Bab [4]

Tentu, sebagai pakar penerjemahan sastra Tiongkok-Indonesia, saya akan menerapkan semua prinsip yang telah ditetapkan untuk menghasilkan terjemahan yang sepenuhnya terlokalisasi dan terasa seperti karya asli Indonesia.

Berikut adalah hasil terjemahannya:


Saat Linda Lim masuk membawa pil kontrasepsi yang baru dibelinya, Sandi Nanda sedang bersandar di kepala ranjang sambil membaca buku.

"Obatnya sudah kubeli, cepat minum." Sudah hampir empat puluh delapan jam berlalu sejak ia kembali.

Kalau tidak segera diminum, obat ini tidak akan efektif lagi.

Sandi Nanda sudah menyiapkan segelas air hangat di meja samping tempat tidur. Mendengar itu, ia mengeluarkan sebutir pil dan bersiap memasukkannya ke dalam mulut.

"Apa Ibu sendiri yang membeli obat ini?"

"Tentu saja tidak," jawab Linda Lim dengan percaya diri. "Aku menyuruh pelayan untuk membelinya. Tenang saja, aku memanggilnya diam-diam, tidak akan ada yang tahu."

Bagaimanapun juga, ia adalah Nyonya ketiga keluarga Gunawan. Sekalipun sebagai istri ketiga ia tidak disayang, dan Kakek tidak menyukainya, ia tidak mungkin pergi membeli barang seperti ini sendirian. Kalau sampai terdengar orang lain, itu hanya akan membuat keluarga Gunawan menjadi bahan gunjingan.

Jika keluarga Gunawan kehilangan muka, Kakek Gunawan hanya akan semakin murka.

Hal semacam ini, sebodoh apa pun Linda Lim, ia tidak akan pernah melakukannya.

Mendengar itu, Sandi Nanda merasa sedikit lebih lega.

Ia memasukkan pil itu ke dalam mulut, lalu menenggak seteguk besar air.

Meskipun keputusan sudah dibuat, saat menelannya, hatinya terasa seperti diremas. Rasa sakitnya begitu hebat hingga ia nyaris meneteskan air mata.

Putrinya yang begitu manis dan penurut, ia tidak akan pernah bisa memilikinya lagi di kehidupan ini.

Tapi ia juga tidak ingin Mani-nya terperosok lagi ke dalam kubangan lumpur kotor keluarga Gunawan.

Maafkan Ibu, Mani!

Dengan menguatkan hati, Sandi Nanda menelan pil di mulutnya.

Linda Lim mengambil kotak obat itu. "Kamu istirahat saja, aku akan membuang benda ini."

Setelah berkata demikian, ia berbalik hendak pergi.

Tepat pada saat itu, pintu kamar tidur tiba-tiba ditendang hingga terbuka.

Kepala pelayan berdiri di ambang pintu bersama dua pengawal, menatap Sandi Nanda dan Linda Lim dengan tatapan dingin. "Nyonya Ketiga, Nona Sandi, Kakek meminta Anda berdua untuk datang."

Jantung Sandi Nanda berdebar kencang. Firasatnya mengatakan sesuatu yang buruk telah terjadi.


Di ruang keluarga, seorang pengawal menyeret Sandi Nanda ke tengah ruangan.

Kepala pelayan menyerahkan kotak kemasan pil kontrasepsi yang belum sempat dibuang oleh Linda Lim kepada Kakek Gunawan dengan kedua tangannya.

Sebagian besar anggota keluarga Gunawan masih berada di sana. Tatapan mereka pada Sandi Nanda seolah sedang melihat sesuatu yang menjijikkan.

Terutama Galih Gunawan, tatapannya sedingin es, menusuk-nusuk jantungnya tanpa ampun.

Sandi Nanda menundukkan kepala, tangannya yang terkulai di sisi tubuhnya meremas gelisah.

"Kurang ajar!" Kakek melirik kotak obat itu, lalu meraih asbak di atas meja kopi dan melemparkannya ke arah Sandi Nanda. "Apa ini?!"

PRAK!

Asbak itu menghantam kepala Sandi Nanda hingga pecah. Darah segar seketika menetes di sepanjang pipinya.

Ia bahkan tidak berkedip sedikit pun. "Pil KB!"

Tawa sinis yang terdengar jelas dari sekelilingnya membuat suaranya sedikit tercekat. Ia menggigit bibirnya, lalu melanjutkan, "Saya sudah dewasa, wajar kan kalau saya pacaran!"

Mendengar kebohongannya yang diucapkan tanpa berkedip, Kakek Gunawan semakin murka. Tongkatnya dihentakkan keras ke lantai. "Buka mata anjingmu dan lihat baik-baik, itu obat apa!"

Sandi Nanda tertegun.

Dengan tangan gemetar, Sandi Nanda memungut kotak di lantai. Setelah melihat tulisan di atasnya, pupil matanya menyusut. Bagaimana mungkin...

Dengan bingung ia mengangkat kepala menatap Linda Lim. Obat itu dibeli atas suruhan Ibunya. Mungkinkah Ibunya belum menyerah dan sengaja membeli obat yang salah, berharap ia bisa hamil dan memaksa Galih Gunawan menikahinya?

Namun, yang ia temui adalah sepasang mata yang lebih panik darinya.

Bukan Ibunya.

Tanpa sengaja, pandangannya bertemu dengan Luna Wijaya yang duduk di sebelah Galih Gunawan. Niat jahat yang tersembunyi di balik mata yang berkaca-kaca itu membuat jantung Sandi Nanda bergetar.

Itu dia!

Sandi Nanda merasakan firasat buruk. Baru saja ia hendak menjelaskan, Luna Wijaya tiba-tiba bangkit dan menghambur ke hadapannya.

"Maafkan aku, Sandi. Keluarga Gunawan adalah orang-orang baik, aku benar-benar tidak bisa membantumu menyembunyikan ini dan membohongi mereka."

Luna Wijaya menangis tersedu-sedu, tatapannya pada Sandi Nanda penuh dengan kepiluan dan kekecewaan.

"Aku pikir, kamu hanya memanfaatkan situasi untuk mewujudkan impian masa remajamu. Aku tidak pernah menyangka, ternyata kamu punya niat untuk hamil diam-diam dan menggunakan anak itu untuk menjebak Galih dan keluarga Gunawan."

"Bagaimana kamu bisa begitu egois? Pernahkah kamu berpikir, dengan perbuatanmu ini, bagaimana nasibku dan Galih? Kalaupun kamu tidak memikirkanku, setidaknya pikirkan Ibumu. Putrinya menikah dengan Om-nya sendiri, bagaimana ia harus menempatkan diri di keluarga Gunawan nanti?"

Rentetan kalimat tuduhan itu membuat seluruh keluarga Gunawan menjadi geram.

"Sudah sering lihat orang tidak tahu malu, tapi baru kali ini lihat yang separah ini. Demi menikah dengan keluarga konglomerat, benar-benar pakai seribu satu cara licik. Coba saja kepintaranmu itu dipakai untuk hal yang benar, nasibmu tidak akan seperti sekarang, dibenci semua orang!"

"Jahat, benar-benar jahat! Pura-pura mengklarifikasi untuk dirinya sendiri, padahal tujuannya untuk mendorong Luna ke depan, mengalihkan perhatian semua orang, supaya dia bisa diam-diam hamil anak Galih. Baru hari ini aku tahu seberapa busuknya hati seseorang!"

"Benalu seperti ini, sama sekali tidak boleh dibiarkan tinggal di keluarga Gunawan!"

Seseorang mengusulkan agar Sandi Nanda diusir dari keluarga Gunawan.

Sandi Nanda sama sekali tidak terkejut mendengarnya.

Bukankah di kehidupan sebelumnya juga seperti ini? Asalkan Luna Wijaya maju sedikit dan memanipulasi opini, ia akan langsung menjadi sasaran caci maki semua orang.

Ia hanya menatap pertunjukan Luna Wijaya dalam diam, hatinya sama sekali tidak bergejolak.

Melihat reaksinya, Luna Wijaya merasa sedikit aneh.

Sejak kapan sifat Sandi Nanda menjadi begitu tenang dan terkendali?

Kalau dulu, ia pasti sudah panik dan terburu-buru membela diri. Hal yang paling ia takuti adalah disalahpahami oleh keluarga Gunawan, lalu diusir bersama Ibunya.

Tapi hari ini, ia sama sekali tidak tergerak.

Mungkinkah ia masih punya kartu As lain?

Tidak, tidak mungkin.

Dia sama sekali tidak tahu kalau aku yang menyuruh orang menukar obatnya. Dihadapkan dengan tuduhan dari keluarga Gunawan dan pengkhianatanku yang tiba-tiba, tidak ada alasan baginya untuk tidak panik.

Lagi pula, betapa cerdiknya Galih Gunawan dan Kakek Gunawan, mana mungkin mereka percaya begitu saja hanya karena Sandi Nanda asal menuduhnya sebagai kambing hitam dan ia mengakuinya?

Jangankan soal foto yang sudah jelas-jelas dihapus oleh Sandi Nanda, katakan saja soal Galih Gunawan, apa mungkin dia tidak tahu siapa wanita yang tidur dengannya?!

Luna Wijaya mengulum bibirnya, bersiap memberikan pukulan telak pada Sandi Nanda.

Ia menoleh ke arah Galih Gunawan dan memohon sambil menangis, "Galih, aku yakin Sandi pasti tidak sengaja, dia pasti punya alasannya sendiri. Kumohon maafkan dia kali ini. Anggap saja orang yang bersamamu malam itu adalah aku, aku bersedia menanggung semua tekanan opini publik demi keluarga Gunawan."

Luna Wijaya memiliki suara yang lembut merdu. Saat ia sengaja berbicara dengan nada tangis, sangat mudah untuk membangkitkan rasa iba orang lain.

Jika hanya mendengar suara dan kata-katanya, mungkin semua orang akan terharu oleh pengorbanan dan kesetiaannya.

Sandi Nanda menghela napas pelan, lalu berkata dengan nada sangat pasrah, "Menurutku, semua ucapanmu itu tidak masuk akal!"

Luna Wijaya tertegun.

Kemudian ia mendengar Sandi Nanda melanjutkan, "Aku sudah menjelaskan, malam itu bukan aku. Kenapa kamu masih terus memaksakannya padaku? Aku tidak mengerti, kamu jelas-jelas tunangan Om, apa kamu begitu berharap Om punya hubungan dengan wanita lain selain dirimu? Kamu bilang itu kamu, Om saja tidak membantah, tapi kamu malah buru-buru menjelaskan. Kenapa? Apa kamu sebegitu tidak maunya menikah dengan Om?"

Ekspresi Luna Wijaya menegang. Ia buru-buru menoleh untuk menjelaskan, "Bukan begitu, aku tidak bermaksud begitu, jangan bicara sembarangan!"

Bab Sebelumnya
Bab Selanjutnya