Bab [4]

Rina Wulan hampir bereaksi secara refleks, dengan wajah penuh ketakutan mencoba mendorong pria itu menjauh.

Namun saat menghindar, hak tinggi sepatunya terkilir sedikit, nyaris membuatnya jatuh tertelungkup.

Sebuah tangan meraih pinggangnya dan menariknya kembali ke pelukan.

Wajah Rina Wulan kembali menempel pada dada hangat pria itu. Tak lama kemudian, getaran di dadanya terdengar, suara laki-laki yang familiar turun dari atas kepala.

“Apa-apaan sih? Kok kayak liat hantu?”

“Hendra Wijaya?” Rina Wulan menengadah, benar-benar seperti melihat hantu.

Kenapa dia bisa ada di sini?

Malam itu bukannya dia bertengkar hebat sama Lucas Tanoto?

Tapi kalau dipikir-pikir lagi, mereka kan sudah bersahabat sejak kecil, mana mungkin cuma gara-gara aku putus hubungan, mereka jadi musuhan.

Aku ini siapa sampai bikin masalah besar!

Hendra Wijaya menatapnya sebentar, lalu melirik ke arah belakang tempat Lucas Tanoto memeluk pacar barunya dengan wajah muram. Matanya berubah dingin.

“Mau cari dia?”

Rina Wulan menggeleng, “Bukan, saya cuma lewat…”

Belum selesai bicara, tiba-tiba terdengar suara mengetuk pintu keras-keras, “Rina Wulan, keluar sana! Aku tahu kamu di dalam.”

Hendra Wijaya jelas merasakan tubuh di pelukannya mengecil ketakutan.

Dia menyipitkan mata memandang pintu, lalu mengulurkan tangan hendak membuka.

“Jangan!” Rina Wulan spontan menggenggam pergelangan tangannya, tatapannya penuh permohonan.

Hendra Wijaya menggeser tangannya, tetap membuka pintu.

Rina Wulan menutup mata dengan putus asa.

Pintu terbuka hanya selebar celah kecil, memperlihatkan wajah Hendra Wijaya yang terganggu dan dingin.

Pak Chandra yang mengetuk terpaku kaget, lalu wajahnya berubah panik, “Mas… Mas Wijaya?!”

“Ada apa?” Suara Hendra Wijaya dingin, mengandung ancaman tersamar.

Pak Chandra gontai menggeleng cepat, “Tidak, tidak ada apa-apa, saya salah kamar! Maaf ya, Mas Wijaya, saya pergi sekarang!”

Setelah itu ia berbalik lari tanpa menoleh.

Di dalam, mendengar langkah kaki menjauh, Rina Wulan menghela napas lega sambil menatap Hendra Wijaya.

Namun pria itu langsung berjalan melewatinya tanpa sepatah kata.

“Kamu boleh pergi.” Nada suaranya dingin sekali, seolah mereka tak saling kenal.

Tatapan Rina Wulan terhenti sesaat, lalu ia tersenyum pahit.

Ia tahu bagi keluarga kaya raya macam mereka, dirinya hanyalah hiburan semata.

Mungkin bahkan bukan hiburan sekalipun.

Beberapa hari ini dia tidak menghubungi atau mencari-cari dia, hanya menebak bahwa perkataan Hendra waktu itu cuma bercanda.

Dia tak berani percaya, berharap mendapat kepastian lebih banyak darinya.

Sayangnya, ternyata semua itu hanya angan kosong.

Apa yang dikatakan pria itu di ranjang memang tak dapat dipercaya.

Terutama orang seperti Hendra Wijaya, yang dikelilingi perempuan cantik dan seksi berlimpah, apa istimewanya aku sampai dia ingat?

Rina Wulan tersenyum sinis, berbalik meninggalkan ruangan.

Diluar memang tidak terlihat bayangan Pak Chandra lagi. Ia berjalan menuju jendela, ingin menghirup udara dingin untuk menenangkan diri.

Di luar jendela ada sebuah balkon kecil. Rina Wulan melangkah ke sana dan berdiri di tepi.

Jika melangkah satu langkah lagi, dia akan terjatuh.

Ini lantai dua, meski jatuh pun tidak sampai mati.

Tapi Rina Wulan tidak berniat bunuh diri. Dia hanya berdiri di situ, mencoba mengangkat kaki seakan ingin melompat.

Tiba-tiba pergelangan tangannya ditangkap erat, tubuhnya diseret mundur dan dilempar ke dinding samping.

Bahunya membentur tembok keras, sakit membuatnya mengernyit.

“Lihat nih, sudah punya yang baru terus merasa hidup nggak berarti? Sayang banget, lompat dari sini juga nggak bakal mati kok.”

Campuran aroma tembakau dan mint segar menyeruak. Rina Wulan terkejut menatap mata Hendra Wijaya yang dingin menusuk.

“Kok kamu?”

Bukankah tadi dia mau kumpul sama teman-teman Lucas? Kenapa bisa muncul di sini?

“Kecewa lihat aku?”

Rina Wulan menggeleng, hendak bicara, tapi suara Pak Chandra terdengar dari luar.

“Nona Wulan? Jangan sembunyi dong, aku lihat kamu naik ke balkon. Kalau kamu nggak keluar, aku ikut naik cari kamu, ya!”

Suara mesum dan menjijikkan itu membuat wajah Rina Wulan pucat, ia spontan berlindung di pelukan Hendra Wijaya.

Tak disangka, setelah membuatnya takut tadi, pria itu tak pergi jauh, malah masih berada dekat situ.

Begitu dia keluar, langsung mengikuti.

Dulu sempat mau dorong dia menjauh, sekarang malah manja masuk pelukan?

Hendra Wijaya menaikkan alis melihat Rina Wulan yang tampak seperti kelinci ketakutan.

Rina Wulan pernah dijual sebagai alat pernikahan oleh keluarga Santoso, yang mati-matian ingin menggunakan wajahnya untuk mendekati keluarga kaya raya lain. Kisah itu menjadi bahan tertawaan di kalangan sosial mereka.

Baru kali ini dia benar-benar bertemu langsung.

Tahu saja beda dengan membantu itu beda hal.

Melihat ekspresi pria itu seperti sedang menikmati drama, hati Rina Wulan membeku dingin. Dia sadar kalau tidak meminta tolong duluan, pria itu tidak akan bergerak.

Meskipun dia minta, belum tentu juga dibantu.

Tapi sekarang dia tak punya pilihan lain. Hendra Wijaya adalah jalan terakhirnya.

Dengan bibir terkulum, suara lirih penuh rendah hati, dia memohon, “Tolong, bisakah kau usir orang di luar itu?”

Nada suaranya hampir merendahkan diri sendiri, rasa malu membuatnya mencengkram telapak tangan hingga putih.

“Kamu baru inget aku pas butuh bantuan? Kok aku keliatan baik banget ya?”

Rina Wulan terdiam, mengulang ucapan itu dalam pikirannya, mencoba menangkap maksud tersembunyi.

Apakah dia marah karena beberapa hari ini tidak dihubungi?

Kenapa?

Padahal dia patuh dan tidak merepotkan, bukankah itu harusnya hal bagus?

“Aku kira kamu suka cewek yang paham batasan dan sopan santun!”

Matanya yang bening basah memancarkan penyesalan dan kebingungan. Satu tangan menggenggam ujung baju Hendra, tangan lainnya menyentuh dadanya, ujung jari mengusap tonjolan kecil dan menggaruk lembut.

Tubuh pria itu tiba-tiba kaku, nafasnya tersendat.

Mata lelaki itu terang-terangan menunjukkan hasrat. Mengingat malam itu betapa dia begitu ingin memilikinya, Rina yakin pria itu menyukai tubuhnya.

Kalau begitu, dia tahu bagaimana cara membuatnya membantu.

Rina Wulan berdiri di ujung kaki, lalu langsung menciumnya.

Saat bibir mereka bersentuhan, tangan yang memeluk pinggangnya tiba-tiba mengencang.

Mata Rina berbinar bangga, sudut bibir terangkat.

Sepertinya tebakan saya benar!

Teknik ciumannya memang biasa-biasa saja, terasa seperti digigit kasar.

Tapi bibirnya lembut, pinggang ramping dan lentur, leher jenjang sangat menggoda.

Saat dia sedikit mendongak, lekuk tubuhnya hampir memikat.

Napas Hendra Wijaya berubah berat, dia mencengkram pinggang Rina dan mengangkatnya duduk di pagar pembatas.

Pria itu tinggi, posisi Rina tepat bisa melingkarkan kedua kaki di pinggangnya.

Dia pun membuka kedua kaki, menempelkan tubuhnya sesuai tekanan pria itu, merasakan panas membara di bawah perutnya yang menyentuh tubuhnya. Rina mengeluarkan tawa genit yang sangat menggoda.

“Gak nyangka ya, Mas Wijaya yang terkenal pendiam dan kalem, ternyata panas juga…”

Ucapan itu belum selesai, bibir pria itu sudah menutup mulutnya.

Satu tangan mencengkeram pinggangnya, satunya lagi menyelinap ke bawah rok.

“Kamu memang seperti kabar burung, gak tahan kesepian ya!”

Bab Sebelumnya
Bab Selanjutnya