Bab [8] Aku Juga Tidak Akan Memberimu Kesempatan Ini
Keberadaan Sandi Nanda di sini, jika sampai terdengar orang luar, pasti akan menimbulkan gunjingan.
Vincent sudah memikirkan hal itu, ia tidak ingin nama baik Galih Gunawan tercemar karena Sandi Nanda.
Galih Gunawan menatap Vincent dengan tajam. "Kalau begitu katakan, apa ada cara yang lebih baik dari ini?"
Status Sandi Nanda dan dirinya bagai langit dan bumi. Bertahun-tahun Sandi Nanda diperlakukan tidak adil, sudah pasti ia ingin menggunakan kesempatan ini untuk membalikkan keadaan.
Sandi Nanda tidak akan melewatkan peluang emas ini.
Daripada membiarkan Sandi Nanda di luar sana memutar otak dengan cara-cara licik, lebih baik menahannya di sini, tepat di bawah pengawasannya.
Dengan begitu, Sandi Nanda tidak akan bisa berbuat macam-macam.
Vincent terdiam.
Ia tidak bisa memikirkan cara yang lebih baik.
Bibir tipis Galih Gunawan bergerak dingin. "Urusan penjagaan dan orang-orangnya, aku serahkan padamu."
"Baik, Pak."
Karena sudah diatur seperti ini, Vincent tidak bisa berkata apa-apa lagi.
Galih Gunawan melangkah menuju ruang kerjanya.
Meja kerjanya penuh dengan tumpukan dokumen yang harus segera diselesaikan. Belakangan ini ia benar-benar pusing tujuh keliling, dan masalah yang ditimbulkan Sandi Nanda seolah menyiram bensin ke dalam api, membuatnya semakin kalut.
Tiba-tiba, ponselnya berdering.
Ia mengangkatnya, dan raut wajahnya semakin keruh. "Ada apa?"
"Coba kamu lihat yang aku kirim ke WhatsApp-mu."
Galih Gunawan mengerutkan kening dan membuka ponselnya. Hal pertama yang muncul di layar adalah sebuah tangkapan layar permintaan konsultasi dokter: 【Apa ada dokter yang bisa kunjungan ke rumah? Tangan saya patah, tidak bisa keluar.】
Alamat yang tertera adalah salah satu properti miliknya, Taman Sungai Indah.
Informasi pasiennya sangat singkat, hanya tiga kata: Nona Sandi, 21 tahun.
Tatapan Galih Gunawan menajam. Ini bukankah Sandi Nanda!
"Dari mana kamu dapat ini?"
Kalaupun Sandi Nanda mencari dokter, bagaimana bisa pesannya sampai ke Andre Sutanto!
Andre Sutanto memijat keningnya, kepalanya terasa mau pecah. "Ini semua gara-gara rumah sakit lagi ada promo, pendaftaran online dibuka bebas. Sekarang dia sudah bayar uang muka, aku tidak bisa membatalkan pesanannya. Makanya aku telepon untuk memastikan, apa benar di tempatmu ada Nona Sandi?"
Andre Sutanto mencoba mengingat semua perempuan di sekitar Galih Gunawan... bahkan sampai nyamuk betina pun ia pikirkan.
Galih Gunawan selalu fokus pada karier. Di sekelilingnya hanya ada teman masa kecilnya, Luna Wijaya. Ia tidak pernah melihat Galih dekat dengan perempuan lain, apalagi Nona Sandi.
Usianya 21 tahun.
Tidak mungkin kan Galih Gunawan memelihara mahasiswi?
"Datang saja," ucap Galih Gunawan dengan nada rendah yang dingin.
Andre Sutanto terperanjat. "Astaga! Kamu serius?"
Suara Galih Gunawan terdengar menusuk. "Kamu yang terima pesanannya, jangan banyak bacot."
Andre Sutanto: "..."
Memangnya ini maunya?
Kalau bukan karena pengembangan sistem rumah sakit yang memasukkan jadwalnya ke pendaftaran online, dan kalau bukan demi menjaga reputasi, ia pasti sudah mengabaikannya!
Sekarang?
Pesanan sudah masuk, dan Galih Gunawan sudah memberi izin. Ia tidak punya pilihan selain berangkat ke sana.
Sementara itu, Galih Gunawan.
Sambil menggenggam ponselnya, ia berjalan menuju kamar tamu tempat Sandi Nanda tinggal.
Sandi Nanda sedang sibuk menelusuri informasi lowongan kerja. Di kehidupan sebelumnya, setelah malam panasnya dengan Galih Gunawan dan desakan dari keluarga Gunawan, ia akhirnya menikah dengan pria itu.
Ia mengorbankan hampir segalanya.
Sekarang, setelah hidup kembali, ia tentu saja hanya akan memikirkan dirinya sendiri.
Namun, ia belum menemukan pekerjaan yang cocok.
Tiba-tiba, ia mendengar suara langkah kaki mendekat dari belakang. Mengira itu adalah pelayan yang masuk, ia langsung mengerutkan kening dengan kesal. "Apa Galih Gunawan tidak pernah membuat aturan untuk kalian?"
"Aturan apa yang kamu mau?" Suara dingin itu, bak seekor ular berbisa, langsung menyelinap ke dalam hati Sandi Nanda.
Seketika, seluruh minat Sandi Nanda lenyap.
Ia menoleh dan melihat Galih Gunawan melangkah mendekatinya.
Dengan tinggi badan seratus sembilan puluh senti, pria itu berdiri menjulang di hadapannya seperti gunung yang kokoh. Dalam sekejap, Sandi Nanda merasakan tekanan yang luar biasa berat.
Napasnya terasa sesak.
Ia mengira itu adalah pelayan Galih.
Namun, semua yang perlu dikatakan sudah dikatakan, semua sikap sudah ditunjukkan.
Untuk apa Galih Gunawan muncul di sini sekarang?
Napas Sandi Nanda tercekat. "Kamu mau apa lagi? Tidak mungkin kan, kamu mau mengangkat rahimku dan membuatku hidup di bawah pengawasanmu 24 jam sehari?"
"Memangnya kenapa kalau begitu? Apa hatimu bisa dikurung?" cibir Galih Gunawan dengan nada penuh ejekan.
Galih Gunawan selalu percaya bahwa Sandi Nanda hanya ingin menggodanya, memanfaatkannya untuk mengubah nasib.
Detik berikutnya, Galih Gunawan menunjukkan tangkapan layar dari Andre Sutanto di depan wajah Sandi Nanda. "Bacakan tulisan ini untukku."
Jantung Sandi Nanda berdebar kencang.
Bagaimana bisa pesan pencarian dokternya sampai ke tangan Galih Gunawan?
Apakah Galih Gunawan...
"Aku hanya mencari dokter untuk diriku sendiri. Galih Gunawan, kamu mau mengurungku di sini sampai kapan? Jangankan pil KB-nya tidak bermasalah, kalaupun bermasalah... apa kamu akan membunuhku?" Sandi Nanda menggertakkan giginya.
Galih Gunawan sama sekali tidak menganggap Sandi Nanda sebagai ancaman. "Kalau benar-benar hamil, gugurkan saja."
Mata Galih Gunawan memancarkan kekejaman yang tak terbatas.
Hati Sandi Nanda seketika hancur berkeping-keping.
Ia teringat nasib tragis Mani di kehidupan sebelumnya. Mani yang begitu manis, begitu mendambakan sedikit saja kasih sayang seorang ayah dari Galih Gunawan, sedikit saja perhatian darinya.
Tetapi Galih Gunawan tetap acuh tak acuh, hanya mencintai Rangga Wijaya, anak Luna Wijaya.
Dulu ia bahkan begitu bodoh berpikir bahwa Galih Gunawan menikahinya karena anak di dalam kandungannya. Ia berkhayal bisa menggunakan anak itu untuk meluluhkan hati Galih Gunawan.
Pada akhirnya... sungguh menggelikan, ia benar-benar badut paling bodoh dan tolol di seluruh dunia!
"Tenang saja, aku lebih baik mengandung anak siapa pun, tapi tidak mungkin anakmu." Sandi Nanda mencengkeram telapak tangannya begitu erat hingga kuku-kukunya menancap ke dalam daging tanpa ia sadari.
Ia benci.
Ia benci sampai rasanya ingin menarik Galih Gunawan mati bersamanya saat ini juga.
Tetapi.
Hidup kembali adalah anugerah yang sangat berharga. Masih banyak hal yang belum ia selesaikan. Membiarkan Galih Gunawan mati dengan mudah, itu terlalu menguntungkannya.
Terlebih lagi, Luna Wijaya juga belum menerima balasannya.
Dan juga orang-orang lain di keluarga Gunawan yang telah merendahkannya.
"Aku juga tidak akan memberimu kesempatan itu." Sepasang mata hitam Galih Gunawan seolah dilapisi racun.
Sandi Nanda tersenyum sinis. "Lalu kenapa kamu muncul di sini? Hanya untuk menodongku dengan apa yang ada di ponselmu itu?"
Sebegitu bencikah Galih Gunawan padanya? Hak paling dasar saja tidak mau ia berikan, bahkan ia masih dicurigai.
Padahal di kehidupan sebelumnya ia...
Sandi Nanda menarik napas dalam-dalam. Sudah terlahir kembali, untuk apa masih memikirkan kehidupan sebelumnya?
Galih Gunawan memperingatkan dengan dingin, "Sebaiknya kamu tidak berbuat macam-macam lagi, atau jangan salahkan aku jika bertindak kasar."
Sandi Nanda tahu betul cara kerja pria itu.
Apa yang sudah ia ucapkan, pasti akan ia lakukan.
Sandi Nanda tidak ingin memprovokasinya, tetapi dialah yang menutup semua jalannya.
"Kamu yang tidak mau melepaskanku, dan kamu juga yang tidak mau percaya padaku. Bagaimanapun, berobat adalah hakku. Kalau hak sekecil ini saja tidak mau kamu berikan..."
Belum selesai Sandi Nanda berbicara, ponsel Galih Gunawan berdering.
Galih Gunawan menatap Sandi Nanda dengan dingin, namun detik berikutnya, nada suaranya melembut dan hangat. "Luna, ada apa?"
