Bab [3]
Jelas, identitas Hendra Wijaya bahkan melebihi ekspektasi Rina Wulan.
Dia memberi Rina sebuah tatapan puas, lalu dengan nada tinggi berkata, “Ikuti aku masuk.”
Rina Wulan mengikuti Luna Hartono memasuki vila. Setelah berganti sepatu di area pintu masuk, mereka melangkah ke ruang tamu.
Begitu duduk, Luna langsung mulai bertanya tentang hubungannya dengan Lucas Tanoto.
Rina tak berusaha menyembunyikan apa pun. Kejadian semalam sudah heboh sekali; siapa pun yang menanyakan pada Bibi pasti tahu, jadi tidak ada gunanya berbohong.
“Aku sudah putus dengannya. Dia cuma mengejar aku karena taruhan sama orang lain, dia sama sekali nggak berniat menikahiku.”
“Bodoh!” Luna Hartono mengumpat kasar.
Rina hanya menundukkan kepala, diam saja.
Dia tahu, Bibi sedang memakinya karena gagal mempertahankan hati pria itu.
Luna tak peduli alasan Lucas mengejar Rina. Yang ia sesalkan hanya mimpi keluarga Santoso untuk bersambung dengan keluarga Tanoto hancur berantakan.
Melihat Rina tetap diam, Luna makin marah. Ia berdiri dan menampar wajah Rina keras-keras.
“Kau kira kalau Lucas Tanoto nggak mau menikahimu, Hendra Wijaya bakal mau? Keluarga Wijaya itu keluarga macam apa sampai mau menerima barang sepertimu? Aku peringatkan, jangan pedulikan kenapa Lucas mengejarmu. Pokoknya dia adalah calon terbaik yang bisa kau dapatkan untuk menikah. Kalau tidak, kau harus menurut rencanaku! Bagaimana caranya, urus sendiri!”
Menerima pengaturannya?!
Bayangan pria tua yang selalu meliriknya penuh nafsu membuat Rina mual ingin muntah.
Cucu termuda lelaki itu usianya masih lebih tua dari Rina. Membiarkan dirinya dinikahkan dengannya? Jangan bermimpi!
Rina hanya membalas Luna Hartono seadanya, lalu berbalik naik ke kamar.
Begitu pintu terkunci rapat, tubuhnya mencapai batas lelah. Ia terjatuh di ranjang, membuka mata lebar-lebar menatap langit-langit.
Air mata jatuh tanpa suara saat Rina berbisik dalam hati: bertahan sedikit lagi, bertahan sedikit lagi, aku akan bebas dari keluarga Bibi.
Lamaran kerja ke perusahaan luar negeri yang dikirimnya sudah mendapat balasan dan lolos tes awal.
Kalau berhasil melewati wawancara akhir, dia bisa mulai bekerja dan menjauh jauh dari keluarga ini.
Ponselnya terus berbunyi tanpa henti. Rina mengerutkan dahi, berusaha bangkit mengambil tas.
Saat membuka, terlihat banyak panggilan dari Lucas Tanoto serta puluhan pesan suara WhatsApp darinya.
Salah satu dibuka acak, terdengar makian penuh kemarahan seorang pria.
Lucas menghujatnya pelacur karena menggoda teman-temannya.
Seperti orang gila, mungkin semua kata kotor yang bisa dilontarkan sudah keluar dari mulutnya.
Rina tak tertarik mendengarkan makian itu satu persatu, ia langsung hapus semua lalu blokir nomornya.
Setelah dunia menjadi tenang, matanya kembali melihat nama Hendra Wijaya di daftar kontak.
Itu nomor yang ditambahkan pria tadi pagi saat mengantar pulang.
Rina tak menghubungi balik. Mematikan ponsel, memeluk selimut, tak lama kemudian tertidur pulas.
Hari-hari berikutnya, Rina sibuk mempersiapkan wawancara lanjutan di perusahaan luar negeri.
Karena Hendra Wijaya mengantarnya pulang, Bibi agak reda beberapa waktu. Tapi begitu melihat baik Hendra maupun Lucas tak datang mencarinya, kesabaran Bibi habis juga!
Ia kembali mengatur jodoh untuk Rina. Namun sejak sebelumnya banyak pria yang tergoda kecantikan Rina sudah ditolak oleh Luna menggunakan nama Lucas sebagai tameng, akhirnya Rina malah ditinggalkan oleh Lucas.
Akibatnya, Rina dianggap wanita rusak, sulit cari pengganti, Luna Hartono hanya bisa membawanya menghadiri pesta-pesta sosial.
Wanita cantik apapun tempatnya, selalu menjadi pusat perhatian.
Terlebih setelah didandani sedemikian rupa oleh Luna, Rina bagaikan mawar merah merekah sempurna di tengah pesta.
Hampir semua pandangan para pria tertuju padanya. Kecantikannya menjadi senjata ampuh Luna dalam bergaul.
Sepanjang acara, Luna meraih banyak tawaran kerjasama.
Atas arahan Luna, Rina juga menambah kontak beberapa pria.
Di penghujung pesta, ketika Rina pikir acara sosial penuh intrik itu akan segera selesai, Luna justru menyerahkan Rina kepada seorang pria.
“Pak Chandra, Rina ini gadis baik, tolong jaga dia ya! Nggak perlu buru-buru antar pulang, yang penting kalian bersenang-senang!”
Mendengar itu, Rina merasa seperti terjun ke dalam es.
Ia kira dengan adanya efek jera dari Hendra Wijaya, setidaknya Bibi tak akan mengganggunya dalam waktu dekat.
Ternyata Bibi sangat tak sabar, bahkan ketika jodoh-jodohan gagal, ia langsung memperdagangkan Rina bak barang murah demi keuntungan.
Sebelum pergi, Luna memberikan tatapan peringatan pada Rina.
Hatiku mati rasa, pikir Rina. Ayahnya menjual dirinya demi uang kepada Bibi.
Kini Bibi menjual dirinya lagi demi uang kepada pria lain.
“Nona Wulan pasti capek ya, ayo kita cari tempat yang tenang buat istirahat sebentar,” ujar Pak Chandra segera setelah Luna pergi.
Tanpa menunggu jawaban, pria itu merangkul bahu Rina dan menariknya keluar dari ruangan.
Sekeliling dipenuhi pandangan penonton yang menikmati tontonan. Banyak wanita memandang sinis padanya.
Rina mencoba melepaskan tangan pria itu, tapi genggamannya terlalu kuat. Hampir saja dia terbawa pergi.
Dalam panik, Rina berteriak nyaring, “Pak Chandra...”
“Ada apa?” Dengan gadis secantik itu di pelukan, Pak Chandra sudah tak sabar membayangkan bagaimana nanti ia bisa ‘menghibur’ Rina di ranjang.
“Maaf, saya tadi minum terlalu banyak, mau ke kamar mandi dulu.”
Entah kenapa, mata Pak Chandra tiba-tiba berbinar, “Kamar mandi? Baiklah, saya temani!”
Lalu ia memutar arah, menyeret Rina menuju kamar mandi.
Rina sudah menangkap maksud pria itu, ketakutan membuatnya berkeringat dingin. Kepala terasa pening saat ia terus diseret cukup jauh.
Keluar dari aula pesta, melewati deretan ruang VIP.
Rina tak mau pasrah. Melihat pintu salah satu ruang tak terkunci, ia memberanikan diri menendang kaki Pak Chandra. Saat pria itu kesakitan melepaskan genggaman, Rina cepat-cepat mendorong pintu masuk ke ruang tersebut.
Dengan gemuruh, pintu tertutup rapat. Tubuhnya lunglai, pucat pasi, bersandar di pintu sambil terengah-engah.
Setelah agak tenang, ia hendak meminta maaf pada pemilik ruangan. Ketika menoleh, ia melihat sekelompok pria memandangnya dengan ekspresi rumit.
Rina terpaku...
Matanya tertuju pada sosok di tengah meja—Lucas Tanoto. Tak ada kebetulan yang lebih ironis.
Baru ingin bicara, Lucas tersenyum tipis penuh sindiran.
Para pria di sampingnya adalah teman-teman satu lingkaran, jelas mengetahui segala hal tentang mereka.
Melihat Rina, mereka tak kuasa menahan tawa.
“Tuh kan, aku bilang dia pasti nggak tahan lihat Lucas punya pacar baru, terus nekat ngejar.”
“Lihat bajunya, sengaja pakai sesuai selera Lucas tuh!”
“Lucas, gimana nih?”
Rina baru sadar di sebelah Lucas ada seorang wanita.
Berbeda total dengannya, polos dan bersih seperti bunga putih suci.
Semua mata tertuju pada Lucas dengan ekspresi menunggu pertunjukan.
Lucas menghisap rokok, santai meniup asap membentuk cincin, lalu berbalik dan merangkul leher si gadis kecil itu untuk ciuman mesra.
Mata Rina langsung panas seperti terbakar. Ia berbalik hendak pergi, tapi malah menabrak dada seseorang.
