Bab [5]

Rina Wulan merasakan hatinya seperti tertusuk sesuatu, tanpa sadar dia ingin mundur langkah.

Dia tahu betul itu adalah kali pertama baginya.

Meski terjadi di dalam mobil dan bercak darah hilang entah ke mana, tapi Hendra Wijaya jelas merasakannya juga.

Namun sekarang, dia malah menggunakan kata-kata hinaan seperti itu terhadapnya.

Memang benar Rina ingin lepas dari cengkeraman Bibi, tapi bukan berarti dia rela melemparkan seluruh harga dirinya ke tanah untuk diinjak-injak orang lain.

Menyadari niat Rina hendak melarikan diri, pria itu terkekeh sinis.

“Kok cuma sekali kau marah? Lucas Tanoto yang peluk dan cium perempuan lain depan matamu saja kau diam-diam saja, kenapa sekarang jadi tidak tahan?”

Rina terkejut sejenak, lalu spontan menjawab, “Kalau dia peluk siapa dan cium siapa, apa urusanku? Aku kan gak cinta sama dia.”

Hendra Wijaya tiba-tiba menatap tajam dengan mata hitam pekat penuh misteri.

Pria itu mencengkeram pinggangnya erat, tubuh bagian bawah menekan Rina bagaikan harimau buas yang sewaktu-waktu siap menerkam dan mengoyaknya.

“Katakan lagi!”

Ditelunjuk seperti pistol, Rina tak berani membantah, “Aku bilang, aku memang gak cinta sama dia.”

“Gak cinta, kok kamu lamar dia?” Hendra tersenyum mengejek.

Rina dengan tegas menjawab, “Gak cinta bukan berarti gak boleh melamar. Aku melamar bukan buat nikah, ini cuma strategi sementara!”

Dalam situasi waktu itu, bisa membuat Lucas Tanoto terikat janji dapat mengurangi banyak masalah dan memberi waktu cukup.

Semua sudah direncanakannya matang-matang, hanya satu hal yang tak diduga: Lucas Tanoto berbalik saat detik-detik terakhir, bilang pacaran dengannya cuma taruhan dan mustahil membiarkannya masuk keluarga Tanoto!

Kalau jumlah orang yang hadir sedikit, mungkin dia rela menelan rasa sakit demi kabur dari keluarga Bibi.

Tapi sayangnya, saat itu terlalu banyak saksi.

Untuk lamaran, dia memanggil semua teman-teman mereka.

Hal itu tak mungkin disembunyikan, dia harus putus dan mencari cara lain.

Hendra mulai paham maksud "strategi sementara" yang dimaksud Rina, wajah dinginnya pun sedikit melunak.

“Kalau dia tahu kamu menghitung-hitung begitu, pasti dia gak akan membiarkanmu pergi begitu saja!”

Berdiri di dekat tembok semen, Rina merasa agak tak nyaman, bergeser sedikit hingga panas dari tubuh lelaki menyentuh area pribadinya melalui celana dalam tipis.

Membuat napas Hendra terengah, jarinya dengan sengaja membuka celana dalam itu dan langsung menyelip masuk!

“Aaah…” Rina tak kuasa menahan, terdengar suara lirih penuh kecemasan.

Tangannya menggenggam bahu Hendra, matanya berbinar bingung seperti rubah kecil.

“Di luar… di luar masih ada orang…”

Di luar, Pak Chandra mendengar suara wanita yang tertahan di balkon kecil, buru-buru mendorong pintu hendak masuk.

Namun baru buka pintu, terdengar amukan dingin, “Pergi!”

Hendra menoleh, tatapannya dingin tanpa setitik hangat.

Pak Chandra kaget, lagi-lagi ketemu ‘abang tua’ ini!

“Maaf Pak Wijaya, saya ganggu ya, saya segera pergi!” sergah Pak Chandra sambil terburu-buru keluar.

Sebelum pergi, ia sempat menoleh.

Sekilas terlihat Hendra memeluk seorang wanita dalam balutan gaun pesta, kaki jenjang wanita itu melingkar di pinggangnya, betis yang tergelincir ikut goyang mengikuti gerakan cepat pria itu.

Walau wajah wanita tak tampak jelas, dari bentuk kaki dan pinggangnya sudah jelas dia sosok yang menggoda.

Wajar saja pewaris keluarga Wijaya makan enak begini.

Pintu ditutup rapat, kekhawatiran terakhir Rina sirna, namun pria itu kembali menghujam beberapa kali, membuatnya tak tahan mengeluarkan desahan patah hati.

Suasana semakin panas, tiba-tiba ponsel Hendra di saku bergetar.

Rina kira dia tak akan angkat, tapi pria itu sambil terus bergerak mengambil telepon.

Melihat nomor yang muncul, dia melirik sinis ke arahnya, lalu menggeser layar dan mengaktifkan speaker.

Suara Lucas Tanoto terdengar dari telepon, “Hendra, baru duduk kok kamu udah ngilang lagi? Apa kena sihir cewek nakal?”

Mendengar suara Lucas, Rina panik menutup mulut rapat-rapat agar tak bersuara sedikit pun.

Takut diketahui oleh Lucas.

Hendra sadar akan ketakutannya, sengaja menggebukkan tubuh beberapa kali sehingga hampir membuat Rina menjerit.

Dia pandangi dengan tatapan kesal, laki-laki ini memang sengaja.

Senang melihatnya malu?

Dasar sifat buruk!

Seolah tak peduli, Hendra bertanya pada lawan bicara di telepon, “Siapa sih cewek nakal yang kamu maksud?”

Suara Lucas berhenti sesaat, kemudian terdengar marah dan kesal.

“Terserah mau siapa aja, gak ada hubunganku.”

“Kamu urusin urusanmu dulu dong, masa aku nelpon kamu gak boleh?”

“Aku ajak main kamu, kamu hilang gitu aja, masa aku gak boleh tanya? Sudahlah, anggap aku sok ikut campur, mau apa aja deh!”

Lucas mengomel lalu memutus panggilan.

Tapi yang mengenalnya tahu, makin marah dia makin gugup.

Rina terkekeh kecil, “Kalau gak tau, orang kira kalian berdua pacaran.”

Soalnya nada Lucas tadi sangat cemburu.

Hendra memasukkan ponsel ke saku, menatap Rina.

“Baru berani ngomong sekarang? Tadi siapa yang kayak burung puyuh, takut bersuara takut dia tahu kamu jalan sama cowok lain?”

Takut?

Kalau masih peduli atau sayang pasti takut, tapi Rina sudah tidak punya dua perasaan itu untuk Lucas.

Jadi tidak ada.

Dia menatap Hendra, “Aku cuma capek ribet, kamu tau sendiri dia kalau marah… repot banget!”

Saat Lucas pertama kali beli semua layar elektronik kota untuk melamar, dia tolak karena sudah suka orang lain.

Lalu selama tiga bulan berikutnya, Lucas membersihkan semua cowok yang dekat dengannya.

Bikin lama-lama gak ada cowok yang berani datang lebih dari seratus meter darinya.

Setelah tetap menolak, bahkan teman ceweknya juga dibersihkan!

Terpaksa Rina setuju.

Kalau gak, keluarga Santoso dan keluarga Wulan bisa kena imbas.

Hendra mikir sebentar, memang merepotkan!

Simbol maskulin pria itu masih di dalam tubuhnya, tapi mereka malah ngobrolin soal cowok lain.

Dan cowok itu mantannya.

Rina merasa agak canggung.

Akhirnya dia bergerak sedikit, “Lanjut atau enggak? Kalau enggak, turunin aku.”

Gerakannya membuat Hendra menarik napas dalam.

Cengkraman di pinggangnya makin kuat, senyum licik terukir di bibir pria itu, “Sesuai permintaanmu!”

Rina merasa pantatnya hampir gosong, kulitnya pasti lecet parah, panas menyengat.

Akhirnya dia minta ampun, barulah Hendra sedikit melepasnya.

Setelah membereskan diri, Hendra menawarkan antar pulang.

Mengancingkan celana, dia berubah menjadi tuan muda keluarga Wijaya yang dingin dan anggun.

Rina sampai sedikit linglung, apakah pria yang hampir membuatnya hancur tadi benar-benar orang yang sama?

Hendra mengantar Rina pulang ke keluarga Santoso, sebab Luna Hartono selalu melarangnya pindah rumah supaya mudah dikendalikan.

Ketika turun dari mobil, Rina membuka mulut hendak meminta dia menemani masuk, tapi akhirnya tak mampu mengucapkannya.

Dia sudah diselamatkan sekali, hari ini sekali lagi.

Kalau sampai tiga kali, dia yang bakal dianggap tidak tahu diri!

Bab Sebelumnya
Bab Selanjutnya