Bab [7]

Pak Chandra memanfaatkan momen itu untuk meletakkan tangannya di pinggang Rina Wulan, agak nakal tapi tak berani terlalu terang-terangan.

“Terima kasih, Pak Chandra.”

Rina Wulan tersenyum kaku, sedikit menggeser tubuhnya menjauh dari sentuhan tangan iseng itu, tapi malah membuat Pak Chandra semakin leluasa menyentuhnya.

Dari sudut pandang orang lain, tampak seperti permainan tarik-ulur antara menolak dan menerima, penuh godaan mesra.

“Pak Chandra, kemarin saya tidak sengaja. Setelah tidak menemukan Bapak, saya pulang duluan.”

Rina Wulan menahan rasa mual, sambil tersenyum mengambilkan sepotong daging ke piring Pak Chandra.

“Tidak apa-apa, saya tidak akan marah kok.”

Pak Chandra tertawa licik, menuangkan sendiri segelas anggur merah dan menyerahkan ke depan Rina Wulan, “Rina, ayo kita minum bersama.”

“Pak Chandra, kemarin saya kena hukuman dari Ibu Bibi, sedang flu juga, sudah minum obat jadi nggak boleh minum alkohol. Bapak saja yang minum, saya bantu tuang,” kata Rina Wulan dengan ekspresi memelas.

“Kalau begitu oke.”

Pak Chandra langsung meneguk habis gelasnya, Rina Wulan bertepuk tangan pelan, “Wah, hebat sekali Pak Chandra, tahan banting banget, minum lagi satu gelas dong.”

Satu gelas demi satu gelas, botol anggur hampir kosong, Pak Chandra pun mulai bicara cadel karena pengaruh minuman.

“Pak Chandra, Ibu Bibi suruh saya tanya, apakah kerja sama yang Bapak janjikan…”

Rina Wulan melihat waktu yang tepat baru berani membuka mulut dengan hati-hati.

“Tentu saja tidak masalah, asalkan kamu… buat aku senang, kerja sama pasti lancar.”

Pak Chandra merangkul bahu Rina Wulan, mendekatkan wajahnya sampai nyaris bersentuhan.

“Pak Chandra, ayo kita ke kamar saja, banyak orang di sini.”

Rina Wulan tanpa terlihat emosi mendorong Pak Chandra, kemudian membantunya berdiri.

Karena mabuk, Pak Chandra tak menolak, bergoyang-goyang mengikuti Rina Wulan masuk ke lift. Saat pintu lift hendak tertutup, tiba-tiba sebuah tangan menahan pintu.

Detik berikutnya pintu terbuka kembali, Hendra Wijaya muncul mengenakan setelan rapi berjalan masuk perlahan.

Saat itu Pak Chandra bersandar pada Rina Wulan, tatapannya sayu jelas sangat mabuk.

Wajah Rina Wulan membeku, bingung harus berkata apa, akhirnya ia menoleh ke samping pura-pura tak melihat apa-apa.

Hendra Wijaya tanpa ekspresi berdiri di sebelah kanan Rina Wulan, pintu lift tertutup perlahan, suasana dalam lift menjadi sunyi.

Rina Wulan melihat dia menekan tombol lantai atas, sepanjang perjalanan menahan napas, tak berani bicara apalagi tahu harus bilang apa.

Lift segera sampai, Rina Wulan menarik Pak Chandra turun, hendak pergi, namun lengannya ditarik seseorang, lalu serangkaian tenaga membawa dirinya kembali ke dalam lift. Sementara Pak Chandra mendapat tendangan keras dari belakang, terjungkal dua langkah jatuh pingsan tak sadarkan diri.

“Hendra… uh…”

Rina Wulan terjebak di pojok lift, Hendra Wijaya menopang pinggangnya dengan satu tangan, tangan satunya mencengkram dagunya, lidahnya mudah melonggarkan bibir Rina, mulai menggoda.

Sepertinya Hendra kesal berat, makanya pakainya tenaga cukup besar, Rina Wulan hanya bisa menahan sakit di bibir, membalas dengan hati-hati hingga gerakannya menjadi lebih lembut.

Tak lama lift sampai lantai paling atas, Hendra Wijaya enggan melepasnya, mengangkat pantatnya dengan satu tangan, lalu membawanya keluar lift dengan cara dipangku.

“Kamu datang menemani pria tua ini ke kamar, begini balasanmu?”

Di lorong, Hendra Wijaya menepuk pantat Rina Wulan dingin sambil mengejek.

Tepukan itu ringan, tapi membuat pipi Rina langsung memerah. Sepanjang hidupnya belum pernah merasa malu seperti ini, pertama kali dipukul pantat orang lain sungguh memalukan.

“Kamu kan bilang ada acara dinas tadi malam?”

Rina Wulan tak menjelaskan apapun, cuma manja protes dengan suara serak lirih, barulah Hendra sadar ada yang aneh.

“Flu ya?”

“Iya.”

Rina Wulan mengangguk, lalu tersenyum, “Tapi nggak masalah kok.”

“Kamu memang kuat.”

Hendra Wijaya bicara sambil membuka pintu presidential suite, Rina Wulan tergantung di badannya, kedua kaki tak menyentuh lantai.

Dari pintu masuk ke ruang tamu, lalu ke kamar tidur, kepala Rina terasa berat, gelombang gairah silih berganti menerpa, setiap kali hampir tertidur selalu dibangunkan lagi.

Tubuhnya seolah tak kenal lelah, membuatnya terpaksa memohon agar Hendra berhenti, baru deh diberi kelonggaran.

Rina Wulan tertidur dalam keadaan setengah sadar, bangun saat tengah hari esoknya.

Kamar hotel kosong, Hendra Wijaya sudah tiada jejak.

Rina Wulan bangkit dari tempat tidur, tenggorokannya seperti tertusuk pisau pedas, badan pegal seperti habis dilindas mobil.

Mengambil pakaian di lantai, memakai seadanya, setelah cuci muka sebentar, Rina melangkah ke ruang tamu, mengambil tas dari lantai, mencari ponselnya.

Benar saja, banyak panggilan tak terjawab dari Luna Hartono.

Malam kemarin Pak Chandra gagal makan, pasti Luna bakal marah-marah lagi.

Memikirkan hal itu membuat Rina kesal, memasukkan ponsel ke saku, berjalan keluar. Saat lewat restoran, bel pintu berbunyi.

Rina berhenti, membuka pintu.

Hendra Wijaya berdiri di luar, mata mereka bertemu sesaat, Rina tak menyangka dia akan kembali.

“Kamu mau pergi?”

Hendra Wijaya mengangkat alis, memperhatikan Rina sekilas.

“Iya, sudah waktunya pulang.”

Suara Rina parau, tak menyangkal.

“Aku antar.”

Hendra Wijaya menyerahkan sesuatu ke tangan Rina, lalu berbalik berjalan keluar.

Rina menunduk melihat barang di tangannya, ada obat flu dan bakpao hangat.

Hatinya sedikit tersentuh, tapi cepat sadar bahwa Hendra semalam meminta dirinya berkali-kali, walau tahu Rina sedang sakit, tetap menunjukkan perhatian minimal. Kalau salah pikir, berarti dia kurang paham diri.

Rina segera mengikuti langkah Hendra, keduanya naik lift bersama tanpa sepatah kata.

Setibanya di parkiran bawah tanah, Rina hendak naik mobil, tapi melihat kerutan tipis di dahinya, kaki Hendra yang melangkah mundur tiba-tiba berhenti.

Sebelum sempat bicara, ponsel Rina berdering, nomor Luna Hartono lagi.

Ragu sejenak, akhirnya dia berkata kepada Hendra, “Mas Wijaya, aku ingat ada urusan yang belum selesai, kamu pergi dulu saja, ya?”

Dia tak ingin Hendra dengar ocehan Luna, setidaknya ingin menjaga harga dirinya.

Hendra Wijaya menatapnya sekali, tanpa ragu menghidupkan mesin mobil dan pergi.

“….”

Rina sedikit speechless, menatap ekor mobil Hendra, lalu mengangkat telepon.

Tidak seperti bayangan akan dimarahi, suara Luna justru jauh lebih lembut dari biasanya, hanya bertanya santai, “Rina, kenapa baru angkat? Masih sakit ya?”

Rina merasa hangat di hati, suaranya serak menjawab, “Aku baru bangun, sudah agak baikan.”

“Sakit segitu parah, kamu sekarang di mana? Aku kirim orang antar ke rumah sakit.”

Bab Sebelumnya
Bab Selanjutnya