Bab [6] Sandi Nanda, Kamu Tidak Mengatakan Sepatah Kata yang Benar

Tentu, sebagai pakar terjemahan sastra Tiongkok-Indonesia, saya akan melakukan transformasi teks ini menjadi sebuah karya yang terasa otentik dan memikat bagi pembaca Indonesia, sesuai dengan pedoman yang telah ditetapkan.


Teks Terjemahan

Baru saja melangkah keluar, rasa mual yang hebat langsung menyeruak ke kepalanya.

Kepalanya pusing dan perutnya terasa diaduk-aduk.

Ini adalah efek samping dari reaksi pencernaan karena menelan pil kontrasepsi tanpa air...

Dengan panik, ia bergegas mencari segelas air.

Tanpa diduga, sebotol air mineral justru disodorkan tepat di hadapannya.

Sandi Nanda mendongak dan mendapati ibunya, Linda Lim, menatapnya dengan tatapan penuh iba. "Kamu ini nekat sekali, sih! Mana ada obat yang boleh ditelan kering-kering begitu! Aduh, kamu ini... Ibu harus bilang apa lagi sama kamu?"

"Kalau begitu, nggak usah bilang apa-apa."

Sandi Nanda membuka botol air mineral itu dan menenggaknya hingga setengah, barulah rasa mualnya sedikit mereda.

Linda Lim berkata dengan getir, "Ibu sudah susah payah memohon pada Arman Gunawan agar bisa membawamu masuk ke keluarga Gunawan. Tujuanku apa? Bukankah supaya kamu bisa memanfaatkan nama besar keluarga Gunawan untuk mencari suami dari keluarga baik-baik?"

Dengan keadaannya yang sekarang, pemuda kaya mana yang masih mau melirik Sandi Nanda yang sudah bukan perawan lagi?

Sandi Nanda mulai jengkel. "Sudah, Bu, jangan dibahas lagi. Aku nggak mau hidup bergantung pada laki-laki seperti Ibu. Besok pagi-pagi sekali aku akan pergi dari rumah keluarga Gunawan. Kalau Ibu kangen, kita bisa bertemu di luar."

"Kamu!"

Sikap Sandi Nanda benar-benar di luar dugaan Linda Lim. Ia kesal karena kecewa. "Kalau kamu keluar dari keluarga Gunawan, memangnya siapa yang akan peduli kamu itu siapa?"

"Memangnya selama di keluarga Gunawan, aku ini siapa? Anak bawaan istri ketiga Tuan Besar Gunawan yang dianggap beban? Atau perempuan murahan yang nggak tahu malu, yang meniduri Om-nya sendiri?" Sandi Nanda tertawa sinis.

Keluarga Gunawan tidak pernah menganggapnya ada. Posisinya bahkan lebih rendah dari anjing hitam besar peliharaan Kakek.

Di luar?

Sejak ia sekolah hingga sekarang, siapa yang tidak mencemoohnya sebagai anak bawaan yang jadi beban, anak haram yang lahir dari seorang pelakor?

Di kehidupan keduanya ini, ia tidak mau lagi mendengar semua hinaan itu. Ia tidak mau lagi hidup di bawah tatapan menghakimi orang lain. Ia hanya ingin hidup untuk dirinya sendiri, dan hidup dengan cemerlang!

Linda Lim bungkam, tak bisa membalas ucapan putrinya.

Sandi Nanda juga tidak berkata apa-apa lagi, ia berbalik dan kembali ke kamarnya.

Linda Lim hanya bisa pasrah.

Saat ia akhirnya melangkah hendak menyusul, sebuah tangan menahannya.

Linda Lim menoleh dan melihat suaminya, Arman Gunawan, menggelengkan kepala padanya. "Biarkan dia tenang dulu, biarkan emosinya reda."

"Arman, aku benar-benar nggak tahu harus bagaimana lagi..." Linda Lim menghambur ke dalam pelukan Arman Gunawan.

Arman Gunawan menepuk-nepuk punggungnya. "Tenang saja, masalah ini 'kan sudah beres? Nanti kalau suasana hati Sandi sudah membaik, aku akan carikan beberapa calon suami untuknya."

"Di zaman sekarang ini, hal yang kamu khawatirkan itu sama sekali bukan masalah besar."

Tidak jauh di belakang mereka, Galih Gunawan berdiri.

Mendengar percakapan itu, wajah Galih Gunawan menjadi gelap dan sekeras besi tempa. Sepasang mata hitamnya memancarkan hawa dingin dan kebengisan yang tak terbatas.


Pagi-pagi sekali, Sandi Nanda sudah mengemasi barang-barangnya dan meninggalkan kediaman keluarga Gunawan.

Rumah besar keluarga Gunawan terletak di lereng bukit kawasan Gunung Bahagia, Jakarta.

Ini adalah kompleks perumahan pribadi, mobil dari luar tidak bisa masuk tanpa izin dari pemilik rumah.

Ia sudah memesan taksi online, yang kini menunggunya di kaki bukit.

Namun, sebelum ia berhasil menuruni bukit, sebuah Maybach hitam berhenti tepat di hadapannya.

Plat nomor dengan akhiran B 7307...

Itu mobil Galih Gunawan.

Sandi Nanda tidak ambil pusing, ia terus berjalan sambil menyeret kopernya.

Tak disangka, sebuah suara memanggil dari belakang: "Nona Sandi, Bapak Galih meminta Anda masuk ke mobil."

Sandi Nanda tidak menjawab. Pikirannya secara otomatis membayangkan Galih Gunawan yang duduk di kursi belakang, bibir tipisnya terkatup rapat, seluruh tubuhnya seolah diselimuti aura permusuhan.

Galih Gunawan tidak suka siapa pun menentangnya.

Hanya saja, ini bukan lagi kehidupan sebelumnya.

Ia bukan lagi Sandi Nanda yang akan melakukan apa saja untuk menyenangkan hatinya!

"Pil kontrasepsi sudah saya minum, sikap saya juga sudah saya tunjukkan. Om, apa saya harus mati dulu baru Om bisa tenang?" Sandi Nanda berbalik, menatap tajam ke arah Maybach hitam di depannya.

"Nona Sandi, cara bicara Anda kepada Bapak Galih sepertinya terlalu meremehkan beliau. Sikap Bapak Galih terhadap Anda sudah terbilang cukup baik. Jika Anda bersikeras tidak mau naik..."

Vincent, sang asisten, tidak menyelesaikan kalimatnya, namun senyum di wajahnya tetap terpasang.

Akan tetapi, senyum yang tidak sampai ke mata itu membuat punggung Sandi Nanda meremang.

Ia tahu betul sekejam apa cara-cara Galih Gunawan.

Sebagai asisten andalannya, cara Vincent bertindak tentu tidak perlu diragukan lagi.

Sandi Nanda tidak mau mati konyol di tangan Galih Gunawan di awal kehidupannya yang baru ini. Ia akhirnya mengalah. Kopernya dilemparkan oleh Vincent ke dalam bagasi, lalu ia membuka pintu dan duduk di kursi penumpang belakang.

Galih Gunawan sudah duduk di sana, mengenakan setelan hitam, tubuhnya bersandar di kursi dengan kaki disilangkan. Wajahnya yang suram membuatnya tampak seperti seorang raja yang memandang rendah segalanya.

Mata hitam Galih Gunawan menatap lurus ke arahnya. "Pagi-pagi begini, gosip apa yang sedang kamu sebarkan?"

Suaranya begitu dingin hingga membuat orang menggigil.

Sandi Nanda menggigit bibirnya, lalu perlahan berkata, "Kalau maksud Om bukan seperti yang saya pikirkan, lalu apa maksud Om sebenarnya?"

Diam-diam ia meremas telapak tangannya, lalu mengangkat wajah menatap Galih Gunawan.

Ekspresi Galih Gunawan dingin dan kelam, tatapan matanya setajam pisau tumpul.

Pria ini berbahaya, dingin, dan tanpa ampun.

Sebelum Galih Gunawan sempat berkata apa-apa, ponsel Sandi Nanda berdering.

Panggilan dari Arman Gunawan.

Mengingat ibunya masih harus bergantung hidup pada Arman Gunawan di rumah itu, ia pun mengangkat teleponnya.

"Pak Arman."

Ia tidak menyadari, di sebelahnya, kening Galih Gunawan sedikit berkerut.

"Sandi, kamu bukan anak kecil lagi. Kamu mau pergi ke mana, kenapa tidak bilang dulu sama Ibumu? Kamu tahu tidak Ibumu sangat khawatir?"

Terdengar isak tangis ibunya dari seberang telepon. "Sandi, jangan bikin ulah, Nak. Kamu mau pergi ke mana?"

"Aku mau cari kerja, yang ada tempat tinggal dan makan."

Singkatnya, selama tidak malas, ia tidak akan mati kelaparan.

Ia tidak mau tinggal sedetik pun lebih lama di sarang harimau seperti kediaman keluarga Gunawan.

"Memangnya kamu bisa dapat pekerjaan apa di luar sana sendirian? Kamu..." Nada bicara Linda Lim tiba-tiba berubah. "Baiklah kalau begitu, kamu boleh tinggal di luar beberapa hari. Nanti kalau kamu sudah pulang, Pak Arman akan carikan beberapa calon untukmu. Kamu pulang dan temui mereka. Cepat atau lambat perempuan harus menikah, lebih baik menikah dengan orang yang jelas asal-usulnya daripada cari sendiri lalu hidup susah."

Sandi Nanda sama sekali tidak ingin mendengar ceramah itu. "Taksi online-nya sudah datang, saya naik dulu."

Sudut bibir Galih Gunawan menyunggingkan senyum mengejek. "Taksi online?"

"Sandi Nanda, kamu benar-benar pintar berbohong, ya. Sepertinya tidak ada satu pun dari ucapanmu yang bisa dipercaya."

Ia memang telah mengucapkan banyak hal. Sejak menyadari dirinya terlahir kembali, ia selalu berusaha membela diri, mencoba menciptakan jarak antara dirinya dan Galih Gunawan.

Sebelum terlahir kembali, ia juga pernah sebodoh itu mengatakan bahwa ia menyukai Galih Gunawan.

Karena Galih Gunawan pernah muncul seperti dewa penolong saat ia berada di titik terendah dan ditindas. Sejak saat itu, ia mengukir wajah pria itu dalam ingatannya, menempatkannya di puncak hatinya.

Hanya saja, sikap dingin pria itu di kehidupan sebelumnya, termasuk kematian tragis putrinya, membuat semua perasaan itu harus sirna.

Meskipun ia takut padanya.

Sandi Nanda meremas telapak tangannya dan berbisik, "Pak Gunawan, Anda orang yang begitu terhormat, kenapa harus peduli dengan apa yang saya katakan? Lagipula, pil kontrasepsi sudah saya minum di depan Anda."

Ia duduk tegak di sampingnya, membusungkan dada.

Kening Galih Gunawan berkerut dalam. "Pak Gunawan?"

Dalam sekejap, Sandi Nanda merasakan hawa dingin yang tak berujung menyelimutinya, seolah-olah ia dilemparkan ke dalam gua es abadi.

Bab Sebelumnya
Bab Selanjutnya