Bab [6]

“Mas Wijaya, terima kasih ya hari ini.”

Rina Wulan menutup pikirannya sejenak dan tersenyum pada Hendra Wijaya.

“Terima kasih untuk apa?”

Hendra Wijaya meletakkan satu tangan di setir, matanya mengikuti naik dari betis Rina Wulan hingga akhirnya berhenti di wajahnya.

“Terima kasih sudah mengantarku pulang.”

Rina Wulan sedikit terhenti, ekspresinya tetap datar tanpa membalas omongan Hendra Wijaya.

“Kalo mau bilang terima kasih, tunjukkan yang nyata dong.”

Hendra Wijaya mengangkat alis, sebelum Rina Wulan sempat menjawab ia sudah memutar kunci kontak mobil. Lalu dengan santai dia berkata, “Jangan sampai aku kecewa sama hadiahnya.”

Setelah itu, mobil melaju meninggalkan Rina Wulan yang hanya bisa menghirup asap knalpot memenuhi paru-parunya.

Kalau terakhir kali yang diminta adalah ketulusan, kini yang diinginkan adalah sesuatu yang konkret. Rina Wulan tahu maksudnya, bersyukur tadi tidak membuka mulut.

Saat mobil Hendra Wijaya semakin jauh, Rina Wulan menarik napas dalam-dalam lalu mendorong pintu vila terbuka.

Benar saja, Luna Hartono sudah menunggunya di ruang tamu.

Ia bukan cuma membuat Pak Chandra tak dapat keuntungan, tapi juga menendangnya sekali. Karena Luna Hartono gagal mendapatkan apa yang diinginkannya, tentu saja ia ingin menagih perhitungan pada Rina Wulan.

Rina Wulan berjalan ke arah Luna Hartono, diam menunggu hukuman dijatuhkan.

“Bu Wati, air kolam renang sudah diganti belum?”

Luna Hartono menatap dingin ke arahnya, namun suaranya ditujukan ke halaman belakang vila.

“Sudah, Nyonya.”

Mendengar suara itu, Bu Wati buru-buru keluar dari belakang, wajahnya penuh sikap manis kepada Luna Hartono sekaligus menyiratkan iba pada Rina Wulan.

“Ayo.”

Baru setelah itu Luna Hartono berdiri, mengeluarkan dua kata tajam untuk Rina Wulan.

Rina Wulan pasrah mengangguk, melangkah perlahan menuju halaman belakang.

Sejak kecil, tempat ini selalu menjadi mimpi buruk baginya.

Setiap kali melakukan kesalahan, Luna Hartono membawa Rina Wulan ke sini untuk dihukum.

Di pinggir kolam renang sudah menunggu beberapa penjaga keamanan, kamera terpasang di empat sisi, mengarah tepat ke tengah kolam.

“Lepaskan bajumu.”

Luna Hartono berjalan santai duduk di kursi malas tepi kolam, Rina Wulan ragu sebentar, lalu pelan-pelan membuka resleting bajunya.

Bekas luka di tubuhnya terlihat jelas, rasa malu menyeruak, tapi hukuman harus diterima.

Sejak kecil, Luna Hartono sangat memperhatikan pembinaan Rina Wulan, bahkan tidak membolehkan sedikit pun luka fisik tampak. Maka hukuman berupa latihan keterampilan yang menyakitkan tapi tersembunyi bagi orang luar jadi pilihannya.

Air kolam tidak terlalu dalam, setiap tahun disesuaikan dengan tinggi badan Rina Wulan, cukup agar tidak tenggelam tapi juga hampir mencapai hidungnya. Ia harus berdiri tegak sambil mendongak dan bertumpu ujung kaki supaya tidak tersedak.

Kolam renang terbuka, empat kamera merekam segala aib dan kehancurannya.

Sambil menikmati segelas anggur merah, Luna Hartono melotot dingin pada Rina Wulan, mengucapkan dengan nada berat, “Besok, kamu harus minta maaf langsung ke Pak Chandra.”

Rina Wulan tidak menjawab, menatap langit malam yang gelap pekat, kemudian menutup mata dalam diam.

Awal musim kemarau Jakarta, siang hari memang tidak terlalu dingin, tapi malam turun suhu sampai lebih dari sepuluh derajat.

Rina Wulan berendam dalam air, mempertahankan posisi tetap sama. Tubuhnya mulai kaku, jika istirahat sebentar maka air akan masuk ke hidungnya.

Dia terus-terusan tersedak, bertahan tiga jam di dalam air. Hampir pingsan, baru Luna Hartono memerintahkan seseorang mengangkatnya keluar.

Rina Wulan dilempar begitu saja di pinggir kolam, para penjaga sudah pergi semua. Ia menggigil, tubuh telanjang dilipat sedemikian rupa.

Ia harus kuat, begitu melewati seleksi ulang perusahaan asing, ia bebas dari sini, tak pernah kembali lagi seumur hidup. Meski Luna Hartono punya banyak cara menghancurkannya, tapi kekuasaan itu tak sampai ke luar negeri.

Setelah meredakan kaku tubuhnya, Rina Wulan bangkit, bersandar pada dinding menuju kamar sendiri.

Vila gelap gulita, semua orang sudah tidur.

Ia asal mengambil daster dari lemari, mengenakannya lalu menyelubungi diri dalam selimut.

Begini terus tidak akan selesai, kalau Luna Hartono terus mempermainkannya seperti ini, mungkin ia akan mati sebelum keberangkatan ke luar negeri.

Memikirkan hal itu, Rina Wulan mengeluarkan ponselnya, membuka WhatsApp Hendra Wijaya, mengetik pesan.

“Mas Wijaya, besok ada waktu? Aku mau ucapin terima kasih.”

“Tidak bisa.”

Pesan dibalas hampir seketika, membuat Rina Wulan agak terkejut karena ternyata dia belum tidur, tapi dua kata itu membuatnya kecewa.

“Kalau lusa?”

“Nanti aku kabari.”

Hendra Wijaya tidak langsung memberi jawaban pasti, apapun yang dikirim Rina Wulan berikutnya, tidak ada balasan lagi. Saat teringat Luna Hartono menyuruhnya minta maaf esok hari, gugup membuatnya nekat menelepon.

Telepon berbunyi dua kali tapi tidak diangkat, hendak memutus tiba-tiba terdengar suara Hendra Wijaya.

“Kenapa buru-buru banget sih?”

Rina Wulan terdiam sesaat, lalu tertawa ringan, “Iya nih, Mas Wijaya jago dan baik hati, makanya aku pengen cepet-cepet balas budi.”

Kali ini giliran Hendra Wijaya terdiam, suara Rina Wulan agak berbeda, serak-serak gitu, kedengaran gumaman.

“Aku ada acara besok, nanti aku kabari.”

Dengan kata-kata itu, Rina Wulan tak enak melanjutkan bicara, hanya bisa lembut berkata, “Oke, Mas Wijaya cepat istirahat ya.”

Hendra Wijaya tidak membalas, langsung memutus telepon.

“Ah…tus!”

Setelah telepon putus, Rina Wulan tak tahan bersin berkali-kali. Tadinya ia menahan, sekarang rileks malah kepala terasa pening.

Kelihatannya permintaan maaf besok tak bisa dielakkan.

Tanpa sadar Rina Wulan tertidur, saat terbangun sudah sore hari.

Luna Hartono berdiri di samping ranjang, menunduk memandangnya dengan tatapan sinis. Bu Wati membawa segelas air dan obat, menatapnya dengan prihatin.

“Sudah jam tiga, ngapain pura-pura tidur? Minum obat flu dulu, siap-siap pergi ketemu Pak Chandra.”

Luna Hartono melihat jam, kemudian berkata lagi, “Jam enam ada makan malam, jangan terlambat.”

Rina Wulan tertegun dua detik, menatap Bu Wati, pikirannya mulai fokus. Ia menerima pil, minum air lalu menelan.

Tenggorokannya panas dan sakit, Rina Wulan merapikan diri, memakai makeup tipis sesuai permintaan Luna Hartono. Memakai gaun panjang di bawah lutut, penampilannya jadi lebih polos.

“Ayo, makan malam sama Pak Chandra dengan baik.”

Sebelum keluar, Luna Hartono memasukkan kartu kamar ke tasnya, nada suaranya seperti ancaman.

“Siap.”

Rina Wulan mengangguk, pura-pura tidak peduli lalu naik mobil sopir.

Mobil melaju menuju hotel, sesekali ia membuka ponsel mengecek pesan dari Hendra Wijaya. Tidak ada satupun pesan baru, ia kehilangan keberanian untuk menelepon langsung.

Bagaimana nanti caranya keluar dari situ?

Pikirannya sibuk, mobil sudah berhenti di depan hotel. Rina Wulan tersadar, enggan turun.

Sopir melihatnya masuk gedung, baru kemudian menghubungi Luna Hartono lewat ponsel.

Rina Wulan naik lift, sampai lantai tiga restoran. Pak Chandra sudah duduk menunggu.

Ia menggigit bibir, melangkah perlahan. Baru hendak duduk, Pak Chandra langsung menarik pergelangan tangannya, duduk di sebelah.

“Rina, kamu duduk sini biar aku gampang jagain.”

Bab Sebelumnya
Bab Selanjutnya