Bab [8]
“Tidak perlu, Bibi. Aku akan pulang sebentar lagi.”
Rina Wulan sudah lama tidak mengalami flu atau demam. Terakhir kali dia kena hukuman itu lebih dari dua tahun lalu. Selama dua tahun bersama Lucas Tanoto, Luna Hartono jarang menyulitkannya.
“Kalau begitu, cepatlah kembali ya. Nanti aku suruh Bu Wati buatkan sup ayam untukmu supaya cepat sembuh.”
Luna Hartono tak memaksa lagi dan langsung menutup telepon setelah berkata demikian.
Rina Wulan menyimpan ponselnya, berusaha mengatasi rasa pegal di tubuhnya sambil berjalan keluar hotel dan memanggil taksi pulang.
Di dalam mobil, ia mengeluarkan obat flu dari tas dan meminumnya. Rina memang sudah terbiasa selama ini tidak makan di luar agar selalu terlihat anggun seperti seorang wanita terhormat.
Sementara itu, di sisi lain.
Hendra Wijaya mengemudi kembali ke kantornya dan segera memanggil asistennya, Agus Pratama, masuk ke ruang kerjanya.
“Pak Wijaya, ini laporan keuangan kuartal ini.”
Agus Pratama meletakkan sebuah dokumen di depan Hendra Wijaya.
Hendra Wijaya melirik sekilas, tiba-tiba seolah teringat sesuatu, kemudian menatap Agus Pratama, “Daftar tamu untuk acara amal dua hari lagi sudah final?”
“Sudah, Pak. Ini daftarnya.”
Agus Pratama membuka tablet dan menunjukkan daftar tersebut kepada Hendra Wijaya.
“Apakah keluarga Santoso diundang?”
Hendra Wijaya bertanya tanpa melihat dokumen itu, dengan nada santai.
“Keluarga Santoso perusahaannya kecil, tidak memberikan kontribusi berarti bagi Grup Wijaya, jadi tidak termasuk undangan. Apakah Bapak ingin menaikkan posisi keluarga Santoso?”
Agus Pratama sedikit terkejut dan mencoba menebak maksud bosnya. Namun Hendra hanya menunduk pelan dan berkata dingin, “Kenapa aku harus menaikkan posisi keluarga Santoso?”
Suara Hendra Wijaya tenang tapi membawa tekanan yang sulit dijelaskan.
“Maaf, Pak. Saya terlalu banyak bicara.”
Agus Pratama mengusap keringat dingin. Acara amal Grup Wijaya biasanya hanya mengundang kalangan elite dan bangsawan ternama; keluarga Santoso dianggap tidak layak bahkan untuk melewati pintu masuk.
Awalnya ia pikir karena belakangan Hendra sering dekat dengan Rina Wulan, mungkin ada pengecualian. Tapi ternyata itu hanya harapan kosong.
Dalam kamus Hendra Wijaya, hanya ada satu aturan: kepentingan utama adalah segalanya. Pengecualian? Mungkin cuma satu orang saja.
Beberapa hari lalu terdengar kabar bahwa orang itu kemungkinan besar akan kembali.
……
Rina Wulan sampai di vila, Bu Wati sudah menyiapkan sup ayam hangat. Meski nafsu makannya kurang, atas permintaan Luna Hartono, ia tetap meminum semangkuk sup itu.
“Rina, nanti istirahat yang cukup ya. Beberapa hari ini benar-benar rawat diri di rumah.”
Di meja makan, mata Luna Hartono menyiratkan senyum lembut yang jarang terlihat darinya. Rina Wulan merasa agak canggung menghadapi sikap penuh perhatian seperti itu.
“Bu Wati, tolong jaga Rina baik-baik beberapa hari ini sampai sembuh.”
“Baik, Nyonya.”
Bu Wati mengangguk mantap.
“Terima kasih, Bibi. Aku kenyang sekarang, mau naik ke kamar istirahat.”
Kepala Rina Wulan masih sakit berat. Saat hendak berdiri dan pergi, Luna Hartono memanggilnya.
“Tunggu dulu, Rina.”
Rina Wulan berbalik dengan raut wajah penasaran menatap Luna Hartono.
“Dua hari lagi Grup Wijaya akan mengadakan pesta amal, kamu tahu kan?”
Luna Hartono menatap Rina dengan penuh arti. Rina terdiam sesaat, baru ingat.
Setiap tahun Grup Wijaya pasti menggelar acara bergengsi ini. Dulu saat masih bersama Lucas Tanoto, Rina pernah ikut hadir. Kini tanpa hubungan dengan Lucas, Luna Hartono jelas tak bisa masuk ke acara sebesar itu.
“Tahu, tapi aku dan Lucas putus dengan cara buruk. Dia pasti tidak akan mengajakku lagi.”
Rina menatap sup di depannya dengan hati dingin. Ia tahu perhatian Luna Hartono selalu ada syaratnya.
“Kalau begitu kamu bisa minta Mas Wijaya dong. Kan akhir-akhir ini kalian makin dekat? Suruh dia kirim undangan khusus, gampang banget kok. Cuma tinggal manja-manji dikit aja.”
Luna Hartono mendekat, menggenggam tangan Rina dan mengelus lembut.
“Hendra Wijaya sama aku belum sampai tahap itu.”
Rina menarik tangannya perlahan dari genggaman Luna Hartono. Acara sebesar Grup Wijaya, semua orang berebut masuk. Baginya, dia bukan siapa-siapa di hadapan Hendra Wijaya. Apa alasan dia meminta undangan untuk keluarga Santoso?
“Kamu tidur sama dia saja belum, belum sampai tahap itu? Jangan kira aku nggak tahu kalian ngapain tadi malam, Rina Wulan. Semua yang aku ajarkan padamu hilang sia-sia di perut anjing? Kamu benar-benar nggak guna! Seandainya aku tahu kamu begini, buat apa aku membesarkanmu?”
Wajah Luna Hartono berubah dingin, tatapannya tajam menusuk hingga membuat Rina hampir terasa ditelan hidup-hidup.
Rina menatap balik, kedua tangannya mengepal kuat lalu perlahan kendurkan, berusaha menekan emosi dalam dada sebelum menjawab datar, “Aku mengerti. Aku akan coba.”
“Itu baru benar. Bukan cuma coba-coba, kamu harus dapatkan itu. Selama ini Hendra Wijaya tidak ada perempuan yang dekat dengannya. Sekarang nasi sudah menjadi bubur, kamu harus manfaatkan kesempatan ini. Lelaki mah begitu, gampang diluluhkan.”
Wajah Luna Hartono mulai melunak sedikit. Rina hanya diam mendengarkan tanpa berkata apa-apa.
Tahan dulu, tahan dulu. Asalkan lulus ujian ganda di luar negeri, dia bisa lepas dari sangkar ini selamanya.
……
Beberapa hari berikutnya, Rina Wulan terkurung di kamar untuk beristirahat, tidak keluar rumah. Saat bangun, ia sibuk mencari kata-kata rayuan mesra, kadang mengirim pesan singkat pada Hendra Wijaya.
Balasan Hendra biasa saja, tapi sesekali ada satu-dua pesan ringan dari Rina yang berhasil membuatnya balas panjang.
Hubungan mereka memang mulai ada getaran asmara, tapi Rina bingung bagaimana memulai pembicaraan soal undangan pesta amal. Hingga tiga hari sebelum acara, Luna Hartono marah besar.
Barulah Rina nekat menghubungi Hendra.
Pesan pagi itu baru dibalas lewat telepon malam harinya. Bukan SMS, melainkan panggilan suara.
Saat telpon datang, Rina sedang dimarahi Luna Hartono di depan mata. Tangannya gemetar hampir menekan tombol tutup.
Luna Hartono diam saja, menatapnya memberi isyarat agar menggunakan speakerphone.
Rina pasrah, menyalakan loudspeaker dan menerima panggilan dengan gugup.
“Mas Wijaya, sudah larut begini, ada apa menelepon saya?” Suaranya sengaja dibuat serak.
Tidak ada jawaban, hening beberapa detik, lalu suara malas Hendra terdengar.
“Mikirnya udah rusak, atau… pengen mikirin aku?”
Muka Rina langsung merah sampai ke leher. Reflek menoleh ke arah Luna Hartono, tak mampu berkata sepatah katapun.
Melihat itu, Luna Hartono pun mengerutkan alis dan memberi tatapan waspada pada Rina sebelum meninggalkan ruangan.
Begitu pintu tertutup rapat, Rina menghela napas lega dan balik berbicara dengan suara normal, “Kupikir Mas Wijaya suka suara sok manja kayak gini.”
“Daripada suaramu, aku lebih suka aksi nyata.”
Hendra berhenti sejenak lalu berkata, “Kalau mau undangan, ambil sendiri.”
Belum sempat Rina menjawab, telepon sudah diputus. Tak lama kemudian Hendra mengirim nomor kamar hotel.
Tak perlu dijelaskan lagi maksudnya.
Selama ini Hendra terdengar seperti pria yang jauh dari wanita, siapa sangka sebenarnya dia menahan diri dan kini melampiaskannya pada Rina.
Rina berganti rok pendek seksi, merias wajah dengan sempurna, lalu keluar kamar. Di ruang tamu, Luna Hartono duduk santai sambil menyeruput teh.
