Bab [1]: Nikmati Sepuasnya di Bawahku
"Jangan... jangan... mmmph..."
Di dalam kamar mandi yang mewah.
Gita Gunawan berlutut telanjang di dalam bak mandi. Kepalanya dicengkeram oleh tangan besar seorang pria, ditekan naik-turun secara berirama ke arah selangkangannya.
Batang kejantanan pria itu yang besar dan berbau amis membuat rongga mulutnya nyeri. Secara refleks, Gita mencoba mendorong, tetapi gerakan pria itu malah semakin kasar.
"Jangan apa? Kamu tahu betul Clara menderita klaustrofobia, tapi kamu masih menjebaknya di dalam lift. Bukankah semua itu kamu lakukan agar bisa menggantikannya, memuaskan diri di bawahku? Sekarang aku sudah memuaskanmu, apa lagi yang kamu keluhkan?"
"Uhuk... uhuk-uhuk..."
Beberapa saat kemudian, cairan hangat dan kental itu menyembur ke dalam tenggorokannya. Gita tak sanggup lagi menahan diri, tubuhnya terkulai ke samping. Sisa cairan yang baru saja disemprotkan perlahan mengalir keluar dari sudut bibirnya.
Melihatnya dalam keadaan seperti itu, hasrat di mata pria itu justru semakin membara.
Dengan satu tangan, ia mencengkeram dagu Gita, sementara tangan lainnya menelusuri turun dari sudut bibirnya.
"Mulut yang ini sudah kenyang, 'kan? Selanjutnya... kamu mau pakai mulut yang mana lagi?"
Jari-jari pria itu dengan cepat meluncur ke perut bagian bawahnya, hendak melanjutkan lebih jauh.
"Adrian Hartono." Gita menahan tangan pria itu, air matanya tak terbendung lagi.
Pria di hadapannya ini adalah suaminya.
Suami yang telah dinikahinya selama lima tahun, tetapi tak pernah sekali pun menyentuhnya. Kini, demi wanita lain, Adrian tega menghinanya dengan cara yang begitu memalukan, berulang kali.
"Bukan aku. Bukan aku yang mengurungnya di lift. Waktu aku ke sana, dia sudah ada di dalam. Aku..." Gita mencoba menjelaskan.
"Bukan kamu?" Tangan Adrian yang berada di perutnya seketika berpindah mencekik lehernya.
"Saat itu hanya ada kamu dan Clara di seluruh vila ini. Kalau bukan kamu, siapa lagi? Jangan bilang Clara sengaja masuk ke lift, mematikan listrik, dan mengurung dirinya sendiri hanya untuk menjebakmu. Clara tidak perlu mempertaruhkan nyawanya hanya untuk berurusan dengan orang yang tidak penting."
Orang yang tidak penting...
Selama lima tahun pernikahannya dengan Adrian, hati Gita sudah tak terhitung berapa kali terluka oleh sikap dingin dan kejamnya. Sering kali, ia sudah mati rasa.
Termasuk barusan, ia pikir penghinaan seperti itu adalah puncak dari rasa sakitnya.
Ternyata, Adrian masih bisa membuatnya lebih sakit lagi.
Air mata kembali mengalir deras dari pelupuk matanya.
Adrian Hartono.
Pria yang dicintainya selama sepuluh tahun, dan dinikahinya selama lima tahun.
Dan sekarang pria itu berkata, seorang wanita simpanan yang mati-matian ingin merusak pernikahan mereka, tidak perlu repot-repot berurusan dengan dirinya, sang istri sah yang "tidak penting".
Benarkah tidak penting?
Jika memang tidak penting, mengapa saat diselamatkan dan digendong oleh Adrian, Clara Setiawan harus "tidak sengaja" menendang dirinya yang "tidak penting" ini masuk ke dalam lift yang masih rusak?
Klaustrofobia...
Apa Adrian tidak tahu, kalau dirinya juga menderita klaustrofobia?
Enam tahun lalu, ia, Adrian Hartono, dan Clara Setiawan mengalami gempa bumi saat berada di luar kota.
Saat itu, ia kebetulan sedang berada di satu ruangan bersama Adrian.
Ketika bangunan itu runtuh, ia terperangkap di sudut ruangan, sementara Adrian pingsan tertimpa reruntuhan.
Demi membawa Adrian keluar bersamanya, ia terus menggali dengan kedua tangannya. Kesepuluh jarinya berdarah-darah hingga akhirnya berhasil membuat sebuah celah. Ia mendorong Adrian keluar terlebih dahulu.
Tepat saat ia hendak merangkak keluar dari celah itu, gempa susulan terjadi. Ia kembali terkubur.
Saat berhasil diselamatkan, dua hari telah berlalu.
Selama dua hari itu, ia sendirian di bawah tanah yang gelap gulita. Tak ada waktu, tak ada cahaya, tak ada makanan dan air. Ia hampir gila.
Untungnya, sebelum ia benar-benar kehilangan akal, tim penyelamat menemukannya. Namun sejak saat itu, ia tidak bisa lagi berada di dalam ruang tertutup.
Setelah keluar, hal pertama yang ia lakukan adalah mencari Adrian. Namun, Adrian justru mulai menghindarinya, menolak untuk bertemu.
Ia tidak mengerti mengapa. Padahal ia telah menyelamatkannya.
Ia ingin mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi, tetapi Adrian tidak memberinya kesempatan.
Beberapa waktu kemudian, Adrian melamarnya.
Tidak ada yang tahu betapa bahagianya ia saat itu.
Hanya saja, setelah menikah, barulah ia sadar bahwa Adrian terpaksa menikahinya karena desakan Nenek Hartono. Orang yang benar-benar ingin dinikahinya adalah Clara Setiawan.
Entah sejak kapan, pria yang saat SD pernah berkata pada orang tuanya ingin menikahinya itu, telah jatuh cinta pada sahabat baiknya sendiri, Clara Setiawan.
Dering—
Nada dering ponsel yang khas berbunyi.
Adrian, yang sedetik lalu masih menatapnya dengan wajah bengis seolah ingin membunuhnya, seketika berubah lembut.
"Clara, kamu sudah sadar? Jangan takut, ya. Aku segera ke sana menemanimu. Sepuluh menit. Aku janji pasti sampai dalam sepuluh menit."
Setelah menutup telepon, Adrian melempar Gita begitu saja ke dalam bak mandi. Tanpa menoleh sedikit pun, ia merapikan celananya dan bergegas pergi.
Melihat sikap lembut Adrian barusan, Gita teringat pada sosok Adrian yang dulu juga begitu lembut padanya, sebelum gempa itu terjadi.
Ia tahu ini mungkin hanya angan-angan kosong, tetapi ia masih ingin mencoba. Siapa tahu, hatinya bisa luluh kembali?
"Adrian, aku juga punya klaustrofobia. Aku juga sangat takut. Bisakah kamu tinggal di sini menemaniku?"
"Kamu?" Adrian menoleh padanya dengan senyum mengejek. "Penyakit mental sedang tren sekali ya sekarang? Atau kamu pikir, dengan meniru Clara, aku akan jadi tertarik padamu? Jangan mimpi, Gita Gunawan. Seumur hidupku, aku tidak akan pernah menyukaimu. Tidak akan pernah."
Tidak akan pernah...
Meski sedang terduduk lemas di dalam bak mandi, tubuhnya terasa berguncang.
"Adrian, selama lebih dari dua puluh tahun kita saling kenal sejak kecil, apa kamu benar-benar tidak pernah menyukaiku? Sedikit pun tidak?"
"Tidak."
"Lalu kenapa waktu kecil kamu bilang mau menikahiku..."
"Memangnya omongan anak kecil bisa dianggap serius? Lagipula, pria mana yang akan menolak wanita yang terus mengejar-ngejarnya?"
Air mata Gita jatuh seketika.
Jadi begitu? Ia pikir Adrian benar-benar mencintainya, ingin bersamanya seumur hidup. Ternyata semua itu hanyalah permainan seorang pria terhadap wanita yang begitu peduli padanya?
Gita menggigit bibirnya kuat-kuat, lalu menyeka air mata di pipinya.
"Adrian Hartono, kita cerai saja. Sekarang... aku tidak mau lagi jadi wanita yang mengejar-ngejarmu."
Saat mencintai, ia bisa mencintai tanpa pamrih.
Saat cinta itu tak lagi berarti, ia juga bisa pergi dengan tegas.
Napas Adrian tiba-tiba tercekat, seolah ada tangan tak kasat mata yang merobek hatinya.
Dia mau meninggalkannya?
Tidak mungkin.
Wanita ini sudah bersusah payah untuk menikahinya. Demi mendapatkan perhatiannya, ia bahkan bersikap sangat baik di depan keluarganya, ramah pada para asisten rumah tangga, sesekali memberi mereka hadiah kecil, takut jika ada hal kecil yang tidak berkenan di hati Adrian.
Dia tidak akan rela meninggalkannya.
Mengatakan hal ini sekarang hanyalah taktik tarik-ulur untuk mendapatkan perhatiannya.
Heh, licik sekali.
Adrian tidak akan membiarkannya berhasil.
"Dengan senang hati. Gita Gunawan, sebaiknya kamu tepati ucapanmu."
Setelah berkata demikian, Adrian melangkah keluar dengan kaki jenjangnya, lalu membanting pintu kamar mandi hingga tertutup. BLAM!
Untuk ketiga kalinya, air mata Gita mengalir tak terkendali.
Ia baru saja memberitahunya bahwa ia menderita klaustrofobia, dan Adrian dengan santainya langsung menutup pintu kamar mandi.
Pria itu benar-benar tidak peduli padanya. Ya, sepertinya ia memang benar-benar ingin dirinya mati.
Gita meringkuk di dalam bak mandi. Tepat sebelum kewarasannya hilang, ia menekan sebuah nomor di ponselnya. Suaranya bergetar, "Ibu, aku mau pulang. Apa Ibu dan Ayah masih mau menerimaku?"
