Bab [9] Sandi Nanda, tunggu aku
Bukan suara Luna Wijaya yang terdengar dari ponsel, melainkan suara seorang wanita yang terdengar asing dan panik.
“Pak Galih, gawat! Di internet ada yang menyebar gosip kalau Kak Luna sengaja kasih obat ke Bapak. Netizen yang marah sekarang datang ke rumah dan melempari telur ke Kak Luna.”
“Sekarang Kak Luna mencoba bunuh diri, dia ada di rumah sakit….”
Wajah Galih Gunawan seketika menjadi gelap, seluruh auranya terasa suram seperti langit yang diselimuti mendung.
Tadi malam, Luna Wijaya mengaku di hadapan seluruh keluarga Gunawan bahwa dialah yang memberinya obat. Siapa lagi di antara keluarga Gunawan yang akan menyebarkan gosip ini?
Kecuali… Sandi Nanda!
Galih Gunawan meremas ponselnya erat-erat, rahangnya mengeras. “Kamu jaga dia dulu, aku segera ke sana.”
Setelah menutup telepon, Galih Gunawan melangkah mendekati Sandi Nanda.
Saat menerima telepon tadi, raut wajah Galih Gunawan menunjukkan kepanikan. Satu-satunya orang yang bisa membuatnya sepanik itu hanyalah Luna Wijaya.
Kelembutan dan kekhawatiran Galih Gunawan hanya untuk Luna Wijaya.
Sedangkan untuk Sandi, yang ia dapatkan hanyalah kekejaman dan paksaan tanpa akhir.
Bahkan sikapnya selalu merendahkan.
Galih Gunawan mencengkeram dagu Sandi dengan kasar, seolah hendak meremukkannya. “Sandi Nanda, kenapa kamu bisa begitu licik dan tidak tahu malu?”
“Apa kamu sengaja melakukan ini untuk membuatnya mati?”
Membuat siapa mati?
Luna Wijaya?
Selain berpura-pura menyedihkan, berakting lemah, dan sedikit-sedikit mengancam bunuh diri, apa lagi yang bisa dilakukan Luna Wijaya?
“Kamu punya bukti aku menyakitinya?”
Untuk tuduhan tanpa bukti, ia tidak akan pernah mengakuinya.
Lagi pula, ia hanya diam di rumah, tapi tiba-tiba dituduh macam-macam.
“Kalau bukan kamu, siapa lagi?” Mata Galih Gunawan memancarkan tatapan dingin.
Baik di kehidupan sebelumnya maupun sekarang, apa pun yang terjadi, Galih Gunawan tidak pernah memercayainya. Tapi Sandi tidak akan lagi memohon-mohon seperti dulu agar Galih memercayainya.
Sandi Nanda menggunakan tangannya yang masih bisa bergerak untuk mencengkeram pergelangan tangan Galih dengan kuat.
Galih Gunawan sudah mematahkan tangannya.
Sekarang ia ingin meremukkan dagunya juga? Apa dia pikir Sandi ini selemah itu?
Meskipun Sandi merasakan ada cairan hangat merembes dari sela-sela jarinya, ia tidak berniat melepaskan cengkeramannya. Giginya terkatup rapat. “Kalau kamu tidak punya bukti, berarti kamu memfitnah. Galih Gunawan, kalau kamu punya nyali, tunjukkan buktinya. Kalau tidak, aku bisa menuntutmu atas pencemaran nama baik!”
Galih Gunawan tertawa sinis. “Kamu benar-benar berpikir aku tidak akan bisa menemukan buktinya?”
“Sandi Nanda, tunggu saja.”
“Kalau sampai terjadi apa-apa padanya, aku tidak akan melepaskanmu.”
Galih Gunawan menghempaskan Sandi dengan kasar.
Karena perbedaan kekuatan antara pria dan wanita, Sandi hampir saja terjatuh ke lantai.
Sandi balas menatap tanpa rasa takut. “Kalau sampai terjadi apa-apa padaku, aku juga tidak akan melepaskanmu!”
Dan begitu saja, Galih Gunawan pergi.
Kamar yang luas itu menjadi sunyi senyap. Di tempat yang familier ini, Sandi Nanda teringat akan putrinya, Mani.
Selama Galih Gunawan tidak ada di sisi mereka, Mani adalah anak yang begitu penurut dan pengertian. Saat bermain petak umpet dengannya, setiap sudut vila ini menjadi tempat fantasi terbesar bagi Mani.
“Ibu, Mani mau ubah kamar ini jadi dunia dongeng. Mani gambar sendiri, ya?”
“Ibu, nanti kalau Mani sudah besar dan punya uang, Mani akan belikan Ibu banyak makanan enak dan gaun-gaun cantik. Mani juga akan ajak Ibu keliling dunia.”
“Ibu….”
“Iya, Sayang.”
Sandi Nanda menjawab tanpa sadar.
Tetapi, di mana sosok Mani? Air mata langsung mengaburkan pandangannya. Pada akhirnya, ia tidak bisa menahan gelombang kesedihan yang meluap di hatinya.
Ia benar-benar hancur…
Di kehidupan ini, ia tidak akan pernah lagi bisa memeluk putrinya yang manis dan penurut itu.
Entah berapa lama waktu berlalu, pintu kamar diketuk.
Ia segera menyeka air matanya. “Masuk.”
Detik berikutnya, seorang pelayan masuk bersama seorang pria. Pria itu tinggi dan tampan, membawa sebuah kotak P3K di tangannya.
Sandi Nanda mengenalinya. Andre Sutanto, dokter sekaligus sahabat Galih Gunawan. Di kehidupan sebelumnya, Andre Sutanto adalah dokter bedah paling brilian sekaligus direktur departemen di rumah sakitnya.
Tapi.
Andre Sutanto tidak percaya bahwa Mani sakit, dan menolak untuk merawatnya.
“Kamu mau apa ke sini?” Sandi menatapnya dengan penuh permusuhan.
Andre Sutanto juga tidak menyangka orang yang akan ia temui adalah Sandi Nanda. Tapi, kenapa Sandi Nanda menunjukkan permusuhan sebesar ini padanya?
Andre tersenyum sekilas. “Kamu yang memesan layanan di aplikasi, menurutmu kenapa aku datang?”
Bibir Sandi Nanda terkatup rapat. Ia tidak menyangka pesanan yang ia buat di aplikasi akan mendatangkan Andre Sutanto. Tapi! Hal ini justru membuat kebencian di hatinya semakin dalam.
Andre bisa datang menyelamatkan orang hanya karena sebuah pesanan online, tetapi dulu ia menolak menyelamatkan Mani, menganggap Sandi berbohong saat menggendong Mani ke rumah sakit di tengah musim dingin.
“Pulang saja sana,” ucap Sandi Nanda dengan dingin. Uang muka yang sudah ia bayarkan di aplikasi, ia anggap saja sudah hilang.
Andre Sutanto benar-benar bingung.
“Yang pesan kamu, yang suruh aku pergi juga kamu. Sandi Nanda, kamu ini kenapa sih?”
Ini sama saja mempermainkannya, kan?
Andre mengedarkan pandangannya ke sekeliling, tidak melihat Galih Gunawan. Ia pun bertanya asal, “Om kamu mana? Kok nggak kelihatan?”
Sandi Nanda menjawab dengan ketus, “Kamu kan punya nomor teleponnya. Kalau mau cari dia, ya telepon saja. Aku dan Galih Gunawan bukan satu paket, kenapa tanya padaku?”
Andre Sutanto: “…”
Ia mulai kesal. “Sandi Nanda, aku nggak punya salah sama kamu, kan? Kenapa kamu sensi sekali sama aku?”
Ia membanting kotaknya di depan Sandi Nanda.
Saat Sandi Nanda hendak melempar balik kotak itu, Andre Sutanto justru menahannya. Andre memegang tangan Sandi, dan Sandi secara refleks meronta.
Saat itulah Andre menyadari ada yang tidak beres dengan salah satu tangan Sandi.
Wajahnya menggelap. “Mbak, ke sini bantu saya pegangi dia.”
Andre adalah sahabat baik Galih Gunawan. Perintahnya tidak berani dibantah oleh pelayan itu.
Meskipun Sandi Nanda berusaha meronta, ia tidak bisa melepaskan diri dari cengkeraman mereka berdua.
Andre sangat profesional. Dengan gerakan cepat, ia mengembalikan posisi tulang Sandi Nanda, lalu memasang gips.
Untuk menyelesaikan pesanan ini, Andre bahkan memotret tangan Sandi. Ia tidak tahan untuk tidak menggerutu, “Aku nggak ngerti kenapa kamu jual mahal begini. Kita kan saling kenal, yang pesan juga kamu. Sikapmu ini seolah-olah aku sudah berbuat macam-macam sama kamu!”
Meskipun Andre yang bersikap dingin di kehidupan sebelumnya, Andre tetaplah Andre. Fakta itu tidak bisa diubah.
Sandi Nanda berkata datar, “Apa harus ada alasan untuk tidak menyukai seseorang?”
“Kamu!”
Andre merasa darahnya bisa mendidih karena Sandi Nanda. Mereka bahkan belum pernah berinteraksi sebelumnya, tapi permusuhan Sandi padanya begitu dalam.
Ia berpikir keras, ia tidak pernah punya masalah dengan Sandi Nanda.
Mungkinkah… Andre mengerutkan kening. “Lina Surya itu temanmu?”
“Tidak kenal.”
“Kalau begitu, sialan…”
Andre meledak dalam amarah.
Namun, Sandi Nanda hanya memberi isyarat mata pada pelayan. “Saya mau tidur. Tolong antar dia keluar. Biaya konsultasinya akan saya bayar lunas lewat aplikasi.”
Tapi! Ia akan memberikan ulasan buruk untuk Andre Sutanto!!
Sementara itu, di tempat Luna Wijaya, bukankah dia hanya berpura-pura bunuh diri? Bukankah dia selalu membanggakan diri sebagai wanita berbakat?
