Bab [3]
"Aku nggak punya bukti, dan aku juga nggak butuh bukti!"
Nada bicara Sandi Nanda terdengar lembut, tetapi entah kenapa mengandung kekuatan yang tegas. "Bagaimana mungkin aku tahu sesuatu yang nggak aku lakukan? Kalau memang harus menebak, aku rasa itu dia!"
Jemarinya yang lentik dan putih, seputih umbi bawang, menunjuk ke arah Luna Wijaya yang duduk di samping Galih Gunawan dengan ekspresi muram.
Raut wajah Luna Wijaya seketika menegang. Ia sepertinya tidak menyangka Sandi Nanda akan menunjuknya.
Namun, dengan cepat ia berhasil mengendalikan ekspresinya kembali.
Ia dan Galih Gunawan sudah bertunangan selama beberapa tahun, tetapi Galih Gunawan tidak pernah sekalipun menyinggung soal pernikahan.
Awalnya ia mengira ini karena keluarga Gunawan tidak setuju. Tapi dulu, saat keluarga Gunawan juga menentang hubungan mereka, Galih tetap teguh memilih untuk berada di sisinya. Kenapa kali ini tidak bisa?
Sikap Galih Gunawan ini membuat Luna Wijaya merasa terancam.
Ia panik, itulah sebabnya ia nekat memberikan obat perangsang pada Galih. Ia berharap, jika hubungan terlarang sudah terjadi, Galih terpaksa harus bertanggung jawab. Ia ingin mencoba memaksa Galih untuk menikahinya.
Tak disangka, yang beruntung malah si jalang Sandi Nanda itu!
Tapi sekarang, Sandi Nanda malah menunjuknya. Kalau ia mengakuinya sekarang, mungkin saja...
Luna Wijaya melirik Galih Gunawan, lalu bangkit dan berjalan ke hadapan Kakek. Lututnya tertekuk dan ia langsung berlutut di depan sang Kakek.
Belum sempat bicara, air matanya sudah lebih dulu mengalir. "Maafkan Luna, Kakek. Luna terpaksa melakukannya karena sudah nggak ada cara lain. Luna tahu Kakek nggak suka dengan latar belakang Luna, tapi Luna benar-benar tulus mencintai Galih, makanya Luna nekat melakukan ini! Buku harian itu memang Luna yang tulis, dan orang yang difoto paparazzi itu juga Luna. Hanya karena tinggi badan dan postur tubuh Luna mirip dengan Sandi, makanya orang-orang jadi salah sangka!"
Harus diakui, kemampuan akting Luna Wijaya benar-benar luar biasa.
Ekspresi cinta tak terbalas dan terpaksa melakukan hal nekat itu ia perankan dengan sangat meyakinkan.
Siapapun yang melihatnya pasti akan meneteskan air mata, dan yang mendengarnya pasti akan merasa iba.
Sandi Nanda yang menonton dari samping hanya bisa menghela napas dalam hati. Pantas saja di kehidupan sebelumnya Galih Gunawan begitu tergila-gila padanya.
Andai saja kemampuan aktingnya setengah dari Luna Wijaya, ia tidak akan kalah begitu telak.
"Kamu bilang itu kamu, lalu kenapa tadi kamu nggak mengaku?" Kakek menatapnya dengan dingin, ekspresinya sulit ditebak.
Jantung Luna Wijaya berdebar kencang, tetapi wajahnya tetap menunjukkan ekspresi sedih dan pilu. "Luna takut, Kek. Luna takut Galih akan merendahkan Luna karena ini, dan lebih takut lagi kalau Kakek dan keluarga menganggap Luna perempuan murahan."
Sikapnya yang seolah rela menanggung segala derita demi cinta itu bahkan membuat Sandi Nanda hampir merasa terharu.
Sandi tersenyum tipis. "Karena sekarang sudah terbukti aku nggak bersalah, dan Luna Wijaya adalah tunangan Om Galih, kenapa Kakek nggak merestui mereka saja? Umumkan kebenarannya ke publik, biarkan mereka menikah, dan semua gosip di internet itu akan hilang dengan sendirinya!"
Di kehidupan ini, ia memilih untuk mundur dan merelakan cinta mereka berdua.
Ia ingin lihat, akan seperti apa reaksi Galih Gunawan saat suatu hari nanti ia menyadari wajah asli Luna Wijaya!
Sandi Nanda tidak tahu keputusan apa yang akhirnya diambil Kakek Gunawan mengenai Luna Wijaya.
Setelah berhasil membersihkan namanya, ia langsung mencari alasan untuk pergi.
Saat hari mulai gelap, Linda Lim baru pulang dengan raut muka yang sangat masam.
Begitu masuk, ia langsung menusuk dahi Sandi Nanda dengan jarinya.
"Kamu ini gimana, sih?! Kesempatan emas di depan mata kok dilepaskan begitu saja?! Opini publik di internet sudah seheboh itu, asal kamu kasih sedikit petunjuk kalau orang malam itu adalah kamu, Kakekmu pasti akan memaksa Galih Gunawan menikahimu!"
Kepala Sandi Nanda sedikit miring karena tusukan jari ibunya. "Terus?"
"Terus? Terus kamu jadi Nyonya Gunawan! Seumur hidup kamu nggak akan kekurangan apa pun, hari-hari bahagia sudah menantimu!" ucap Linda Lim dengan nada seolah itu adalah hal yang sudah pasti.
Galih Gunawan adalah calon pewaris utama keluarga Gunawan. Jika Sandi benar-benar menikahinya, dengan dukungan Galih, mereka berdua bukan hanya akan dihormati di keluarga Gunawan, tapi juga di seluruh Surabaya.
Sandi Nanda tahu apa yang ada di pikiran ibunya. Ia juga tahu, semua rencana ibunya ini sebenarnya demi kebaikannya.
Ia tidak bisa menyalahkannya, tapi ia juga tidak bisa menyetujui perkataannya.
Karena di kehidupan sebelumnya, ia telah membuktikan dengan kenyataan yang berdarah-darah, seperti apa "hari-hari bahagia" yang dimaksud Linda Lim itu.
Tanpa ampun, ia menghancurkan mimpi indah Linda Lim, "Ibu, orang itu bukan aku!"
Linda Lim tertegun sejenak, lalu wajahnya menjadi serius. "Anak bandel, kamu bisa menipu orang lain, tapi kamu nggak bisa menipu Ibumu."
Sambil berkata begitu, tiba-tiba ia meraih kerah baju Sandi Nanda dan menariknya ke bawah.
Seketika, bekas-bekas kebiruan di kulitnya yang putih mulus terpampang jelas. Ekspresi Sandi Nanda sedikit berubah.
Linda Lim menunjuk bekas-bekas itu. "Ibumu ini sudah berpengalaman. Kamu pikir Ibu nggak tahu apa artinya bekas-bekas di tubuhmu ini? Malam itu, waktu kamu pulang, meskipun kamu sengaja berjinjit agar nggak membangunkan kami, Ibu tetap tahu. Anak bodoh, kenapa kamu nggak memanfaatkan kesempatan emas ini, malah memberikannya pada si mulut manis Luna Wijaya itu?!"
Sandi Nanda menatap ibunya dengan sedikit terkejut. Bukan karena ibunya mengetahui apa yang ia lakukan, tapi karena ibunya ternyata bisa melihat kepalsuan Luna Wijaya.
Padahal, orang secerdas Galih Gunawan saja bisa dipermainkan olehnya.
Sandi Nanda merapikan kembali kerah bajunya. "Ibu, apa Ibu benar-benar berpikir aku akan hidup bahagia kalau menikah dengan Galih Gunawan?"
"A-apa maksudmu?" Kalau menikah dengan Galih Gunawan saja tidak baik, lalu apa yang dianggap baik?
Sandi Nanda berkata, "Seorang anak tiri yang dianggap beban, nekat memberikan obat perangsang pada calon pewaris keluarga Gunawan untuk memaksanya menikah. Yang terpenting, dia itu secara status adalah Om-ku. Jangankan orang-orang di keluarga Gunawan, cibiran orang di luar sana saja sudah cukup untuk menenggelamkanku."
Setelah jeda sejenak, dengan lelah ia mengungkapkan alasan yang paling krusial, "Terlebih lagi, Galih Gunawan hanya mencintai Luna Wijaya. Kalau gara-gara aku dia nggak bisa menikahi perempuan yang dicintainya, apa Ibu pikir dia akan melepaskanku begitu saja?"
Linda Lim langsung terdiam. Setelah lama terdiam, ia berhasil memaksakan satu kalimat, "Tapi Ibu sudah muak hidup dengan selalu melihat muka orang lain, kenapa kamu nggak bisa..."
"Nggak bisa!" Nada bicara Sandi Nanda tegas. "Kecuali Ibu punya nyali untuk memaksa Galih Gunawan menikahiku!"
Bibir Linda Lim bergerak-gerak, tapi pada akhirnya ia tidak mengatakan apa-apa lagi.
Melihat ibunya untuk sementara waktu mengurungkan niatnya, Sandi Nanda menghela napas lega dan merebahkan dirinya di sofa dengan lemas. "Ibu, bisa tolong belikan aku obat?"
"Obat? Kamu sakit?" Linda Lim langsung berjongkok di depannya dengan cemas.
Hati Sandi Nanda sedikit melunak. "Nggak, belikan obat kontrasepsi."
Linda Lim langsung mengerti. Ia menatap Sandi Nanda dengan tatapan yang rumit, dan akhirnya hanya bisa berkata, "Kamu ini... sebenarnya apa sih yang kamu cari?!"
Apa yang ia cari?
Telapak tangan Sandi Nanda diletakkan di atas perutnya.
Awalnya, itu murni karena cinta. Melihat Galih Gunawan begitu tersiksa, ia hanya ingin membantunya.
Kemudian, karena ada sedikit harapan di dalam hatinya, ia mendambakan suatu hari mimpinya bisa menjadi kenyataan. Jadi, ia berjuang mati-matian untuk meraih satu-satunya kemungkinan itu.
Tetapi pada akhirnya, saat Galih Gunawan dengan kejam mengambil ginjal Mani demi anak haramnya dengan Luna Wijaya, yang menyebabkan Mani meninggal karena infeksi, ia akhirnya tersadar.
Ada orang-orang yang sejak awal memang tidak sanggup ia cintai, dan tidak pantas ia dapatkan.
Jadi di kehidupan ini, ia tidak menginginkannya lagi, tidak memintanya lagi!
Ia mencintai Mani, tetapi ia tidak bisa lagi egois dengan membawanya ke dunia yang begitu dingin dan kejam ini.
Maafkan Ibu, Mani. Maafkan keegoisan dan kelemahan Ibumu!
Di kehidupan ini, carilah Ayah dan Ibu yang lain
