah menyakiti ibu, baik secara emosional maupun fisik, hingga ibu jatuh sakit. Dan sekarang, setelah dia menghancurkan masa depanku, rasanya aku bisa menyiksanya sampai mati.

Aku tetap diam saat mendengar suaranya.

“Alya, aku sudah bicara dengan keluarga Wiratama tentangmu. Mereka tidak keberatan kamu tetap melanjutkan latihan seluncur es dan sudah menerima permintaanmu untuk kuliah. Mereka bilang kamu bebas memilih universitas mana pun, dan mereka yang akan membiayai semuanya.”

Aku tidak menjawab. Dia terdiam sejenak, sementara ibuku ikut duduk di meja makan.

“Aku mengirimmu ke tempat yang baik, Alya. Mereka itu salah satu keluarga terkaya di Jakarta. Mereka akan memberimu semua yang tidak pernah bisa kita berikan.”

Saat dia terus berbicara, aku meletakkan sendok dan garpuku. Aku harus menahan diri sekuat tenaga agar tidak meledak.

Dia menghela napas. Aku bisa merasakan tatapannya tertuju padaku. “Kamu tahu kita tidak punya pilihan lain. Aku harap kita punya,” ucapnya dengan nada penuh penderitaan.

Cukup sudah. Amarahku terasa akan melahapku jika aku terus diam. Aku berdiri tiba-tiba dan menggebrak meja.

“Baskoro, apa Bapak sadar apa yang sudah Bapak lakukan padaku? Beraninya Bapak bilang tidak punya pilihan lain? Aku ini anak tirimu. Apa untuk ini Bapak membesarkanku? Untuk menjualku saat Bapak kehabisan uang?” teriakku padanya, kedua tanganku gemetar hebat.

“Tenang, Alya. Kamu akan mendapatkan semua yang kamu inginkan, dan utang serta budi yang kumiliki pada mereka akan lunas. Perjanjian ini menguntungkan kita berdua.”

“Apa urusanku dengan bisnis gelap Bapak? Kenapa harus aku? Apa Bapak sadar kalau Bapak memaksaku menikah? Apa Bapak tidak mengerti ini semua bertentangan dengan keinginanku? Demi Tuhan, ini hidupku! Karierku, mimpiku—semua kerja kerasku sejak kecil jadi sia-sia!”

Dia hanya membuang muka, seolah tidak peduli. Aku melirik ibuku, yang hanya menundukkan kepala. Akhirnya, Baskoro menoleh ke arahku.

“Hidupmu akan terjamin,” katanya datar.

“Terjamin? Apa Bapak pikir aku sebodoh itu sampai tidak mengerti ini semua tentang apa? Siapa yang masih membeli manusia di zaman sekarang? Apa mereka mau mengambil organ tubuhku? Atau mereka mau menjadikanku pelacur atau pembantu di rumah mereka?”

Kali ini, dia tertawa.

“Dari mana kamu dapat ide seperti itu? Kamu akan jadi anggota keluarga mereka. Mereka akan menjagamu baik-baik.”

“Aku tidak akan pergi ke mana pun!” teriakku. “Dengar tidak? Bapak itu pecundang, bajingan! Aku tidak akan membiarkan Bapak mengambil keuntungan dariku. Aku punya hidup dan karierku sendiri, dan aku akan tetap tinggal di sini—bahkan jika itu berarti aku harus lapor polisi!”

Aku menunjuk wajahnya, tetapi rasa takut menghentikanku bicara lebih jauh saat dia bangkit dan mendorongku keras ke dinding. Tangannya mencengkeram leherku. Rasanya aku ingin menangis, tapi aku tidak mau menunjukkan kelemahan sedikit pun.

“Tutup mulutmu, anak kurang ajar! Besok kamu berangkat. Jangan sampai aku mengulanginya lagi kalau kamu mau selamat!”

Bab Selanjutnya