Bab 6
"Daren, terima kasih sudah mengajak aku lari pagi ini," ucap Cecil melangkah pelan menuju kursi taman.
"Sama-sama. Aku senang bisa berlari bersamamu. Apa kamu mau kita melakukannya setiap hari?" Daren menatap mata Cecil.
"Jangan setiap hari, Daren. Itu akan menghabiskan waktuku dengan percuma. Aku bukan orang yang punya banyak waktu. Hidupku hanya akan aku isi dengan bekerja dan bekerja lagi."
Ada secuil kesedihan dalam mata wanita itu. Daren dapat merasakannya.
"Apa hidupmu tidak bahagia?" Daren mengarahkan wajah dan badannya pada Cecil.
"Aku bahagia, aku hanya terlalu banyak bekerja jadi waktu untuk bersenang-senang terlalu sedikit bagiku dan bahkan hampir tidak ada," ucap Cecil tanpa mengalihkan matanya dari burung yang hinggap di dahan kayu.
"Jangan terlalu banyak bekerja, nanti kamu bisa tua karena pekerjaan." Daren kembali membawa tubuhnya lurus bersejajar dengan Cecil.
"Ya, orang tuaku selalu mengatakan apa yang baru saja kamu katakan. Mereka selalu saja menanyakan hal yang aku tidak suka."
Cecil kembali teringat permintaan orang tuanya. Mereka meminta dia untuk cepat-cepat menikah dan memberi mereka cucu. Bagi Cecil menikah adalah hal yang sulit. Bukan karena tidak ada pria yang mau menikah dengannya. Banyak pria di luar sana yang datang melamar wanita itu, tapi tidak satupun yang mampu menarik perhatian Cecil.
"Cecil, apa kamu belum menikah?" Pertanyaan Daren merupakan cambuk bagi Cecil.
Wanita itu merasa terkena sengatan listrik dari petir alam yang sangat dahsyat kekuatannya hingga mampu memporak-porandaan segala isi hatinya.
"Menikah?" Senyum Cecil terkulum kecut. "Aku sempat ingin menikah, tapi entahlah. Aku merasa tidak ada pria yang cocok dengan hidupku," ucap Cecil pilu.
"Kenapa? Apa mereka tidak masuk dalam kategori lelakimu?" Daren serius menanggapi jawaban Cecil.
"Mungkin. Atau mungkin juga aku yang belum bisa membuka hati untuk mereka."
"Kenapa?" Lagi-lagi Daren merasa tertarik dengan kehidupan Cecil.
"Entahlah." Cecil seolah ragu untuk mengatakan yang sebenarnya pada Daren.
Cecil menarik napasnya panjang dan secara berlahan mengeluarkan dengan mata terpejam. Bukan karena dia tidak suka dengan pertanyaan Daren, tapi pertanyaan itu memang tidak harus dia jawab.
Cecil memang belum bisa membuka hatinya untuk pria lain. Dalam hatinya telah ada nama Daren, pria yang pernah dicintainya. Pria yang merebut hatinya. Daren adalah cinta pertama Cecil dan wanita itu belum mampu melupakan perasaannya itu.
Cecil sudah mencoba segala cara dan saat dirinya mulai bisa sedikit melupakannya, kini dia harus kembali dipertemukan dengan Daren. Cinta lama kembali bersemi lagi dalam hatinya. Cinta yang ingin dia kubur dalam-dalam kini kembali terbuka dan indah bersemi.
"Cecil." Daren meraih tangan wanita di sampingnya dan membawanya ke pangkuan.
Beberapa kali pria itu menepuk punggung tangan Cecil dan memainkan jemarinya. Cecil sendiri hanya terdiam merasakan getaran hatinya yang semakin bergejolak tidak beraturan.
"Cecil, maukah kamu menikah denganku?" tanya Daren dengan santainya.
Deg!
Seketika jantung Cecil seakan berhenti berdetak saat itu juga. Napasnya seakan hilang begitu saja dan dunianya menjadi abu-abu penuh dengan asap tebal.
Cecil terkejut mendengar pertanyaan Daren yang bagi Cecil itu bukan hanya sekedar bertanya, tapi sebuah permintaan.
"Daren." Cecil menarik tangannya dari tangan Daren. Wanita itu merasakan gugup yang luar biasa. "Bukankah kamu sudah menikah?" ucap Cecil lagi.
Cecil tau kalau Daren telah menikah dengan Amara. Cecil memang mencintai Daren dan akan tetap mencintai pria itu, tapi dia tidak mau menjadi madu dari temannya sendiri.
"Ya, aku memang sudah menikah dengan Amara," ucap Daren membenarkan pertanyaan Cecil.
Daren memang sudah menikah dengan Amara dan wanita itu adalah cinta sejatinya. Daren tidak akan menduakan Amara.
"Lalu kenapa kamu memintaku untuk menikah denganmu?" Cecil terlihat sangat kecewa. "Aku memang mencintaimu, Daren. Aku memang ingin menjadi istrimu, tapi aku tidak mau menjadi madu bagi orang lain. Aku tidak mau merusak rumah tangga orang lain." Cecil menjelaskan isi hatinya.
"Cecil." Kembali Daren menggenggam tangan Cecil. "Amara telah pergi. Dia telah meninggalkan aku untuk selamanya dan dia tidak akan pernah kembali lagi padaku," ucap Daren dengan mata sendu.
Cecil membuka lebar, dia terkejut dengan apa yang dia dengar tentang Amara.
"Apa maksudmu, Daren?" Cecil penasaran dengan nasib Amara.
"Ya." Kembali Daren ingin meraih tangan Cecil, tapi dengan cepat Cecil menepisnya. Daren melepaskan tangan Cecil dan menghadap lurus ke depan. Matanya menatap jauh tanpa objek yang tepat. "Dia memang sudah meninggal, Cecil. Amara telah pergi," ucap Daren sedih.
"Daren." Cecil mengusap pundak Daren.
Cecil ingin memberi Daren dukungan.
"Aku turut berdukacita, Daren. Maaf, aku tidak tau kalau Amara telah meninggal." Cecil menyesal.
"Tidak apa. Amara sudah tenang di sana."
Cecil menyandarkan kepalanya pada pundak Daren sebagai ungkapan belasungkawanya atas kematian Amara.
"Apa itu sudah lama?" tanya Cecil merasa ingin tau kapan Amara meninggal.
"Sekitar satu tahun yang lalu."
"Apa dia sakit?"
"Ya, Amara sakit parah."
"Kenapa tidak kamu bawa berobat?" Cecil mengangkat kepalanya dan menatap ke wajah Daren.
"Itu semua memang salahku, Cecil. Aku tidak tau kalau dia sakit. Dia tidak pernah mengatakan hal itu padaku. Aku tau ketika dia sudah parah dan di ambang kematian."
"Daren." Cecil tidak tau akan mengatakan apa lagi. Dia merasa sedih melihat kesedihan Daren.
"Aku tidak apa-apa, Cecil." Daren mengusap air matanya yang hampir terjatuh karena mengingat penderitaan Amara melawan penyakitnya.
"Cecil." Daren membawa wanita itu saling berhadapan. "Apa kamu mau menikah denganku dan menjadi istriku?" tanya Daren kembali.
Cecil membalas tatapan Daren
Bola matanya bergerak-gerak mencoba menyelami keseriusan pria itu. Dia tidak mau mengambil keputusan yang salah.
"Apa kamu memintaku menikah denganmu karena Amara telah pergi?" Cecil ragu dengan permintaan Daren.
"Tidak," ucap Daren menggelengkan kepalanya pelan. "Bukan karena itu," ucapnya lagi.
"Lalu? Bukankah kamu sangat mencintai Amara dan tidak pernah mencintai aku?"
Cecil ingat bahwa Daren sangat mencintai Amara dan tidak pernah mencintai dirinya. Bahkan saat Daren tau Cecil juga mencintainya, pria itu malah membenci dan menghindari Cecil.
"Bantu aku untuk melupakan Amara dan belajar mencintaimu?" minta Daren.
"Kamu memintaku menikah denganmu hanya untuk membantu agar kamu bisa melupakan Amara? Kalau itu tujuanmu, maaf Daren. Aku tidak mau." Cecil melepaskan tangan Daren dan berpaling dari hadapan pria itu.
"Cecil." Daren tampak memohon mengharapkan jawaban Cecil.
"Beri aku waktu untuk memikirkannya, Daren. Aku tidak bisa memberimu keputusan saat ini juga. Aku harus memastikan hatiku sendiri apakah aku bisa menjadi istrimu."
"Aku akan menunggumu dan aku akan terus menunggumu."
